Dalam kasus Timor-timur, berasarkan laporan penyelidikan Komnas HAM dinyatakan bahwa kejahahatan kemanusiaan ini didukung oleh pemerintah dan militer Indonesia dengan menyediakan fasilitas, persenjataan, dukungan keuangan maupun operasi bersama. Terdapat bukti-bukti yang menunjukkan bahwa aparat sipil dan militer termasuk kepolisian bekerja sama dengan milisi telah menciptakan situasi dan kondisi yang mendukung terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan oleh aparat sipil, militer kepolisian dan kelompok milisi. Laporan itu juga menyebutkan bahwa kekuatan kelompok milisi dengan nama yang berbeda- beda dalam setiap lokasi secara langsung atau tidak langsung dibangun atas landasan pembentukan kelompok perlawanan rakyat (wanra), keamanan rakyat (kamra) dan pasukan pengamanan Swakarsa (Pamswakarsa) yang secara langsung dan tidak langsung dipersenjatai, dilatih, di dukung dan didanai oleh aparat sipil, militer dan kepolisian.45 Dalam kasus Tanjung Priok, berdasarkan atas Laporan Tim Penyelidikan Tindak Lanjut (KPT3), menyimpulkan bahwa terdapat 4 (empat) kejahatan yang terjadi; 1) pembunuhan kilat, Penangkapan dan penahanan sewenang-wenang (unlawful arrest and detention),46 2) Penangkapan dan penahanan sewenang-wenang dilakukan aparat TNI setelah terjadinya peristiwa Tanjung Priok yang dilakukan terhadap orang-orang yang dicurigai mempunyai hubungan dengan peristiwa Tanjung Priok,47 3) Penyiksaan (torture) dimana 45 Laporan KPP HAM hlm. 41. 46 Tindakan pembunuhan kilat (summary killing) ini terjadi depan Mapolres Jakarta Utara akibat penggunaan kekerasan yang berlebihan yang dilakukan oleh satu regu dibawah pimpinan Sutrisno Mascung dkk. Para anggota pasukan ini masing-masing membawa peluru tajam 5-10 buah. Akibat tindakan ini telah mengakibatkan 24 orang tewas, 54 luka berat dan ringan. 47 Semua korban berjumlah 160 orang yang ditangkap tidak sesuai prosedur dan tanpa surat perintah. Para korban ditahan di Laksusda Jaya Kramat V, Mapomdam Guntur dan Rumah Tahanan Militer Cimanggis. 170 semua korban yang ditahan di Laksusda Jaya, Mapomdam Guntur dan Rumah Tahanan Militer Cimanggis mengalami penyiksaan, intimidasi dan teror dari aparat, dan 4) Penghilangan orang secara paksa (enforced or involuntary disappearance).48 Dalam kedua kasus ini, kejahatan kemanusiaan yang terjadi diduga mempunyai keterkaitan atau mengindikasikan adanya keterlibatan kerja-kerja intelijen. Aspek kebijakan negara yang diimplementasikan oleh aparat negara menjadi indikator bahwa kejahatan- kejahatan dilakukan dengan cara yang sistematis, termasuk penggunaan institusi-institusi negara. Kejahatan penghilangan orang secara paksa, sebagai contohnya, menunjukkan bahwa salah satu unsur yang harus dibuktikan adalah tindakan perahasiaan atau penolakan pemberitahuan mengenai nasib dan keberadaan korban, atau suatu penolakan untuk memberitahukan pencabutan kebebasannya sehingga menempatkannya di luar jangkauan perlindungan hukum. 49 Tindakan perahasiaan ini sangat erat kaitannya dengan adanya pengunaan institusi-institusi intelijen. 48 Fakta-fakta tindakan ini antara lain adalah lokasi pemakaman bagi 24 jenasah dari RSPAD yang tidak dapat diidentifikasi dimakamkan terpisah jauh dari lokasi kejadian, pemakaman dilakukan pada malam hari di tiga tempat terpisah tanpa berupaya untuk memberikan identitas baik tanda-tanda pada makam (nisan dan keterangan) dan pencatatan administratif, dan keluarga korban dilarang untuk mengetahui keberadaan dan kondisi korban. 49 Unsur penghilangan paksa adalah ketika seseorang dicabut kebebasannya baik dengan cara penangkapan, penahanan, penculikan ataupun dengan cara-cara lain, yang berlawanan dengan kehendaknya, yang dilakukan oleh aparat pemerintah dari berbagai tingkatan atau cabang-cabang pemerintahan, atau oleh kelompok yang tergorganisir maupun perorangan yang bertindak atas, atau dengan dukungan, atau secara langsung maupun tidak langsung atas ijin atau persetujuan dari pemerintah, yang diikuti dengan perahasiaan atau penolakan pemberitahuan mengenai nasib dan keberadaan korban, atau suatu penolakan untuk memberitahukan pencabutan kebebasannya sehingga menempatkannya di luar jangkauan perlindungan hukum. Lihat Pedoman Unsur-unsur Tindak Pidana Pelanggaran HAM yang Berat dan Pertanggungjawaban Komando, Mahkamah Agung RI, 2006. 171 Prosedur pembuktian dalam kasus pelanggaran HAM yang berat, meskipun masih mengacu pada ketentuan dalam hukum acara pidana, juga mengacu pada praktek dan yurisprudensi dalam peradilan internasional.50 Beberapa ketentuan dalam prosedur pembuktian yang berbeda dan telah dilakukan dalam pengadian HAM adalah alat-alat bukti yang bisa diajukan berdasarkan standar peradilan internasional,51 model pemeriksaan saksi dengan teleconference, pengajuan bukti-bukti surat yang bisa dikategorikan sebagai rahasia negara misalnya dalam salah satu keputusan Majelis Hakim Pengadilan HAM ad hoc menyatakan bahwa ada salah satu surat yang diajukan oleh jaksa penuntut umum dan dapat digunakan sebagai alat bukti petunjuk yaitu surat laporan khusus.52 Model pembuktian kesalahan terdakwa yang berbeda dengan prosedur pidana biasa adalah pembuktian yang hanya mendasarkan kesaksian pada satu orang.53 50 Acuan yang digunakan adalah praktek pada International Criminal Tribunal for Former Yugoslavia (ICTY) dan International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR). 51 Praktek peradilan internasional, alat-alat bukti yang diajukan banyak yang bukan alat bukti seperti yang ditentukan dalam KUHAP. Alat-alat bukti itu misalnya adalah rekaman baik yang berupa film atau kaset yang berisi pidato, siaran pers, wawancara korban, wawancara pelaku, kondisi tempat kejadian dan sebagainya. Kemudian alat bukti yang dipergunakan juga diperbolehkan berbentuk dokumen salinan, kliping koran, artikel lepas, sampai suatu opini yang terkait dengan kasus yang disidangkan. 52 Surat tersebut adalah Laporan Khusus R 184/Lapsus/IV/1999 yang ditandatangai oleh Brigjend TNI Mahidin Simbolon Kasdam IX Udayana. Isi surat ini sendiri adalah tercantumnya kata-kata dimana anggota Polres dan kesatuan Brimob serta anggota Satgas Tribuana segera mem-back up kelompok pro integrasi. Kata memback up ini oleh majelis hakim diartikan sebagai membantu atau setidak-tidaknya menjelaskan keberpihakan kepada kelompok pro integrasi. 53 Melihat kasus peradilan pidana internasional ad hoc untuk bekas negara Yugoslavia dapat mengesampingkan asas ullus testis nullus testis dalam perkara pelanggaran HAM berat dengan terdakwa Dusko Tadic. Penyimpangan ini dimungkinkan ketika pengadilan dihadapkan pada kesulitan menghadirkan saksi dan kesaksian mana yang dikuatkan oleh petunjuk lagi. Lihat putusan pengadilan HAM dengan terdakwa Adam Damiri. Tanggal 5 Agustus 2003 172 Prosedur perlindungan saksi dan korban juga menjadi klausul tersendiri yang dianggap sangat penting untuk menjamin keselamatan saksi dalam kasus pelanggaran HAM yang berat ini. Prosedur perlindungan saksi yang cukup kuat adalah adanya hak perahasiaan identitas saksi. Meskipun dalam prakteknya belum pernah dilakukan tetapi prosedur ini dapat memberikan perlindungan kepada saksi terutama bagi saksi-saksi yang memberikan keterangan untuk membuktikan kesalahan atasan atau komandan mereka yang diajukan ke pengadilan. Meskipun UU No. 26 tahun 2000 dan proses peradilan HAM yang telah berlangsung tidak begitu sempuna, tetapi pengaturan dalam pengadilan HAM ini mempunyai potensi untuk dapat membongkar kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh intelijen atau mendapat dukungan dari kerja-kerja intelijen. Di tengah ketidakberhasilan peradilan umum dan ketidakpuasan atan kinerja Pengadilan Militer, Pengadilan HAM pada awalnya dikonstruksi untuk membongkar kejahatan-kejahatan yang mempunyai dukungan atau support dari negara tak terkecuali penggunaan institusiinstitusi intelijen. Secara konseptual, Pengadilan HAM dengan memberikan yurisdiksi untuk kejahatan kemanusiaan dan kejahatan genosida dengan pengaturan hukum acara yang khusus mampu memberikan peluang untuk membongkar kejahatan yang didukung atau merupakan kejahatan yang dilakukan dengan operasi intelijen. Persoalan yang mendasar adalah mengenai kekurangsempurnaan pengaturan dalam UU No. 26 tahun 2000 dalam menghadapi kejahatan- kejahatan tersebut terutama jika dikaitkan dengan praktek pradilan internasional. 4. Penutup Pencegahan impunitas, yakni kejahatan tanpa hukuman, yang terjadi dalam operasi intelijen atau kejahatan yang memang dilaku173 kan sebagai bagian dari operasi intelijen sampai saat ini masih sulit untuk diwujudkan. Khususnya, jika kasus-kasus yang terjadi tetap diajukan sebagai tindak kejahatan biasa dengan basis hukum berdasarkan KUHP atau KUHP Militer. Selain problem imparsialitas pengadilan, terdapat juga hambatan yuridis untuk menggunakan istrumen KUHP dan KUHP militer karena instrumen hukum tersebut ternyata mempunyai kelemahan-kelemahan yang secara konseptual sangat sulit untuk membuktikan kejahatan merupakan bagian dari operasi intelijen dan dilakukan oleh aparat intelijen. Namun, di tengah hambatan yuridis menggunakan pengadilan biasa, upaya untuk melakukan akuntabilitas tehadap kejahatan intelijen di muka pengadilan masih sangat mungkin dilakukan dengan menggunakan Pengadilan HAM. Pengaturan khusus baik ketentuan material maupun formalnya mempunyai kemampuan untuk menjangkau kejahatan-kejahatan dalam operasi intelijen. Meskipun, dalam performa awalnya pengadilan HAM ini tidak cukup memuaskan tetapi berdasarkan penelusuran atas praktek peradilan yang ada, Pengadilan HAM mempunyai peluang yang lebih besar untuk mampu membawa kasus-kasus dengan keterlibatan intelijen negara sebagai bagian dari kebijakan negara ke muka pengadilan. Hal terpenting yang perlu dilakukan adalah melakukan penguatan baik dari sisi perbaikan regulasi dan penguatan institusi pengadilan HAM untuk lebih memastikan dan menjamin adanya akuntabilitas yang memadai dan adil bagi kejahatan- kejahatan intelijen. 174 REFERENSI : Buku : Asrun, Muhammad. 2004. Krisis Peradilan Mahkamah Agung di Bawah Soeharto. ELSAM. Jakarta. Caparini, Marini. Oktober 2002. Challenges of Control and Oversight of Intellegence Services in Liberal Democracy. Gultom, Samuel. 2003. Mengadili Korban: Praktek Pembenaran Terhadap Kekerasan Negara. ELSAM. Jakarta. International Commission of Jurist. 1987. Indonesian and the Rule of Law, Twenty Years of ‘New Order” Government. Frances Pinter Publishers. London. Kasim, Ifdhal. Elemen-elemen Kejahatan dari Crimes Against Humanity: Sebuah Penjelajahan Pustaka. Widjajanto, Andi, Cornelis Lay, dan Makmur Keliat. 2006. Intelejen: Velox et Exactus. Pacivis. Jakarta. Zamzami, Amran. 2001 Tragedi Anak Bangsa-Pembantaian Tengku Bantaqiah dan Santri-santrinya. PT. Bina Rena Pariwara. Jakarta Artikel Media Massa: Suara Indonesia, Senin, 8 Mei 2000 Surya, Kamis, 4 Juni 1998 175 Mereformasi Negara Intel Orde Baru : Kasus Penembak Misterius Era 1980-an Oleh : Usman Hamid dan Edwin Partogi1 I. Pengantar Tulisan ini akan memaparkan peran dari badan intelijen di masa Orde Baru, dengan mengambil contoh kasus penembakpenembak misterius yang terjadi di beberapa wilayah pada 1980-an. Tujuannya adalah memperoleh gambaran tentang badan intelijen di masa lalu guna melihat kecenderungan saat ini dimana negara ingin memperkuat badan intelijen. Bagian pertama tulisan ini akan menguraikan fakta-fakta seputar meningkatnya kejahatan di Indonesia. Bagian kedua menguraikan apa yang menjadi respon kebijakan keamanan dalam mengatasi maraknya kejahatan. Bagian akhir akan memberikan kesimpulan dan rekomendasi kepada pengambil kebijakan untuk mencegah kembalinya format represif badan 1 Keduanya merupakan aktivis KontraS. 176 intelijen di masa lalu. Pembahasan dalam tulisan ini menggunakan data-data yang ditelusuri dari pemberitaan media massa serta hasil investigasi awal KontraS. Penembakan misterius atau ”petrus” dikenal luas oleh kalangan masyarakat sebagai kebijakan pemerintah untuk ”mengamankan” orang-orang yang dituduh telah melakukan kejahatan. Mengamankan di sini berarti mengeksekusi mati dengan cara menembak di tempat, dan seringkali dengan membiarkan mayatnya dibiarkan tergeletak di jalan-jalan. Dalam buku otobiografinya, Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, yang ditulis G Dwipayana dan Ramadhan KH, Presiden Soeharto menyebut cara ini sebagai shock therapy. Eksekusi demi eksekusi lewat operasi-operasi tertutup berjalan tanpa bisa dihentikan. Kebijakan pemerintah yang kerap memberi alasan pembenar bagi penembakan misterius berlalu tanpa pengawasan dan kontrol yang efektif dari badan legislatif maupun yudisial. Pasca mundurnya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998 hanya segelintir pihak yang membicarakan kembali masalah penembakan misterius. Pejabat-pejabat pemerintah yang berkuasa pada masa reformasi jarang memberikan pernyataan terhadap kasus-kasus penembakan misterius. Pada tahun 1999 Presiden B.J. Habibie menolak penggunaan cara penembakan misterius dalam menyikapi berkembangnya isu provokator dalam rangkaian kekerasan di wilayah Ambon pada saat itu.2 Guru besar hukum tata negara Prof. Dr. Ismail Suny pernah mengusulkan agar mantan Presiden Soeharto diajukan ke peng- 2 ”Habibie Tolak Penembakan Misterius Bagi Provokator”, Kompas, 27 Juni 1999. Pernyataan ini disampaikan ketika menyikapi berkembangnya isu perlunya kembali memakai metoda penembak misterius mengatasi maraknya kekerasan di Maluku. Menurut data Polda Maluku, telah mengakibatkan terbakarnya 576 rumah warga, 21 rumah ibadah, 192 unit kios, 55 buah toko, 20 mobil, 11 sepeda motor, 216 becak, 1 gedung pemerintah, 1 gedung sekolah dasar, 1 gedung bioskop, dan 3 pasar. 177 adilan atas tindakannya memerintahkan penembakan orang-orang yang belum dinyatakan bersalah oleh pengadilan pada tahun 1983.3 Ismail Suny menegaskan bahwa penembakan misterius merupakan perintah Soeharto seperti terlihat dalam buku otobiografinya, Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, yang ditulis G Dwipayana dan Ramadhan KH (hlm. 389-391). Menurutnya pertanggungjawaban pidana Soeharto belum selesai saat ia berhenti menjadi Presiden pada 21 Mei 1998. Namun hingga saat ini, usulan seperti belum mendapat tanggapan serius dari negara. Padahal pengungkapan kasus penembak-penembak misterius tersebut dapat memberi kontribusi bagi agenda reformasi paska mundurnya Soeharto, khususnya perbaikan institusi keamanan termasuk badan intelijen. Apalagi kini ada upaya untuk menebalkan kekuasaan badan intelijen yang luar biasa, misalnya upaya memberi wewenang khusus pada badan intelijen untuk menyita, menggeledah, menangkap, dan menahan orang tanpa pemenuhan standar hak minimum tersangka, untuk alasan ancaman nasional. II. Meningkatnya Kejahatan (Kriminalitas) Kasus penembak misterius (petrus) berawal dari kebijakan untuk memberantas kejahatan yang meningkat dan dinilai telah meresahkan masyarakat. Kebijakan ini berkembang menjadi eksekusi- eksekusi di luar hukum, melanggar hak asasi manusia, dan gagal menghilangkan kejahatan itu sendiri. Di luar itu, justru membangun keresahan dan ketakutan yang semakin meluas di tengah masyarakat. Dalam kasus petrus, banyak orang tewas belum tentu bersalah. Bilapun benar orang yang tewas itu adalah tersangka kejahatan (penjahat), pemerintah malah memperlihatkan sikap yang 3 Lihat ”Adili Soeharto Berkaitan Dengan Penembakan Misterius”, Kompas, 8 Juni 2000. 178 membenarkan petrus sebagai hukuman. Alasannya, meningkatnya kejahatan telah menimbulkan keresahan di masyarakat. Bukan hanya dari segi kuantitas, namun juga kualitas kejahatan dengan mobilitas tinggi, ruang gerak yang luas, serta modus operandi yang sadis. Permasalahan ini bisa ditemui pada berbagai pernyataan pemerintah khususnya pejabat keamanan pada waktu itu. Kapolri Jenderal Pol. Dr. Awaloedin dalam suatu kesempatan menegaskan meningkatnya kejahatan dengan menyatakan bahwa ”tindak kejahatan dewasa ini menunjukkan gejala semakin meningkat dan tugas Polri berusaha selalu mencegah sedini mungkin usaha kejahatan”. Kapolri juga mengingatkan, dengan sarana yang ada sekarang diharapkan mengembangkan sistem pengamanan lingkungan dan keahlian Satpam untuk proyek atau perusahaan vital.”4 Saat mengecek persiapan pengamanan menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 1982, Wakil Panglima ABRI Laksamana Sudomo (merangkap sebagai Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban-Pangkopkamtib) menyatakan ”Jika Jakarta mau aman, sesungguhnya semua residivis yang namanya terdaftar di Kodak Metro Jaya harus diamankan”.5 Dari data yang dikumpulkan, Sudomo berpendapat penjahat yang beroperasi di Jakarta kebanyakan masih remaja, yakni berusia sekitar 18-24 tahun yang kebanyakan melibatkan residivis. Kunci suksesnya pengamanan ini, menurut Sudomo, tergantung bagaimana mengatasi residivis. Perhatian khusus terhadap meningkatnya kejahatan juga muncul dari Presiden saat mengucapkan selamat kepada Polri melalui Kadapol VII/Metro Jaya Mayor Jenderal Polisi Anton Soedjarwo (4 4 Hal ini disampakan ketika acara serah terima tanah dan sarana Diklat Satpam di Ujung Berung Bandung, 5 Februari 1982. Lihat ”Tindak Kejahatan Semakin Meningkat Polri Harus Lakukan Pencegahan Dini”, Pelita, 9 Februari 1982 5 Disampaikan kepada pers setelah mengunjungi Kodak Metro Jaya, mengecek persiapan pengamanan dalam menghadapi Pemilu 1982. Lihat ”Jadilah Anjing Yg Baik & Setia”, Sinar Harapan, 28 Januari 1982. 179 Januari 1982). Soedjarwo, anggota Tekab Kodak VII/Metro Jaya itu dinilai berhasil membongkar kasus perampokan yang meresahkan masyarakat dalam tempo singkat; yakni dalam tempo 16 jam setelah kejadian tanggal 30 Desember, pukul 11.15 WIB di Jalan Suryopranoto 11, Jakarta Pusat.6 Sehari setelah ucapan selamat yang disampaikan Presiden kepada Polri, dalam pidatonya di depan DPR RI pada tanggal 5 Januari 1982, Presiden Soeharto menyatakan: ”Walaupun keadaan keamanan di Indonesia cukup baik tetapi kwalitas kejahatan yang akhir-akhir ini cukup memprihatinkan perlu dapat diambil langkah pencegahan dan pemberantasan kejahatan dengan Pola Penanggulangan secara Nasional.”7 Pernyataan Presiden Soeharto di atas, kembali ditegaskan pada Rapat Pimpinan ABRI di Jakarta pada 13 Maret 1982. Presiden selaku Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata menyampaikan perintahnya secara lisan berkait dengan upaya menekan angka kejahatan. Presiden Soeharto dalam amanatnya mengatakan: ”Peristiwa-peristiwa kejahatan yang akhir-akhir ini menunjukkan gejala meningkat, perlu ditangani dengan tuntas. Di harapkan alat-alat keamanan khususnya kepolisian dengan bantuan dan kerjasama unsur2 ABRI serta alat keamanan lainya, 6 Ini merupakan kehormatan yang tidak biasa ditunjukkan oleh Presiden. Sehari kemudian Pangkopkamtib Laksamana Sudomo dan Kaskopkamtib Jenderal Widjojo Soejono mendatangi markas Anton. Polisi berhasil menangkap tujuh orang pelakunya, dua orang di antaranya oknum ABRI digulung tanggal 31 Desember 1981 pukul 03.00 WIB, dan pukul 23.00 WIB, masingmasing di Jakarta dan Bandung. Barang bukti yang berhasil disita tiga buah senjata api jenis, FN 45, Colt Cal 39 dan Vickers 9 mm serta Rp.19 juta uang tunai. Sedang yang dirampok dari PT. Raslin, Jalan Suryopranoto sebanyak Rp.32.175.000.- Lihat ”Presiden Mengucapkan ’Selamat’ Kepada Polri”, Merdeka, 5 Januari 1982; Tempo, Edisi 46/11-16/ Jan/82 – hlm 17. 7 ”Bicarakan Ttg. Penanggulangan Kriminalitas Secara Terpadu” , Pelita, 19 April 1982 180 dapat mengambil langkah dan menemukan pola operasional pencegahan dan pemberantasannya seefektif mungkin.”8 Tingginya angka kejahatan khususnya di Pulau Jawa bukan tanpa fakta. Setidaknya dari data Biro Pusat Statistik (BPS) maupun sumber sekunder lainnya menjelaskan di wilayah Jakarta pada tahun 1980 dilaporkan telah terjadi 33.538 kasus. Dan terus meningkat pada tahun 1981 menjadi 39.733 kasus. Sedangkan pada tahun 1982 melonjak menjadi 48.935 kasus. Sementara yang dapat diselesaikan oleh Polda Metro Jaya ketika itu, pada tahun 1980 sebanyak 12.791 kasus, pada tahun 1981 meningkat menjadi 16.659 kasus dan pada tahun 1982 menurun hanya 17.243 kasus. Jawa Timur menempati urutan kedua, pada tahun 1982 di tercatat kasus yang dilaporkan sejumlah 47.528 sementara yang mampu diselesaikan hanya 23.035 kasus. Di wilayah Jawa Tengah dan Yogyakarta pada tahun 1980 terjadi 36.121 kasus. Tahun berikutnya terjadi 36.978 kasus dan pada tahun 1982 mengalami penurunan kecil menjadi 32.936 kasus. 9 Sementara itu untuk wilayah Jawa Barat pada tahun 1981 tercatat 15.876 kejadian sedangkan pada tahun 1982 terjadi 14.291 kejadian yang dilaporkan.10 Di luar Jawa situasi keamanan juga tidak jauh berbeda. Hal ini dapat dilihat dari keterangan yang disampaikan oleh Kadapol II/Sumatera Utara Brigjen Pol. Drs. Hudioro kepada wartawan. Hudioro menjelaskan di Sumut pada tahun 1980 terjadi 26.010 kali kejahatan. Pada tahun 1981 sampai bulan Oktober terjadi 20.242 kali kejahatan.11 Menyinggung masalah waktu terjadinya kejahatan itu, Kadapol II/SU Brigjen pol Drs. Hudioro mengatakan, untuk 8 Suara Karya, 25 Juli 1983. 9 Lihat Suara Karya, 26 Mei 1983, Kedaulatan Rakyat, 26 Mei 1983. 10 Lihat Sinar Harapan, 3 Januari 1983 dan 29 Desember 1983. 11 ”Untuk Menekan Angka Kejahatan, Polri Kodak II-SU Lancarkan ’Operasi Sikat VI’ ” Merdeka, 11 Januari 1982 181 kejahatan pencurian dengan kekerasan di Sumut terjadi dalam 10 jam sekali sedangkan kejahatan pembunuhan 279 jam sekali, perkosaan 15 jam sekali, penganiayaan 1 jam sekali, pencurian biasa 1 jam sekali, dan pencurian kendaraan bermotor 102 jam sekali.12 Di bawah ini dapat kita lihat data mengenai tindak kriminalitas di Indonesia sepanjang tahun 1980 – 1982: KRIMINALITAS SEPANJANG TAHUN 1980-198213 12 Ibid. 13 Data Badan Pusat Statistik ini bila diamati dalam kolom ’Dilaporkan’ dan ’Diselesaikan’ maka akan terlihat keganjilannya, yaitu, angka yang ada dalam kolom ’Diselesaikan’ semuanya berada dikitaran 50 persen dari yang ’Dilaporkan’. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 Aceh Sumatra Utara Sumatra Barat Riau Sumatra Selatan Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur Nusa Tenggara Kalimantan Barat Kalimantan Selatan Tengah Sulawesi Selatan Tenggara Maluku Irian Jaya Jumlah 2657 22.262 1.673 1.924 11.289 33.538 11.849 26.150 41.186 ….. 3.215 3.950 910 5.850 8.095 1.247 354 176.149 No Provinsi / Wilayah Dilaporkan Diselesaikan 1980 1981 1982 1980 1981 1982 3.410 23.939 4.198 …. 14.101 39.733 16.226 36.096 52.973 6.142 4.212 2.498 5.848 10.347 5.556 2.546 2.330 230.155 2.725 23.145 3.460 2.283 11.212 48.935 14.306 32.260 40.150 8.354 3.913 5.562 3.247 9.086 9.859 2.435 2.836 223.768 1550 11.640 929 920 6.682 12.791 5.721 13.265 20.624 ….. 1.970 1.831 603 2.889 4.828 672 244 87.159 1.952 11.978 2.212 …. 8.384 16.659 7.523 19.027 26.335 2.581 2.318 1.282 2.668 5.857 2.349 1.403 1.299 113.827 1.347 8.323 1.351 1.134 6.527 17.243 5.921 16.964 19.153 3.287 1.647 2.521 1.701 4.394 4.604 1.300 1.880 99.297 Sumber : KontraS (Diolah dari Biro Pusat Statistik) 182 Sebenarnya beberapa langkah operasional telah dilakukan pihak keamanan. Misalnya, Polda Sumut mengerahkan sejumlah polisi berseragam di tengah-tengah masyarakat untuk menciptakan rasa aman, sekaligus mempermudah untuk meminta bantuan polisi jika diperlukan. Metode ini dipilih karena pengerahan polisi dalam berpakaian preman dinilai kurang mencapai sasaran. Selain itu penindakan langsung ke sarang-sarang penjahat juga dilakukan dengan dukungan dari Brimob. Gelar operasi pun telah dilakukan di Sumut dengan melakukan Operasi Sikat VI, Operasi Giat Kat dan Operasi Restra II untuk memerangi segala bentuk kejahatan yang meresahkan masyarakat yang mengarah sadisme. Selain operasi yang dilakukan oleh antar satuan di lingkungan kepolisian, ada pula operasi yang dilancarkan bersama Laksusda Sumut. Tidak berbeda dengan Polda Sumut, Polda Jawa Tengah juga melancarkan Operasi Cerah. Dari operasi ini terungkap keterlibatan anggota ABRI yang melakukan kejahatan dengan menggunakan senjata api. Di Jawa Barat, Dan Tabes 89/Bandung menggelar Operasi Buana I dengan melibatkan sedikitnya 150 anggota polisi dan gabungan yang terdiri dari DLLAJR, Pom ABRI dan Kodim 0618/Bandung. Dan Tabes 86/Bandung Letkol Pol. Drs. Syafuan dalam pertemuannya dengan 15 perwakilan pengusaha bus antar kota bahkan merencanakan kerjasama pengamanan bus di terminal maupun dalam perjalanan, sehingga keamanan dan keselamatan penumpang dapat terjamin.14 Berkaitan dengan pengamanan kejahatan di dalam transportasi bus ini, Sudomo malah sempat mengatakan akan membentuk Killer Squad, pasukan istimewa khusus bertugas memerangi perampok dengan cara mengawal bus-bus.15 Menurut Kapolri Jenderal Pol 14 ”Kobes 86/Bandung Lakukan Operasi ’Buana-1’ ”, Antara, 7 Maret 1982. 15 Menurut Kapten A. Muas Burhan-Kepala Penerangan Wilayah Pertahanan I di Medan, pembentukkan pasukan itu masih dalam persiapan karena instruksi dan petunjuk pelaksanaannya belum ada. Lihat Tempo, 12-17 Juli 1982. 183 Dr. Awaloeddin Djamin, penodongan supir bus yang dilakukan oleh kawanan penjahat disertai dengan penjambretan, perampasan barang-barang milik penumpang, merupakan gejala baru tindak kriminalitas di Indonesia pada saat itu.16 Ketidakberdayaan aparat keamanan mengatasi tindak kriminalitas yang merajalela ini kemudian mulai diarahkan sebagai isu politik dengan mengembangkan opini bahwa ekstrim politik berada di belakang aksi-aksi para kejahatan. Ini digulirkan oleh Pangdam VII/Diponegoro Mayjen TNI Ismail seusai rapat Muspida Tingkat I di Semarang yang saat itu mendengarkan laporan Kadapol IX/ Jateng Mayjen Pol. JFR Montolalu tentang pelaksanaan Operasi Cerah di wilayah Jawa Tengah dan Yogyakarta. Didampingi Gubernur Supardjo, Mayjen Ismail selaku pimpinan pertemuan mengatakan pada pers peningkatan kriminalitas dimungkinkan karena masih aktifnya golongan ekstrim di wilayah Kodam VII sebagai salah satu penyebabnya. Mayjen Ismail menegaskan: ”Unsur ekstim tersebut antara lain adalah generasi kedua atau ketiga dari bekas PKI atau DII-TII. Golongan ini termasuk ’golongan tengah’ yang telah menerjuni semua gatra (tingkatan) sosial untuk kepentingannya.” Hal yang sama juga disampaikan Mendagri Amirmachmud usai menghadap Presiden Soeharto di Bina Graha tentang kegiatan Pekan Komunikasi pembinaan bekas tahanan G-30-S/PKI yang sedang berlangsung di Jakarta. Dalam keterangan persnya Amirmachmud menjelaskan: ”Terjadinya berbagai tindakan kriminal dan kejahatan yang terjadi akhir-akhir ini serta gejala politik menjelang Pemilu 16 ”Penodongan & Perampasan Di Bis Gejala baru Kriminalitas”, Sinar Harapan, 19 April 1982. 184 yang lalu, karena eks PKI ikut bermain. Ada bukti atau tidak feeling saya mengatakan begitu”17 Bergesernya isu kriminalitas ini dari pelaku residivis menjadi pelaku yang berlatar politik membuat Kapolda Metro Jaya saat itu harus menyampaikan klarifikasi atas rumor yang berkembang bahwa ia terlibat dalam organisasi kumpulan para preman dan mantan residivis. Kasipendeak Kodak Metro Jaya, Lekol Pol Bazar, bertempat di Polda Metro Jaya membantah rumor tentang Kadapol, Kadapol tidak pernah menjadi pelindung organisasi yang menamakan diri ”PREM’S” maupun ”Security guard” atau sejenisnya. 18 Hingga Agustus 1982 tidak ada perubahan berarti dari upaya pemerintah menekan angka kejahatan. Presiden Soeharto dalam Pidato Kenegaraan 16 Agustus 1982 kembali menegaskan perintahnya kepada aparat keamanan: ”Sementara itu kita masih harus memberikan perhatian yang lebih serius untuk memberantas secara tuntas para pelaku kejahatan yang dilakukan dengan kekerasan dan kekejaman yang akhir2 ini terjadi di perampokan, pembajakan bis dan sebagainya. Saya minta agar seluruh jajaran ABRI, khususnya polisi sebagai alat penegak hukum dapat mengatasi ganguan yang meresahkan masyarakat itu.”19 Menanggapi pernyataan Presiden di atas, Kapolri Jenderal Pol. Awaluddin bertempat di gedung Manunggal AKABRI, pada 19 Agustus 1982 mengatakan, apa yang dikemukakan oleh Bapak 17 ”Mendagri: Eks PKI Ikut Main Dalam Tindakan Kejahatan yang Terjadi Dewasa Ini”, Merdeka, 12 Agustus 1982. 18 ”Kadapol Tak Pernah Jadi Pelindung PREM’S”, Merdeka, 24 Februari 1982. 19 Suara Karya, 25 Agustus 1983. 185 Presiden dalam pidato kenegaraannya 16 Agustus lalu, harus menjadi cambuk bagi setiap anggota Polri dari pelosok tanah air. Lebih lanjut, Kapolri menegaskan yang menjadi permasalahan bagi pelaksanaan tugas pokok Polri bukan hanya keberhasilan dengan menekan angka kejahatan saja, tetapi bagaimana Polri harus dapat memberantas kejahatan-kejahatan tertentu seperti pembunuhan sadis, perampokan, pencurian kendaraan yang meresahkan masyarakat. 20 Selanjutnya, pada tanggal 9 sampai 11 September 1982 di Ambarawa, Jawa Tengah, enam Kadapol melakukan Rapat Koordinasi. Kadapol yang mengikuti Rakor itu ialah Kadapol Kodak VI/ Sumatera Bagian Selatan, VII/Metro Jaya, VIII/Jawa Barat, IX/ Jawa Tengah, X/Jawa Timur dan XI/Nusa Tenggara pada 9-11 September 1982. Kadapol Metro Jaya Mayjen Pol Anton Soedjarwo saat sambutan pembukaan Rakor Kadapol VI sampai dengan XI di Ambarawa Jawa Tengah pada 9 September 1982, mengatakan, ”dewasa ini timbul kecenderungan pergeseran sifat kejahatan ke arah yang lebih sadis (cetak miring penulis), sadisme tersebut dilakukan penjahat di samping untuk menghilangkan jejak, juga untuk mempengaruhi psikologi dan moral masyarakat.” Kerja sama antar Kodak penting dalam usaha penanggulangan kejahatan karena salah satu Kodak dapat dijadikan tempat pelarian para pelaku atau tempat pelempar hasil-hasil kejahatan serta tempat merencanakan sebuah kegiatan. Dengan pola kebersamaan usaha penagulangan juga dapat menpersempit ruang gerak pelaku kejahatan antar wilayah hukum. Dengan diadakannya Rakor diharapkan pula akan tercapai pendekatan saling pengertian di antara 20 ”Tugas Polri Bukan Hanya Tekan Angka Kejahatan”, Merdeka, 23 Agustus 1982 , Ka. Polri: Terdapat Peningkatan Beberapa Kejahatan Tertentu, Berita Buana, 23 Agustus 1982. 186 Kodak VI hingga XI sebagai Kodak yang saling berdampingan, dalam upaya menanggulangi dan memberantas secara tuntas kejahatan dengan kekerasan yang meresahkan masyarakat. Kalau dahulu penjahat akan menyakiti atau membunuh korban apabila dalam keadaan terjepit maka sekarang ini menjadi kebalikan dimana korban dilumpuhkan atau dibunuh terlebih dahulu agar barang yang akan diambil mudah untuk dilaksanakan dan tidak akan ada saksi terutama dari korban.21 Kapolri Jenderal Pol. Dr. Awaloedin saat penutupan Rakor Kodak VI sampai dengan XI pada 11 September 1982, kembali mengingatkan bahwa kejahatan yang meresahkan masyarakat di Indonesia tetap tinggi terutama di pulau Jawa dan merembes ke Sumatra bagian selatan dan Bali. Untuk itu, berdasarkan amanah Presiden pada tanggal 16 Agustus lalu, menjadi tugas Polri menekan bahkan kalau bisa menghilangkan kejahatan yang meresahkan masyarakat.22 Dalam beberapa pernyataan yang dikeluarkan oleh pihak keamanan dapat dilihat bahwa pelaku kejahatan pada saat itu diidentifikasi berusia antara 18-24 tahun. Para pelaku tidak hanya lelaki tetapi juga perempuan, sebagian besar pelaku adalah residivis sekalipun ada pula di antara pelaku adalah pelajar sebagaimana yang sempat disampaikan oleh Kadapol IX/Jateng Mayjen Pol. JFR Montolalu. Mobilitas pelaku cukup tinggi dan tidak mengenal batas-batas daerah. 21 ”Kejahatan dengan Kekerasan Akan Diberantas Tuntas”, Antara, 10 September 1982 ; Suara Karya, 10 September1982; Sinar Harapan, 10 September 1982, Raker Kadapol Se- Jawa-Bali & Di Bandungan. 22 ”Kejahatan yg Meresahkan Tetap Tinggi Terutama Di Pulau Jawa”, Sinar Harapan, 13 September 1982 , Suara Karya, 13 September 1982, Rakor 6 Kadapol Menghasilkan Konsensus Bandungan. 187 Menurut Mayjen Anton Soejarwo aksi kekerasan ini sebagai dampak pesatnya laju pembangunan nasional, dampak perkembangan situasi ekonomi dan melebarnya faktor-faktor kriminogen lainnya. Sehingga membutuhkan perhatian dan pengambilan langkahlangkah intregatif yang menjangkau instansi di luar kepolisian.23 Berbeda dengan Kadapol II/Sumatera Utara Brgjend Hudioro menilai meningkatnya kualitas kejahatan ini tidak terlepas dari tidak diperhatikannya faktor pembinaan para narapidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan. Lebih lanjut Hudioro mengatakan, ”Seolaholah lembaga pemasyarakatan dibuat sebagai sekolah kejahatan.”24 Selain itu, menurut Hudioro, pada bekas narapidana itu mengalami kehidupan ekonomi yang tidak baik dan tidak ada yang memperhatikan kehidupannya di tengah-tengah masyarakat. Sikap apriori masyarakat dan dunia usaha terhadap para mantan narapidana, membuat mereka tidak mempunyai banyak pilihan untuk mempertahankan hidupnya. II. Operasi-operasi Pemberantasan Kejahatan Pada 19 Januari 1983, Pangkopkamtib Laksamana TNI Sudomo, seusai Rapat Koordinasi yang dipimpinnya, ikut hadir antara lain Kapolri Letjen (Pol) Anton Sudjarwo, Wapangkowilhan II, Marsekal Muda Atmodjo, Kadapol VII Metro Jaya Brigjen (Pol) Drs. R. Sudjoko, Pangdam V/Jaya Mayjen Try Sutrisno dan Wagub DKI HAKI Chourmain di Kodak Metro Jaya, menjelaskan upaya penanggulangan kejahatan di Jakarta diberi nama ” Operasi Clurit”. Operasi itu tidak akan jauh berbeda dengan gerakan 23 ” Semua Berharap Konsensus itu Dapat Atasi Gangguan Kamtibmas Berlingkup Antar Kodak” Merdeka, 18 September 1982. 24 ”Kwalitas Kejahatan Tak Lepas dari Pembinaan Napi”, Merdeka, 7 Juni 1982 188 operasi lain yang pernah dilancarkan. Dalam penanggulangan dan pemberantasan terhadap tindak kejahatan perlu juga untuk mengembalikan momentum penertiban. Operasi Clurit sini akan mengarah kepada suatu Siskamling yang efektif dan efesien. Dalam Operasi Clurit ada pemeriksaan senjata tajam dan senjata api dari rumah ke rumah. Hal itu dimaksudkan untuk mengurangi peluang terhadap terjadinya suatu tindak kejahatan. Menyinggung banyaknya jumlah residivis di Jakarta, Sudomo mengatakan akan mengatur mereka sehingga menjadi warga negara yang baik, para residivis itu akan dikumpulkan dalam arti diatur supaya kembali berkelakuan baik. Untuk pengamanan, tampaknya tidak ada jalan lain yang lebih baik, sebab hukum yang dijatuhkan sering tidak menangkal kejahatan yang terjadi. Operasi Clurit dilangsungkan selama sebulan dan merupakan gerakan terpadu dengan melibatkan unsur Polri, Laksusda dan masyarakat. Operasi menitikberatkan pada tindakan yang dapat menekan tindak kejahatan secara drastis. Untuk mencegah para penjahat mengalihkan kegiatannya ke luar kota dan daerah-daerah lain juga telah mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan tersebut.25 Operasi Clurit yang pada awalnya ini diterapkan di Jakarta ternyata juga diterapkan disejumlah daerah berdasarkan perintah Pangkopkamtib. Tidak hanya di kepolisian tetapi termasuk ABRI ketika itu secara aktif turut melakukan operasi pemberantasan kejahatan. Laksusda Jawa Tengah/DIY Pangdam VII/ Diponegoro Mayjen Ismail, menerangkan bahwa Laksusda Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta dalam waktu dekat akan melaksanakan operasi imbangan terpadu untuk mengimbangi pelaksanaan Operasi Clurit yang dilaksanakan oleh Pangkopkamtib di daerah Jakarta dan sekitarnya. Terhadap para pelaku kejahatan, 25 Kompas, 20 Januari1983; Sinar Harapan, 20 Januari1983. 189 Pangkopkamtib memerintahkan untuk menembak di tempat pelaku- pelaku kejahatan. Apalagi terhadap para penjahat yang sedang melaksanakan tindak kejahatan serta memang sulit untuk diatasi. Operasi ini dimaksudkan untuk menciptakan rasa aman tentram masyarakat dan demi suksesnya sidang umum MPR 1983.26 Komandan Wilayah Kota Besar Kol. Pol. Drs Soentono menjelaskan, Surabaya sebagai kota besar nomor dua di Indonesia setelah Jakarta juga melaksanakan Operasi Clurit karena senjata tajam jenis tersebut banyak di pakai untuk kejahatan. Hasil Operasi cukup baik, tetapi jumlahnya belum mencapai ratusan. Ia menolak Operasi Clurit di wilayahnya dilakukan dari rumah ke rumah penduduk. Alasannya kondisi Jakarta lain dengan Surabaya, karena itu penanggulangan terhadap pengunaan senjata tajam masih dipandang cukup dengan razia ditempat umum.27 Instruksi untuk melakukan tembak di tempat bagi para penjahat juga mulai mengemuka dari pandangan beberapa pejabat kepolisian. Danwil Kapol 108, Letkol Pol Wahono Prijodarmojo, mengintruksikan aparatusnya: ”Jika terlihat ada gelagat mencurigakan dari penjahat lebih baik dahului mereka dengan pistol dari pada kalian di hantam dengan clurit. Dewasa ini para penjahat melakukan kejahatan begitu sadis, sudah banyak anggota Polri yang luka karena tikaman Clurit, bahkan ada anggota kita yang terbunuh oleh perbuatan kejam mereka.”28 Asisten Operasi Jateng Kol Pol Drs. Darmawan, menerangkan selama Operasi Clurit berlangsung di beberapa Korwil di Jateng 26 Kompas, 27 Januari 1983 27 Ibid. 28 Suara Karya, 31 Januari 1983. 190 berhasil disita senjata tajam sebanyak 438 berupa clurit, klewang, tombak, badik, golok dan trisula. Di Semarang pelaku kejahatan yang sudah ditangkap sejumlah 14 orang dan 2 orang meningal dunia, seorang karena di keroyok massa di Karawan Jati dan seorang lagi meningal di RS Karyadi.29 Kadapol VIII Jabar, Mayjen Pol Drs Herman Sudjanadiwirja dalam penjelasan mengatakan, Operasi Clurit di Jabar yang terus ditingkatkan kegiatannya, hingga tahun 1983 telah berhasil meyita 28 senjata api 501 senjata tajam. 54 clurit, 24 kendaraan beroda empat, serta 72 kendaraan beroda dua sedangkan jumlah pelaku yang di tangkap 204 orang.30 Pangkopkamtibda Jaya, Mayjen Try Sutrisno, usai melapor kepada Pangkopkamtib Laksamana Sudomo menjelaskan untuk mempercepat pengurangan tingkat kejahatan di Jakarta, sejak tanggal 20 Januari 1983 dilancarkan Operasi Clurit. Pimpinan Operasi langsung dipegang Laksus Pangkopkamtibda Jaya. Hasilnya selama sepuluh hari ini, operasi berhasil menyita tiga senjata api, 209 senjata tajam dan clurit 23 buah. Selama operasi dilancarkan para petugas menangkap 871 orang yang dicurigai. Dari jumlah ini ditahan 434 orang, di antaranya 32 orang diserahkan ke Tim Khusus dan 176 diserahkan ke instansi lain seperti Dinas Sosial. Petugas Operasi Clurit terpaksa menembak sepuluh orang selama sepuluh hari Operasi, karena mereka melawan atau melarikan diri; dua di antaranya tewas tertembak. Dibandingkan bulan Desember, angka kejahatan selama Januari secara menyeluruh telah memperlihatkan penurunan.31 Selain Operasi Clurit, di Jakarta pada Maret 1983 juga dilaksanakan Operasi Landak. Operasi Landak dilancarkan secara 29 Suara Karya, 1 Februari 1983 30 Berita Buana, 7 Februari 1983 31 Kompas, 2 Februari 1983. 191 mendadak dan tersebar di seluruh Jakarta baik oleh Reserse Kodak Metro Jaya maupun Kores di sembilan wilayah termasuk Tangerang, Bekasi dan Depok.32 Sementara itu, Komandan Distrik Militer 0734 Yogyakarta Letkol CZI Moch. Hasbi, menghimbau para pengusaha dan anggota masyarakat lainnya agar tidak lagi memberikan ”setoran” kepada pemeras dan penjahat melalui tukang-tukang pungutnya. Apabila praktek pemberian ”upeti” tersebut terus berlangsung, akan melahirkan oknum-oknum penjahat baru. Menurut Moch. Hasbi, tindakan pembersihan yang digalakkan akan kurang bermakna kalau muncul lagi penjahat-penjahat baru.33 Sejak saat itu korban penembakan misterius mulai berjatuhan. LBH Jakarta pada bulan Mei 1983 menyatakan selama 3 bulan terakhir tercatat 19 orang tewas akibat penembakan misterius.34 Berdasarkan catatan KontraS pada bulan Mei 1983 di Jakarta tercatat 38 korban. Jumlah korban ini meningkat di bulan Juni menjadi 50 orang korban dan di bulan Juli 49 korban. Sementara di bulan Agustus yang diketahui hanya satu orang korban. Dari 138 korban Petrus di Jakarta pada tahun 1983, 103 korban diketahui mengalami luka tembak, ditambah beberapa korban selain ditembak juga mengalami kekerasan dengan menggunakan senjata tajam/pisau dan benda tumpul. Luka tembak yang dialami korban sebagian besar lebih dari satu peluru yang bersarang di tubuhnya. Dari data yang dikumpulkan KontraS menggambarkan penggunaan senjata api oleh pelaku Petrus terhadap para korbannya pada tahun 1983 merupakan alat yang paling banyak digunakan. Setidaknya dari 532 korban yang tersebar di 11 Propinsi 367-nya diketahui mengalami luka tembak. 32 Suara Karya, 25 Maret 1983; Kompas, 26 Maret 1983. 33 Kedaulatan Rakyat, 6 April 1983. 34 Lihat Sinar Pagi, 16 Mei 1983 192 Data korban Petrus di Jakarta pada tahun 1983 di atas dapat dikatakan nomor dua terbesar di seluruh Indonesia. Peringkat pertama jumlah korban adalah Jawa Barat sebanyak 158 orang, kemudian Jakarta, dan menyusul Jawa Tengah dengan jumlah korban 111 orang. Di Sumetera Utara terdapat 50 korban, Jawa Timur sebanyak 41 orang, Yogyakarta yang tercatat hanya 6 orang, di Sumatera Selatan 12 orang, dan di Lampung sebanyak 4 orang. Di Kalimatan Barat tercatat 7 orang dan di Kalimatan Timur 3 orang sementara di Bali hanya 2 orang. Di tahun 1984 jumlah korban petrus yang terpublikasi semakin kecil, dari data sekunder yang KontraS telusuri hanya tercatat 107 korban. Korban terbesar ada di wilayah Jakarta sebanyak 65 orang diikuti Jawa Barat 31 orang, sementara di wilayah yang lainnya hanya tercata di Yogyakarta sebanyak 8 orang, Jawa Tengah 1 korban dan Sumatera Selatan 2 orang. Dari 107 korban itu yang terpublikasi mengalami luka tembak hanya 15 orang. Bila dibandingkan dengan tahun 1983, terlihat sekali perbedaannya. Pada tahun 1984 diketahui 59 orang mengalami kekerasan dengan benda tumpul. Pada tahun 1985 jumlah korban secara keseluruhan yang terdata hanya 74 orang. Jumlah korban terbesar berada di Jawa Barat dengan jumlah 46 orang, diikuti Jakarta 26 korban. Sementara di Jatim dan Sumsel masing-masing hanya 1 orang korban yang terpublikasi. Pelaku dari penembakan misterius ini sebagian tidak diketahui, hanya sekitar 3% dari pelaku diketahui sebagai aparat keamanan. Modus dari pelaku biasanya terlebih dahulu diambil secara paksa dan dibawa oleh kendaraan pelaku ke tempat lain. Sekalipun ada beberapa korban yang mengalami tembak di tempat, ada pula korban yang dihabisi dengan cara ditabrak sepeda motor. Setelah korban dieksekusi korban biasanya dimasukkan ke dalam karung dan dibuang di sungai/kali, semak-semak laut/pantai, pinggir jalan, di kebon dan hutan. Tidak semua korban ditemukan mayatnya, pada tahun 1983 setidak tercatat 19 korban mengalami penghilangan paksa. 193 Para korban sebagian sebelum ditembak mengalami penyiksaan yang sangat berat. Zamat, salah seorang korban petrus ditemukan meninggal dengan dua tembakan di kepala dan kemaluannya dipotong serta kepalanya patah menghadap belakang dan lehernya biru bekas jeratan tali.35 Penyiksaan ini juga dialami oleh Sayuti salah seorang korban petrus. Kemaluannya diikat dengan tali sepatu dan menahan sakit serta ketakutan hingga buang air besar di celana, serta mengalami luka tembak di paha, dada, dan muka.36 Tidak semua korban adalah penjahat/residivis, preman atau orang bertato, korban salah tembak juga kerap terjadi atau situasi ini dimanfaatkan pihak lain agar korban di-petrus-kan. Misal, Viktor Sinaga usia 15 tahun pelajar SMPN 68 Cijantung, menjadi korban petrus dengan sembilan luka tembak pada 27 Mei 1983. Viktor Sinaga ini adalah salah satu korban salah tembak karena nama yang sama adalah seorang revidis yang telah berusia dewasa. Cerita lain dialami oleh Yance Konekera supir pribadi dari Agus Tarsisius Ganto Wijaya mantan Ketua Prem’s Pusat, sejak melaporkan peristiwa penculikan terhadap Agus kepada polisi pada 13 Juni 1983, sejak itu pula keberadaan Yance tidak lagi diketahui. Yance dikenal tidak pernah melakukan kejahatan. Hal yang tidak jauh berbeda dialami oleh Gobang alias Oeu Yun Tiam, usia 45 tahun pekerjaan supir taksi. Gobang ditembak dari jarak dekat yang menembus perutnya pada 13 Juli 1983 di depan rumahnya. Padahal, sebenarnya yang menjadi sasaran adalah seorang pengedar dan penjual kartu porno.37 Ujang Suryadi adalah salah satu korban petrus akibat ketidaksenangan salah seorang pengurus RT/RW yang juga seorang Kopral Marinir yang bernama Taman Suwarno. Taman memaksa pengurus 35 Investigasi KontraS, 13 April 2003. 36 Investigasi KontraS, 29 Juli 2002. 37 Investigasi KontraS, 13 Agustus 2002. 194 lingkungan lainnya dengan todongan senjata untuk menandatangani petisi yang menyatakan bahwa korban adalah residivis yang sering meresahkan masyarakat dan untuk alasan itu harus dilenyapkan. Hasil petisi itu dikirimkan ke Kotak Pos XX untuk maksud tersebut. Aparat dari Ganirzun sempat memperingatkan korban untuk pergi dari Jakarta jika ingin selamat. Korban sebelum dibunuh terlebih dahulu diculik dan ditemukan dengan 7 luka tembak. Menurut keluarga korban aparat mempunyai daftar nama preman, karena sebelumnya pada kampanye Golkar tahun 1982, Golkar banyak mengerahkan preman bayaran termasuk dari keluarga korban.38 Jatuhnya banyak korban penembakan misterius ini menimbulkan banyak pro kontra. Penentangan terhadap praktek penghukuman di luar hukum ini dilontarkan oleh Ir. Sarwono Kusumaatmadja (Sekretaris Fraksi Karya Pembangunan), H. Mohammad Thamrin (Wakil Ketua Komisi III DPR-Bidang Hukum), Kemas Badaruddin (anggota DPR RI), H. Muhar Madjid (anggota DPR RI), YLBHI, Sutomo (anggota DPR Fraksi PDI), dan mantan Wakil Presiden Adam Malik. Sementara dukungan terhadap penerapan operasi penembakan misterius ini juga ditunjukkan oleh banyak kalangan. Di antaranya DPRD Kodya Yogyakarta Komisi A yang disampaikan oleh Mayor Suharto, Ketua PP Muhammadiyah KH. A.R. Fahchrudin, Ipik Asmasoebrata (Anggota Komisi I DPR RI), Amin Iskandar (anggota DPR RI), Nuddin Lubis (Wakil Ketua DPR/MPR), Amirmachmud (Ketua MPR/DPR), Ali Murtopo (Wakil Ketua DPA), dan lain-lain. Menteri Kehakiman Ali Said, malah mengatakan: ”Masalah penembakan gelap terhadap para penjahat tidaklah berdiri sendiri, tetapi berkaitan dengan persoalan-persoalan yang mendahuluinya. Penembakan gelap itu bisa saja akibat 38 Investigasi KontraS, 28 Februari 2003. 195 perkelahian antar ”geng”, tetapi juga bisa dilakukan oleh petugas keamanan. Apalah arti puluhan penjahat yang ditembak mati jika dibandingkan dengan puluhan ribu dan mungkin ratusan ribu orang yang menjadi korban perbuatan mereka.39 Dengan melegitimasi istilah hak asasi masyarakat, Wakil Ketua Komisi I DPR, Marzuki Darusman SH, menyatakan dukungan: ”Nampaknya penembakan terhadap para pelaku kejahatan seperti akhir-akhir ini merupakan pilihan terakhir karena pilihan di luar itu tidak bisa mengatasi persoalan. Masalahnya harus pula dikaitkan dengan keseimbangan hak asasi masyarakat yang membutukan ketentraman dan keamanan. Dalam hal ini penembakan terhadap pelaku tindak kejahatan tentunya tidak bertentangan dengan hak asasi masyarakat, seseorang dan hukum. Mestinya hal itu bisa dijadikan peringatan bagi siapa pun yang mencoba melawan hukum.”40 Pengakuan secara tidak langsung dilakukannya penembakan misterius ini juga terlontar dari pejabat keamanan. Kepala BAKIN Yoga Sugama, dalam acara dengar pendapat dengan Komisi I DPR RI, 7 Juni, ketika ditanya tentang penembakan misterius, menjelaskan: ”Kejahatan di Indonesia sudah melewati batas kemanusiaan sehingga untuk menanggulanginya diperlukan tindak penangkal yang lebih keras. Langkah ini amat perlu untuk kemudian mengembalikan segala sesuatunya secara yuridis.”41 39 Sinar Harapan, 23 Mei 1983 40 Penjelasan atas pertanyaan wartawan tentang Penembakan misterius. Lihat, Suara Karya, 24 Mei 1983 41 Pos Kota, 8 Juni 1983 196 Pangab Jenderal LB Murdani seusai Rakor Polkam tingkat Menteri di Departemen Luar Negeri pada 21 Juni 1983 menjelaskan: ”Saya menilai penembakan-penembakan akhir-akhir ini terhadap orang-orang yang pernah dihukum, selain dilakukan oleh petugas keamanan (cetak miring penulis) juga dilakukan oleh anggota-anggota Gang tertentu yang diakibatkan persaingan di antar Gang yang semakin keras” LB Murdani bahkan meragukan jumlah korban waktu yang hanya tercatas 35 orang, karena hal itu baru berdasarkan jenasah yang ada di RSCM. 42 Kasus penembakan misterius ini mendapat perhatian dari Menteri Luar Negeri Belanda Hans van Broek yang pada 4 Januari 1984 berkunjung ke Indonesia. Selain itu kasus ini juga menjadi perhatian publik Australia yang mempertanyakan hal ini kepada Dubes Indonesia untuk Australia August Marpaung pada suatu acara televisi Ethnic Channel di Canberra Australia, 17 September 1983. Pengakuan Presiden Soeharto atas diambilnya kebijakan penembakan misterius ini terungkapa kemudian lewat otobiografinya yang diterbitkan pada tahun 1988. Presiden Soeharto dalam bukunya itu menjelaskan : ”Masalah yang sebenarnya adalah bahwa kejadian itu didahului oleh ketakutan yang dirasakan oleh rakyat (cetak miring penulis). Ancaman itu datang dari orang-orang jahat, perampok, pembunuh, dan sebagainya. Ketentraman terganggu. Seolah-olah ketenteraman di negeri ini sudah tidak ada. Yang ada seolah-olah hanya rasa takut saja (cetak miring penulis). Orang-orang jahat itu sudah bertindak melebihi batas perikemanusiaan. Mereka 42 Kompas, 22 Juni 1983; Sinar Pagi, 23 Juni 83; Sinar Harapan 22 Juni 1983. 197 tidak hanya melanggar hukum, tetapi sudah bertindak melebihi batas perikemanusiaan (cetak miring penulis). Umpannya saja, orang tua sudah dirampas berbagai miliknya, kemudian masih dibunuh. Itu ’kan sudah diluar kemanusiaan. Kalau mengambil, ya mengambillah, tetapi jangan lantas membunuh. Kemudian ada perempuan yang diambil kekayaannya dan si istri orang lain itu masih juga diperkosa oleh orang jahat itu, di depan suaminya lagi. Itu sudah keterlaluan! Apa hal itu mau didiamkan saja?” ”Dengan sendirinya kita harus mengadakan treatment, tindakan yang tegas. Tindakan tegas bagaimana? Ya, harus dengan kekerasan (cetak miring penulis). Tetapi kekerasan itu bukan lantas dengan tembakan, dor! Dor!begitu saja. Bukan! Tetapi yang melawan, ya, mau tidak mau harus ditembak. Karena melawan mereka ditembak (cetak miring penulis).” ”Lalu ada mayatnya ditinggalkan begitu saja. Itu untuk shock therapy. Supaya orang banyak mengerti bahwa terhadap perbuatan jahat masih ada yang bisa bertindak dan mengatasinya (cetak miring penulis)”.43 Bab. III. Mengontrol Badan Intelijen dengan HAM Pertama, kasus penembak-penembak misterius di atas menunjukkan bahwa penambahan kekuasaan dan kekuatan secara berlebihan tak mampu mencapai tujuan; mengatasi kejahatan yang membuat masyarakat resah. Yang terjadi dengan maraknya orang 43 G. Dwipayana & Ramadhan K.H. (ed) , Otobiografi Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, Jakarta: PT Citra Lamtoro Gung Persada, 1988, hlm 364. 198 tewas karena penembak misterius justru menambah keresahan di masyarakat itu sendiri. Kedua, peran badan intelijen pada kasus penembakan misterius tersebut juga jelas menunjukkan cara yang salah, yakni melibatkan langsung badan intelijen dalam tugastugas penegakan hukum khususnya memberantas kejahatan lewat operasi tertutup intelijen. Seperti perdebatan saat ini dalam mengatasi ancaman nasional atau melawan kejahatan terorisme, badan intelijen merasa perlu mengambil aksi pencegahan sebelum suatu kejahatan terjadi, dengan meminta wewenang menangkap, menggeledah, bahkan menyita. Alasannya, kepolisian dipandang tak mampu menangani. Di sini, pembedaan antara aktivitas intelijen dengan penegakan hukum sengaja dikaburkan. Badan intelijen yang ideal dituntut untuk melaksanakan tugastugasnya secara profesional, objektif dan sesuai kaidah-kaidah hukum dan hak asasi manusia. Sistem negara demokrasi membagi kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif, ke dalam konstitusi. Tujuannya, agar tidak terjadi konsentrasi kekuasaan yang besar pada satu pihak apakah itu eksekutif, yudikatif maupun legislatif sehingga berpotensi bagi penyalahgunaan kekuasaan. Dalam sistem negara hukum seperti Indonesia, segala kekuasaan yang diberikan kepada lembaga-lembaga negara khususnya institusi keamanan harus dibatasi, sehingga terjamin hak-hak dan kebebasan dasar warga negara seperti tertuang dalam konstitusi itu sendiri. Badan intelijen memang tidak diatur dalam konstitusi, tetapi badan ini berada di bawah langsung badan eksekutif sebagai penyelenggara pemerintahan. Badan intelijen, bahkan presiden sebagai pejabat tertinggi dari badan eksekutif atau pemerintah harus dibatasi kekuasaannya sehingga tidak sewenang-wenang. Pengawasan dan kontrol terhadap pemerintah termasuk lembaga-lembaga yang berada dibawahnya seperti militer, polisi dan intelijen, menjadi tugas dan tanggungjawab badan legislatif. Kontrol dan pengawasan itu dilakukan melalui undang-undang, pengawasan terhadap eksekutif 199 dalam pelaksanaan undang-undang termasuk melalui kontrol anggaran dari badan-badan yang ada dalam pemerintahan. Kita memerlukan produk hukum untuk mengatur ruang lingkup badan intelijen, mulai dari apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan badan intelijen sampai dengan bagaimana kontrol terhadap badan intelijen dilakukan. Undang-undang yang akan dibuat mengenai Badan Intelijen Negara (BIN) akan menabrak konstitusi dan perundang-undangan yang lainnya bila memberi wewenang-wewenang penegakan hukum kepada BIN. Khusus menyangkut masalah kewenangan untuk penggeledahan, penyitaan, penangkapan dan penahanan telah diatur oleh Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menegaskan wewenang tersebut ada pada pihak kepolisian sebagai penyidik. Di luar itu, memang ada lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi yang diberi wewenang penyidikan, bahkan penuntutan, tetapi tindakan menangkap atau menahan dilakukan dengan meminta bantuan dari polisi. Kaidah-kaidah inilah yang harus menjadi pedoman dalam pelaksanaan aktivitas intelijen. Berdasarkan kaidahkaidah inilah maka badan intelijen tidak dapat dibenarkan untuk melakukan tindakan-tindakan penegakan hukum.44 Dalam menjalankan tugasnya mengumpulkan, menganalisis dan menyuplai informasi kepada pengguna tunggalnya yakni presiden, badan intelijen dibatasi oleh kaidah normatif itu. Kewenangan memanggil, menangkap atau menahan seseorang untuk dimintai keterangan harus menjadi kewenangan penegak hukum seperti 44 Sering muncul argumen yang membenarkan seorang aparat intelijen untuk menangkap langsung ketika mengetahui atau melihat seseorang tengah melakukan kejahatan. Argumen ini memang benar, dan siapapun termasuk warga sipil biasa memang dibenarkan untuk menangkap seseorang yang tertangkap tangan melakukan kejahatan. Dalam perdebatan tiga RUU yang menjadi rujukan tulisan ini, bahasan lebih merujuk pada kondisi di luar keadaan tertangkap tangan. 200 polisi. Sebab dalam lembaga penegak hukum yang juga memiliki aparat intelijen tersendiri, hanya aparat tertentu yang dibolehkan untuk memanggil, menangkap, atau menahan seseorang sekalipun untuk dimintai keterangan. Dalam kepolisian misalnya, hanya aparat reserse yang dibolehkan, bukan intelijen kepolisian. Aparat intelijen yustisial bertugas membantu penyediaan informasi yang relevan dengan perkara hukum yang ditangani, misalnya dalam kasus-kasus tindak pidana. Ketiga draf RUU di atas ingin memberi legalitas bagi badan intelijen untuk melakukan tindakan-tindakan hukum seperti yang dimiliki penegak hukum seperti polisi. Padahal sebuah badan intelijen seperti Badan Intelijen Negara (BIN), yang berada di bawah badan eksekutif, bukan penegak hukum atau menjadi bagian dari sistem penegakan hukum. Konstitusi telah membagi kekuasaan ke dalam tiga ranah, yudikatif, legislatif dan ekskutif. Kekuasaan untuk menggeledah, menyita, menangkap, menahan, menuntut dan mengadili seseorang yang disangka terlibat kejahatan merupakan wilayah kekuasaan penegak hukum yakni berada dalam ranah yudikatif. Sementara kewenangan untuk melakukan pencegahan dan penangkalan misalnya, harus tetap menjadi kewenangan dari Menteri Kehakiman (Menteri Hukum dan HAM) atas permintaan Jaksa Agung RI. Alasan-alasan dalam tiga buah draf RUU tersebut ingin memberi justifikasi bagi Badan Intelijen Negara untuk melakukan tindakan- tindakan di atas. Bila ini terjadi, maka bukan saja sekadar menimbulkan kekaburan dalam membedakan aktivitas intelijen dan penegakan hukum, kekaburan dalam memahami arti dari ancaman nasional, integritas nasional, kepentingan nasional, dan semua yang serba nasional. Tapi juga merusak sistem demokrasi serta melanggar hukum dan hak asasi manusia sekaligus. Oleh karena itu, kita perlu mengingatkan DPR sebagai badan legislatif untuk tidak mengakomodir klausul-klausul yang tertuang dalam 201 RUU Intelijen Negara seperti disinggung di atas. Salah satu cara mengantisipasi munculnya kembali RUU yang memuat klausulklausul berbahaya itu adalah perlu mengelaborasi lebih jauh alasanalasan di balik klausul-klausul yang membenarkan perluasan kekuasaan badan intelijen. 202 Intelijen, Sensor, dan Negeri Kepatuhan Oleh: Stanley (ISAI) Pergantian kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru ditandai dengan dimunculkannya histeria anti-komunis berupa penangkapan, penyiksaan, pembunuhan serta pembuangan jutaan orang yang dituduh berideologi ”kiri”. Dari mereka yang hidup sebagian dijebloskan ke dalam berbagai penjara di tanah air, sebagian lagi dikirim ke Pulau Nusakambangan dan Pulau Buru. Para pendukung Soekarno ditangkap dan dipenjarakan hingga belasan tahun, baik dari kalangan sipil maupun militer. Lembaga dan semua barisan pendukung politik Soekarno dibubarkan dan dinyatakan terlarang. Para sukarelawan Dwikora dan pendukung Soekarno di rimba Kalimantan Barat dan perbatasan Kalimantan Utara dikepung dan dijepit bersama bala tentara kerajaan Malaysia. Mereka lantas diburu dengan tuduhan sebagai agen komunis yang bersekutu dengan Pasukan Gerilya Rakyat Serawak/Partai rakyat 203 kalimantan Utara (PGRS/PARAKU). Ketika aksi penumpasan tak berhasil, pimpinan operasi Angkatan Darat, melalui sebuah operasi penggalangan (covert operation), mengadu-domba orang Cina dengan masyarakat Dayak.1 Tak lama setelah memegang Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar), Soeharto dengan dukungan sejumlah petinggi Angkatan Darat memprakarsai lahirnya konsensus nasional yang di kemudian hari menjadi dasar legitimasi sistem demokrasi Pancasila. Lantas untuk mengamankan pemerintahan Orde Baru, Soeharto membentuk lembaga Kopkamtib yang langsung bertanggungjawab padanya. Lembaga ini di kemudian hari berfungsi memetakan seluruh elemen potensial yang akan melakukan pembangkangan 1 Termasuk para sukarelawan Dwikora di Kalimantan Barat yang sepenuhnya adalah pendukung Soekarno. Banyak di antara sukarewan ini adalah orang Singapura dan Cina Malaysia yang bersimpati pada Soekarno. Di antara mereka adalah para mahasiswa dan mahasiswa dari Universitas Nanyang Singapura yang dilatih antara lain oleh Piere Tendean (yang kemudian jadi ajudan Jendral AH Nasution dan meninggal dalam Peristiwa G30S). Lihat Pramoedya Ananta Toer dan Stanley Adi Prasetyo (ed), Oei Tjoe Tat: Memoar Mantan Pembantu Presiden Sukarno, Hasta Mitra, Jakarta 1995, hlm. 141- 162. Sumber lain yang perlu dibaca secara kritis adalah Dinas Sejarah Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat, Sejarah TNI-AD 1945-1973 Jilid 4, Dinas Sejarah TNI-AD, Jakarta, 1982, hlm. 286-297. Dalam buku versi TNI-AD ini di satu pihak mengakui bahwa Pasukan PGRS/Paraku adalah pasukan yang tadinya dihimpun Indonesia untuk melawan negara boneka bentukan Inggris, di lain pihak pasukan ini dituduh sebagai kepanjangan kekuatan komunis. Operasi intelijen dilakukan dengan cara menceraikan hubungan persahabatan antara orang Tionghoa dengan Dayak di Kalimantan, dengan cara membunuh salah seorang tumenggung Dayak dan mengatakan kepada warga Dayak bahwa pelakunya adalah orang Tionghoa. Tokoh-tokoh Dayak yang terpovokasi segera mengadakan upacara mangkok merah guna menggalang solidaritas suku dan memanggil arwah leluhur. Kemudian intelijen melakukan aksi penggalangan tokohtokoh Dayak dan pada Oktober 1967, tentara membidani pembentukan Lasykar Pangsuma yang terdiri dari pemuda Dayak yang kemudian dimobilisasi bersama tentara untuk menumpas seluruh perlawanan pasukan-pasukan mantan sukarelawan yang sebetulnya adalah pendukung politik Sukarno itu. Baca juga secara kritis buku Drs. Soemadi, Peranan Kalimantan Barat Dalam Menghadapi Subversi Komunis Asia Tenggara, Yayasan Tanjungpura, Pontianak, 1973. 204 terhadap pemerintah Soeharto. Pemerintah Orde Baru juga menuduh pemerintah Republik Rakyat Tiongkok (RRT) terlibat di belakang Gerakan G30S. Tuduhan itu kemudian juga diikuti dengan naiknya skala kerusuhan anti-Tionghoa. Aksi-aksi anti-Tionghoa semakin meningkat dengan tuntutan pengusiran orang-orang Tionghoa WNA dari daerah-daerah tertentu. Di Lhokseumawe, Aceh, orang-orang Tionghoa diusir ke luar dari rumah mereka masing-masing dan dijemur di bawah sinar matahari selama lebih dari lima jam. Yang laki-laki dipaksa untuk membuka bajunya, kemudian tubuhnya disiram berbagai macam cat atau ditulisi slogan-slogan anti- Tionghoa setelah dipukuli terlebih dahulu. Pada 8 Mei 1966, Pangdam Aceh, Brigjen Ishak Djuarsa mengumumkan agar seluruh orang Tionghoa WNA meninggalkan Aceh sebelum 17 Agustus 1966. Lebih dari 15.000 pengungsi Tionghoa WNA menuju kota Medan dan sekitarnya. Mereka tinggal di gudang-gudang tembakau, klenteng-klenteng dan bekas-bekas sekolah Tionghoa. Di kota Medan, tembok-tembok penuh coratcoret anti Tionghoa antara lain ”Orang-Orang Tionghoa pulang” dan ”Sekali Tionghoa Tetap Tionghoa”. Pada Agustus KAPPI dan KAMI Sumatera Utara menuntut agar sebelum akhir tahun semua warganegara RRT diusir dari Sumatera Utara. KAPPI Sumatera Utara kemudian mengeluarkan pernyataan yang mendesak pemerintah agar mengusir seluruh orang Tionghoa/komunis dari Indonesia atau KAPPI sendiri yang akan bertindak. Dalam suatu rapat umum mahasiswa pada 15 Oktober 1966, Pangdam Sumatera Utara Brigjen Sobiran Mochtar menyatakan bahwa demonstrasi-demonstrasi anti-Tionghoa tidak cukup untuk mematahkan dominasi orang Tionghoa dalam perekonomian setempat. Para mahasiswa harus memelopori menolak membeli atau menjual barang kepada orang Tionghoa dan secara aktif mengawasi toko-toko Tionghoa agar orang enggan berbelanja ke sana. 205 Atas ”perintah” Jenderal Nasution, pada 7-10 Mei 1966, KENSI menyelenggarakan Konperensi Ekonomi Nasional. Di dalam konperensi tersebut, arsitek PP-10, mantan Menteri Perdagangan Rachmat Muljomiseno mengatakan, ”Adalah hak Saudara sebagai tuan rumah untuk mempersilahkan tamu duduk di ruang tamu. Tamu yang baik akan menyesuaikan diri dengan keadaan dan kebiasaan tuan rumah. Memang tamu itu bisa menjadi sahabat, bahkan mungkin sahabat karib. Sekalipun demikian yang perlu dijaga adalah kehormatan tuan rumah sendiri. Jangan sampai sahabat masuk ke ruang istirahat Saudara, apalagi turut menanak nasi di dapur Saudara.” Konperensi menuntut agar PP-10 diberlakukan kembali dengan peningkatan bahwa larangan berdagang orang asing bukan hanya di pedesaan tetapi sampai di tingkat kabupaten. Pada 1 Juni 1966, dalam rangka memperingati hari lahirnya Pancasila, atas tekanan para pemimpin LPKB, 6.662 orang Tionghoa WNI di Sukabumi (hampir seluruh Tionghoa WNI di kota tersebut) secara serentak mengganti namanya dengan nama Indonesia. Namun tindakan ganti nama ini secara de jure tidak sah, karena berdasarkan Undang-Undang Ganti Nama No. 4 Tahun 1961 prosedur ganti nama antara lain harus dilakukan di pengadilan negeri dan diumumkan di Berita Negara. Jadi ganti nama massal di Sukabumi tersebut hanya bersifat simbolik belaka dan tidak mempunyai kekuatan hukum sama sekali, misalnya dalam menandatangani surat-surat penting atau dalam memperoleh KTP dan sebagainya. Sebelumnya KAPPI cabang Jawa Barat mengeluarkan pernyataan yang menyerang LPKB karena menganjurkan orang Tionghoa untuk mengganti nama mereka dengan nama Indonesia dan menuduh bahwa ganti nama tersebut hanya merupakan kedok untuk melakukan gerilya politik, ekonomi dan sosial yang menyulitkan kesatuan-kesatuan aksi untuk mengawasinya. KAPPI menyerukan agar semua orang Tionghoa WNA diusir dari Indonesia karena telah berperan aktif membantu Gestapu/PKI. Membiarkan 206 Tionghoa di Indonesia berarti membiarkan benalu yang menghisap habis kekayaan bangsa Indonesia. Pada 25-31 Agustus 1966, berlangsung seminar Angkatan Darat ke-II di SeskoAD, Bandung di bawah pimpinan Mayjen Suwarto. Tujuan seminar untuk merumuskan kembali doktrin Angkatan Darat dan menetapkan peran politik dan program Angkatan Darat, mengingat telah terjadi berbagai perubahan politik yang signifikan sejak Seminar Angkatan Darat ke-1 pada April 1965. Seminar Angkatan Darat II memutuskan untuk mengganti penggunaan sebutan Republik Rakyat Tiongkok dan orang Tionghoa menjadi Republik Rakyat Cina dan orang Cina. Alasan penggantian istilah tersebut adalah : ”.........untuk menghilangkan perasaan inferior pada orang kita dan di lain pihak menghapus perasaan superior pada golongan yang bersangkutan dalam negara kita, maka adalah tepat untuk melapor bahwa seminar memutuskan untuk menggunakan lagi sebagai sebutan untuk Republik Rakyat Tiongkok dan warganya ”Republik Rakyat Cina” dan ”warganegara Cina”. Hal ini dapat dibenarkan dari segi historis dan sosiologi.” Keputusan Seminar Angkatan Darat ke-2 ini kemudian ditindaklanjuti pemerintah Orde Baru dengan mengeluarkan Surat Edaran Presidium Kabinet RI. No SE-6/PresKab/6/1967 tanggal 20 Juni 1967 yang berisi instruksi untuk mengganti sebutan Republik Rakyat Tiongkok dan orang Tionghoa menjadi Republik Rakyat Cina dan orang Cina. Hal ini merupakan sebuah strategi untuk menciptakan inferioritas di kalangan Tionghoa yang notabene sejak kerusuhan Mei 1963 berdiri di belakang garis politik Sukarno.2 2 Peristiwa rasialis 10 Mei 1963 ini diawali dengan terjadinya perkelahian di kampus ITB antara seorang mahasiswa Tionghoa dengan seorang mahasiswa pribumi. Kemudian dipelopori sejumlah mahasiswa ITB dan Universitas Padjadjaran, dimulailah aksi mas207 Sementara itu posisi Angkatan Darat yang makin kuat menimbulkan kencenderungan penguasa-penguasa militer di daerahdaerah untuk menentukan kebijaksanaannya sendiri-sendiri. Pangdam Brawijaya Mayjen Soemitro selaku Pepelrada Jawa Timur dan Madura mengeluarkan serangkaian peraturan yang sangat anti Tionghoa dan bertentangan dengan kebijaksanaan Pemerintah Pusat. Baru sebulan menjabat Pangdam, pada Juli 1966 ia telah mengeluarkan larangan peredaran seluruh koran berbahasa Tionghoa di Jawa Timur termasuk Harian Indonesia, koran berbahasa Tionghoa yang dikelola Angkatan Darat. Kemudian pada 31 Desember 1966 ia mengeluarkan empat keputusan yang ditujukan kepada orangorang Tionghoa WNA dan stateless. Keputusan yang pertama melarang orang-orang Tionghoa WNA/stateless melakukan perdagangan besar di kota-kota lain di Jawa Timur kecuali Surabaya. Kedua, melarang orang-orang Tiongsa perusakan toko-toko, rumah tinggal dan kendaraan milik etnis Tionghoa di kota Bandung. Lihat: Rum Aly, Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966, Kata Hasta Pustaka, Jakarta, 2006. Aksi ini sebetulnya berawal sidang pengadilan di Cirebon pada Maret 1963 yang mengadili seorang pemuda pribumi, putra Dr. Murad (seorang aktivis PSI) yang menjadi tertuduh dalam kecelakaan lalu lintas di jalan raya Gronggong, pinggir kota Cirebon yang menyebabkan seorang pemuda Tionghoa meninggal dunia. Rupanya putusan hakim tidak memuaskan tertuduh dan teman-temannya, lalu terjadi perkelahian di halaman pengadilan antara pemuda-pemuda itu dengan pemuda-pemuda Tionghoa yang menghadiri sidang tersebut. Pada saat pulang dari pengadilan pemuda-pemuda pribumi yang tidak puas tersebut mulai melakukan perusakan toko-toko milik etnis Tionghoa dengan cara melemparinya dengan batu. Sebuah mobil di jalan Pasuketan dibakar massa, menyebabkan terjadinya kepanikan di kalangan etnis Tionghoa di kota Cirebon. Kerusuhan yang konon didalangi oleh seorang Yesuit ini, dengan cepat menghasilkan kristalisasi di kalangan orang Tionghoa. Apalagi satu-satunya partai yang melancarakan kecaman keras terhadap aksi rasialis itu notabene hanya PKI. Peristiwa 10 Mei 1963. Peristiwa tersebut mau tidak mau telah membuat warga Tionghoa menjadi simpatisan sekaligus terjun ke berbagai organisasi yang mendukung garis politik PKI. Lihat: Prof. Dr. Selo Sumardjan et.al., Gerakan 10 Mei 1963 di Sukabumi, PT Eresco, Bandung. Atau J.A.C. Mackie, ”Anti-Chinese Outbreaks in Indonesia, 1959-68” dalam J.A.C. Mackie, The Chinese in Indonesia, The University Press of Hawaii, Honolulu, 1976, hlm. 97-112. 208 hoa WNA/stateless pindah domisili keluar dari Jawa Timur. Ketiga, mengenakan pajak sebesar Rp 2.500 per jiwa kepada seluruh Tionghoa WNA/stateless yang tinggal di Jawa Timur. Keempat, melarang penggunaan huruf dan bahasa Tionghoa di muka umum demikian juga pembukuan. perdagangan, korespondensi, percakapan telepon dan berjualan. Keputusan lainnya adalah perintah untuk menutup semua kelenteng di Jawa Timur dan Madura dengan alasan untuk mempercepat proses integrasi sosio-kultural dan memutuskan kaitan kultural Cina di Indonesia dengan nenek moyangnya.3 Petunjuk pelaksanaan yang dikeluarkan pada tanggal 3 dan 21 Januari 1967 menetapkan bahwa toko-toko Cina WNA di luar kota Surabaya harus ditutup dan uang hasil penjualan barangbarang persediaannya harus didepositokan di bank dan dilaporkan kepada Panitia Daerah yang terdiri dari Muspida setempat. Pemilik hanya boleh menarik sebagian saja dari miliknya tersebut, untuk digunakan kebutuhan hidup sehari-hari atau membayar pajak dan utang dagangnya dengan ijin Panitia Daerah. Dalam prakteknya bukan hanya pedagang besar yang dilarang melakukan kegiatan tetapi juga para pedagang kecil/eceran.4 Pada 7 Juni 1967, presidium kabinet mengumumkan akan segera dibentuk Staf Chusus Urusan Tjina (SCUT) yang berada di bawah presidium untuk membantu Adam Malik yang bertanggungjawab dalam penanganan kebijakan masalah Tionghoa. SCUT dibentuk beberapa bulan kemudian (diumumkan melalui Keputusan Presiden tanggal 3 Agustus 1967), tetapi pada 5 Juni G-5 KOTI terlebih dahulu membentuk Badan Kontak Urusan Tjina (BKUT), yaitu suatu badan yang akan menangani orang-orang Tionghoa WNA dengan ketuanya Kolonel Sukisman, seorang militer lulusan Jurusan 3 Ramadhan K.H., Soemitro Dari Pangdam Brawijaya Sampai Pangkopkamtib, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1994, hlm. 119-120. 4 Charles A. Coppel, Tionghoa Indonesia Dalam Krisis, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1994. 209 Sinologi Fakultas Sastra UI, yang sangat tertarik dan ahli dalam masalah Tionghoa. Menurut pandangan Sukisman, badan ini akan menjadi sebuah wadah yang akan mengkoordinir orang-orang Tionghoa WNA seperti Chiao Chung, namun di bawah kendali pemerintah. Orang-orang Tionghoa yang bergabung dengan BKUT pada umumnya adalah tokoh-tokoh Kuomintang atau mereka yang berpandangan antikomunis. Sesuai perkembangan situasi di dalam negeri, pada Juni 1969, SCUT dibubarkan dan fungsinya diambil alih BAKIN yang kemudian melalui Keputusan KABAKIN No. Kpts-031 Tahun 1973 membentuk Badan Koordinasi Masalah Cina (BKMC) yang tugas utamanya mengawasi seluruh gerak-gerik dan kegiatan etnis Tionghoa di Indonesia, sedangkan BKUT dialihkan ke Departemen Dalam Negeri. Melalui Keputusan Kabakin No-Kpts-032 Tahun 1973 ditentukan struktur organisasi, prosedur dan tata cara kerja BKMC. Pada 6 Desember 1967, Presiden Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden No. 14/1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina. Dalam instruksi tersebut ditetapkan bahwa seluruh upacara agama, kepercayaan dan adat istiadat Tionghoa hanya boleh dirayakan di lingkungan keluarga dan dalam ruangan tertutup. Instruksi Presiden ini bertujuan melikuidasi pengaruh seluruh kebudayaan Tionghoa termasuk kepercayaan, tradisi, adat istiadat dan agamanya dan mendorong terjadinya asimilasi secara total sesuai dengan yang dicita-citakan LPKB. Dengan dikeluarkannya Inpres No. 14/1967 seluruh perayaan tradisi dan keagamaan etnis Tionghoa termasuk tahun Baru Imlek, Capgomeh, Pehcun dan sebagainya dilarang dirayakan secara terbuka. Demikian juga tarian-tarian barongsai (tarian singa) dan lang-liong (tarian naga) dilarang dipertunjukkan. Pada awal tahun 1990-an beberapa pimpinan daerah, antara lain di Jawa Timur, mengeluarkan larangan yang lebih aneh, seperti larangan berjualan kue keranjang (kue Cina). 210 Kontrol politik dan pemasungan budaya terhadap etnis Tionghoa kemudian dilanjutkan dengan Instruksi Menteri Dalam Negeri No.4555.2-360 Tahun 1968 tentang Penataan Klenteng dan Surat Edaran Menteri Penerangan No. 02/SE/Ditjen/PPG/ K/1988 tentang Larangan Penerbitan dan Pencetakan Tulisan/ Iklan beraksara dan berbahasa Cina, ditambah dengan Peraturan Daerah Daerah Tingkat I DKI Jakarta No.K-I/OS-11/OS-12 tentang keharusan warga negara Indonesia keturunan Tionghoa di daerah DKI Jakarta melapor dan mengisi formulir K-I. Demikian juga setiap warga negara Indonesia keturunan Tionghoa dan anak-anaknya melalui Surat Keputusan Bersama Menteri Kehakiman dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia SKB 01-UM.09.30-80 No 42 wajib memiliki Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia atau SBKRI. Tabel 1. Sejumlah Peraturan Diskriminatif yang Dipercaya Lahir dari Laporan dan Kecurigaan Intelijen terhadap Warga Keturunan Tionghoa No. 1 2 3 4 Peraturan Keputusan Kepala BAKIN no. Kpts-031/1973 Keputusan Kepala BAKIN No. Kpts-032/1973 Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 6/76A/KEP/DIR/ UPR/1974 Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudajaan No.072/ U/1974 Tentang Pembentukan BKMC Struktur organisasi, prosedur dan tata cara kerja BKMC Pengarahan Kredit Investasi pada Perusahaan Pribumi Pencabutan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudajaan No. 015/1968 Tanggal 8 Juni 1973 8 Juni 1973 11 Februari 1974 18 Maret 1974 Kurun 1969-1973 Kurun 1973-1975 211 6 April 1974 23 November 1974 18 Maret 1975 7 April 1975 7 Agustus 1975 10 Desember 1977 17 April 1978 17 April 1978 Pedoman Praktis pengertian Pribumi Pedoman Pelaksanaan Asimilasi (Pembauran) di bidang pendidikan di Sumatera dan Kalimantan Barat Pembentukan Team Pembantu pelaksanaan Asimilasi di bidang pendidikan dan pengaturan pendidikan asing di Indonesia Penunjukkan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I sebagai penanggung jawab pengendalian pelaksanaan Asimilasi di bidang pendidikan di daerah Pedoman Pelaksanaan Asimilasi (Pembauran) dibidang pendidikan Petunjuk pelaksanaan Pendaftaran Penduduk Petunjuk Pelaksanaan kurikulum 1975 dalam rangka Pelaksanaan Asimilasi di bidang Pendidikan dan Petunjuk Pelaksanaan kegiatan ekstra kurikuler sebagai Penunjang Pelaksanaan Asimilasi di bidang Pendidikan Petunjuk Pelaksanaan penggalangan untuk memperlancar pelaksanaan asimilasi di bidang pendidikan Surat Edaran Direksi Bank Indonesia kepada Bank Umum Pemerintah dan Bank Pembangunan Indonesia no. SE-7/1/UPK Instruksi Menteri Pendidikan dan Kebudajaan no.018/ U/1974 Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan no.044/ P/1975 Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No.054/1975, no.060a/ P/1975 Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan no.0170/ U/1975 Instruksi Menteri Dalam Negeri no. X01/1977 Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah No. 035a/c/I/Kep/1978 Keputusan Ketua Team Pembantu Pelaksanaan Asimilasi di bidang Pendidikan dan Pengaturan Pendidikan asing di Indonesia 5 6 7 8 9 10 11 12 Kurun 1977-1981 212 13 14 15 16 17 18 19 20 No. KEP-01/TP-PAPPA/ IV/1978 Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi No. 286/KP/XII/1978 Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung no.67/1980, No. 224/1980, Kep111/J.A./10/ 1980 Instruksi Presiden No. 2/ 1980 Kurun 1981-1998 Surat Edaran Direktur Jenderal Pembinaan Pers dan Grafika No. 02/SE/Ditjen/ PPG/K/1988 Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 380 tahun 1989 Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 590 tahun 1990 Keputusan Menteri Kehakiman No. M.02-HL.04.10/ 1992 Keputusan Presiden No. 56 Tahun 1996 Larangan mengimpor, memperdagangkan dan mengedarkan segala jenis barang cetakan dalam huruf/aksara dan bahasa Cina Petunjuk Pelaksanaan Instruksi Presiden no. 14/1967 Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia Larangan penerbitan dan pencetakan tulisan/ iklan beraksara dan berbahasa Cina Pembentukan Tim pendamping DKI Jakarta untuk penelitian dan penyelesaian masalah gedung-gedung dan tanah- tanah sekolah ex asing/ Cina di wilayah DKI Jakarta Pola Koordinasi pengendalian kependudukan dan orang asing di wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Pembuktian status kewarganegaraan RI anak-anak dari war-ga negara RI keturunan asing pemegang Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia 28 Desember 1978 15 Januari 1980 31 Januari 1980 1988 8 Maret 1989 18 April 1990 10 Juli 1992 9 Juli 1996 213 Memunculkan Paradigma Baru Secara perlahan Soeharto melakukan de-Soekarnoisasi di semua lini. Soeharto tampaknya dengan cepat sekali melakukan koreksi terhadap semua kebijakan Soekarno. Ia segera menggalang terbentuknya ”persatuan” negara donor lewat IGGI, mengakhiri konfrontasi Dwikora, merangkul para tokoh PRRI pelarian yang ada di luar negeri, memberlakukan sistem keamanan lingkungan (RT-RW) dan sebagainya. Orde Baru secara masif menciptakan sebuah ”brand image” sebagai sebuah kekuatan baru yang ingin mengoreksi total rejim Orde Lama yang ditumbangkannya yang digambarkan sebagai penuh dengan ”kekacauan”, ”pertentangan”, ”inkonsistensi”, ”pengkhianatan”, ”kotor”,”penuh ketidakstabilan”, ”anti-ketertiban” dan ”persundalan”. Orde Baru menggambarkan dirinya sebagai sebuah rejim ”tertib” yang ingin melakukan ”koreksi total”, ”pelurusan”, ”normalisasi”, ”pemerataan”, ”bersih”, ”stabil” dan sebagainya.5 Ideologi pembangunan Orde Baru juga jadi antitesis bagi ”nation and state character building” ala Bung Karno, yaitu memelihara dan mendorong kemajemukan. Orde Baru melakukan penyeragaman 5 Perihal ini bisa dibaca pada tulisan Michael van Langenberg, ”The New Order State: Language, Ideology, Hegemony” dalam Arief Budiman (ed), State and Civil Society in Indonesia, Center of Southeast Asian studies, Monash University, 1990. Tulisan ini telah diterjemahkan ke Indonesia dan dimuat dalam Yudi Latif dan Idi Subandy Ibrahim (ed), Bahasa dan Kekuasaan: Politik Wacana di Panggung Orde Baru, Pustaka Mizan, Bandung, Mei 1996. Kita bisa menemukan banyak kata dan program yang menyiratkan ”pesan moral” Orde Baru ini antara lain ”normalisasi kampus” (yang justru membuat kehidupan kampus jadi tak normal!), ”bersih lingkungan”, ”bersih diri” dan ”disiplin nasional”. Menurut Michael, Orde Baru membangun kekuasaannya yang ”bersih, stabil dan tertib” di atas sebuah tragedi pembunuhan massal 1965/1967. Menurutnya, ”Jelas, itu berarti Orde Baru telah mengangkangi kenangan atas sejarah penuh rangkaian pembunuhan itu sendiri tak dipertimbangan dalam sejarah resmi versi Orba. …bahwa kekerasan adalah akibat logis dari kekacauan OrdeLama, dan bukan awal dari yang baru. Orde Baru sendiri diawali dengan penataan keteriban.” 214 yang tampaknya dijadikan konsekuensi atas kepatuhan rakyat pada ketertiban. Orde Baru secara perlahan juga menggunakan dasar negara, Pancasila, untuk menggunting, mengidentifikasi dan memaknai kembali semua ”benda-benda” yang ada dalam negara-bangsa Indonesia. Semua hal yang berkonotasi baru, dimaknai dengan embel-embel Pancasila yang kemudian dianggap sebagai unsur uniqum Orde Baru, misalnya ”sepakbola Pancasila”, ”ekonomi Pancasila”, ”demokrasi Pancasila”, ”pers Pancasila” dan sebagainya.6 Sebuah hal yang bagi banyak kalangan justru berarti sebaliknya, yakni cerminan sebuah kegagalan.7 Jargon Orde Lama yang penuh dengan kalimat ”revolusioner”, ”progresif”, ”rakyat”, ”buruh” dan sebagainya diganti dengan kata ”pembangunan”, ”Pancasila”, ”masyarakat”, ”pekerja” dan lainlain. 8 Berbagai media massa dibredel. Orde Baru juga memperkuat 6 Istilah sepakbola Pancasila muncul di jaman PSSI kepemimpinan Bardosono di era 70- an yang merupakan jawaban atas kisruhnya partai final perserikatan yang berlangsung Stadion Utama Senayan. Saat itu terjadi tackling yang keras hingga mengakibatkan perkelahian massal antara kedua pemain yang kemudian melibatkan pemain cadangan, ofisial, dan penonton dari kedua kubu. Ketua PSSI Bardosono kemudian menghentikan pertandingan dan memanggil wasit dan pengawas pertandingan. Keputusannya adalah pertandingan tak diteruskan dan kedua tim diputuskan keluar sebagai juara kembar. 7 Pada jaman Orde Baru, ada banyak pihak yang kemudian menggunakan istilah Pancasila sebagai cara untuk mengidentifikasi sebagai pihak yang memiliki nasionalisme tinggi. Begitu kerapnya kata-kata ini digunakan sehingga kadang justru berlebihan dan membingungkan serta malah mencerminkan arti yang justru bertentangan. 8 Dalam hal ini Undang-Undang No. 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers menarik untuk dikaji mengingat dalam UU ini Orde baru tak sadar dan masih menggunakan jargon-jargon sebagaimana yang lazim di jaman progresif revolusioner di jaman Sukarno. Baru pada 1982 UU ini digantikan dengan Undang-Undang Republik Indonesia No 21 Tahun 1982 tentang Perubahan atas Undang-Undang No 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang- Undang No 4 Tahun 1967. Pada hakekatnya UU No. 21 hanya mengubah sejumlah istilah yang digunakan pada UU No 11 Th 1966 saja, antara lain kata ”alat revolusi” diganti dengan ”alat perjuangan nasional”, ”alat penggerak massa” menjadi ”alat penggerak pembangunan bangsa”, ”pengawal revolusi” menjadi ”pengawal ideologi Pancasila”, ”pers Sosialis Pancasila” menjadi ”Pers Pancasila”, ”tiga kerangka revolusi” menjadi 215 barisan kelompok milisi dan preman yang sewaktu-waktu bisa dikerahkan untuk menjadi pagar pengaman sekaligus barisan pendukung pemerintah yang secara fisik siap menghadapi setiap kelompok yang dianggap memiliki ”pandangan berbeda dengan pemerintah”.9 Beberapa profesi diawasi secara ketat. Mereka yang dituduh pernah terlibat atau tersangkut Peristiwa G30S langsung dipecat dan keturunannya tak boleh memasuki profesiprofesi tertentu antara lain TNI, pegawai negeri, dosen, guru dan wartawan. Pada 1967 pemerintah Soeharto mencanangkan program Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) yang didukung antara lain oleh pemerintah Amerika dan Jepang dengan konseptor utama adalah para sarjana lulusan Amerika yang disebut sebagai Mafia Berkeley. Untuk mengamankan Trilogi Pembangunan dan kebijakan trickle down effect,10 secara perlahan Soeharto mengembangkan pemerintahan represif berwatak otoritarian. Kelompok mahasiswa dan media massa yang mencoba melakukan kritik atas berbagai kebijakan ekonomi pemerintah dihadapi Soeharto dengan ancaman kekerasan berupa pembengarusan. ”tujuan nasional”, ”progresif” menjadi ”konstruktif-progresif”, ”kontra revolusi” menjadi ”penentang Pancasila”, ”berkhianat terhadap revolusi” menjadi ”berkhianat terhadap Perjuangan Nasional”, ”gotong royong kekeluargaan terpimpin” menjadi ”secara bersama berdasar atas asas kekeluargaan”, ”revolusi” menjadi ”Perjuangan Nasional”, dan ”revolusi Pancasila” menjadi ”ideologi Pancasila”. Lihat Pasal 1 UU Republik Indonesia No 21 Tahun 1982. 9 Lihat Togi Simanjuntak, Preman Politik, ISAI, Jakarta, 2000. 10 Trilogi Pembangunan pada intinya bertumpu pada tiga esensi pokok yaitu stabilitas, pertumbuhan dan pemerataan. Konsep ini semula bertujuan untuk mengangkat bangsa dan negara Indonesia agar kian maju dan kuat di segala bidang. Sedangkan model trickle down effect yang digagas kelompok ekonom UI lulusan Barkeley ini mempunyai inti pada penguatan kelompok pengusaha dan menengah sebagai prioritas pembangunan ekonomi. Penguatan pada kelompok ini dipercaya akan mampu mengangkat kehidupan rakyat kecil di kemudian hari, antara lain dengan terciptanya lapangan kerja dan masuknya investasi Barat ke Indonesia. 216 Pemerintah kemudian mengeluarkan ketentuan pemberlakuan Surat Ijin terbit (SIT) yang kemudian diubah menjadi Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP).11 Pers dilarang memberitakan apa pun yang berhubungan dengan suku, agama, ras dan antar-golongan (SARA).12 Dalam ketentuan ini termasuk pula pemberitaan tentang keluarga Cendana, ABRI, dan skandal pejabat.13 Lantas pada 1978, Soeharto juga meminta Menteri Penerangan Ali Murtopo untuk mengendalikan pers sepenuhnya dengan menandatangani sebuah nota kesediaan untuk dibina oleh pemerintah. Untuk menetralisir kekuatan mahasiswa dan unsur kampus lainnya, pemerintah pada 1978 juga memberlakukan ketentuan Normalisasi Kehidupan Kampus dan badan Koordinasi kemahasiswaan (NKK-BKK).14 11 Penjelasan rinci mengenai hal ini bisa dibaca pada David T. Hill, The Press in New Order Indonesia, University of Western Australia, Press, Australia, 1994, hlm. 34-80. 12 Ketentuan tentang SARA ini begitu keterlaluan hingga sensus mengenai etnisitas di Indonesia juga dilarang. Satu-satunya data mengenai sensus etnisitas di Indonesia adalah data hasil sensus tahun 1930. Badan Pusat Statistik (BPS) empat kali mengadakan sensus penduduk yaitu pada 1961, 1971, 1980, dan 1990 namun semuanya tak menyertakan pencarian data mengenai etnisitas dengan alasan utama agar konflik SARA tak membesar. Baru setelah Soeharto jatuh, pada sensus penduduk tahun 2000 dimasukkan sensus mengenai etnisitas. Namun hasil sensus etnisitas ini mengundang banyak pertanyaan, karena sebagian besar masyarakat tak mengetahui proses pengumpulan data di lapangan. Lihat bagian pendahuluan pada Leo Suryadinata, Evi Nurvidya Arifin, Aris Ananta, Penduduk Indonesia: Etnis dan Agama dalam Era Perubahan Politik, LP3ES, Jakarta, 2003, hlm. xxvi-xxxiii. 13 Pejabat Deppen yang menonjol dan paling berjasa dalam melakukan politik pembinaan yang bisa disebutkan antara lain adalah Sukarno SH, Dr. Janner Sinaga dan Drs. Subrata. Ketiganya aktif melaksanakan politik pembinaan kepada pers saat menjadi Direktur Jendral Pembinaan Pers dan Grafika. 14 Penggunaan kata ”normalisasi” ini mengesankan bahwa sebelumnya kehidupan kampus adalah tidak normal, maka itu diperlukan tindakan untuk menormalkan kehidupan kampus. Gagasan yang diusung oleh Daoed Joesoef ini kemudian kian dimantapkan oleh Nugroho Notosusanto melalui konsep yang disebut sebagai Wawasan Almamater. Perberlakuan konsep yang lebih merupakan upaya depolitisasi mahasiswa dan kehidupan kampus ini mendapat tentangan hebat di kalangan mahasiswa waktu itu. 217 Kritik, upaya perlawanan, demonstrasi selalu dihadapi pemerintahan Soeharto dengan cara-cara represif. Demikian pula berbagai organisasi profesi dan massa diasastunggalkan. Bahkan pada 1978 Soeharto mencetuskan kebulatan tekad untuk setia pada Pancasila dan berjanji tak akan mengubahnya. Sebuah kebulatan tekad yang dikenal sebagai Eka Prasetya Panca Karsa. Untuk menghadapi berbagai kritis atas diri dan pemerintahannya, Soeharto mengenalkan program Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P- 4). Kelompok agama dikontrol sepenuhnya oleh pemerintah yang menyatakan di Indonesia hanya ada lima agama resmi. Lembaga yudikatif dan eksekutif sepenuhnya tunduk pada kemauan politik Soeharto. Setiap kali memasuki kampanye muncul doa politik, kebulatan tekad dan berbagai aksi massal yang ramairamai menyatakan dukungan kepada Soeharto untuk menjadi calon tunggal presiden Republik Indonesia. Aparat intelijen memberikan sumbangan yang besar bagi pemerintah Orde Baru dalam memproduksi berbagai istilah atau kata baku yang menjurus pada pertentangan, permusuhan kekacauan dan semangat sektarian. Mulai dari ”anti-pembangunan”, ”anti- Pancasila”, ”mbalela”, ”esktem kanan”, ”ekstrem kiri”,15 ”GPK”, ”SARA”, ”kelompok bermasalah”, ”OTB”, ”subversif”, ”bersih diri”, ”kiri baru”, ”terlibat”, ”pri-nonpri”, ”mempermalukan bangsa”, ”gangguan keamanan”, ”subversi”, ”sikap inkonstitusional”, ”berada di luar sistem”, ”mendalangi”, ”penunggangan”, ”adu domba” 15 Herbert Faith saat melakukan studi di Jawa Tengah pada 1988 menemukan istilah baru yang digunakan aparat intelijen di kawasan tersebut untuk mengidentifikasi kelompok ekstrem yang dianggap baru, yaitu ”Ekstrem Tengah”. Muncul sebuah diskusi hangat mengenai paradigma ekstrem yang tergolong aneh ini di kalangan aktivis di Jawa Tengah hingga kemudian Y.B. Mangunwijawa mencoba menjernihkan perdebatan dengan menulis sebuah artikel di harian Kompas. Lihat Y.B. Mangunwijaya, ”Estrem Tengah” dalam Kompas, 23/6/88. 218 , ”kelompok master mind”, ”kecemburuan sosial”, ”anti-Republik”, ”kelompok anti-statusquo” dan sebagainya.16 Membangun Orde Pengawasan Sepanjang periode kehidupan Orde Baru sejumlah organisasi sipil dan militer khusus dibentuk dan dikembangkan untuk tujuantujuan pengawasan dan pengendalian penduduk Indonesia. Salah satu institusi pusat yang langsung berada di bawah komando Presiden adalah Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib).17 Di bawah lembaga ini terdapat serangkaian organisasi militer atau non-militer yang melaksanakan tugas dan program lembaga ini. Lembaga intelijen seperti B yang telah ada sebelumnya kalah pamor dengan Kopkamtib yang notabene kendalinya berada di tangan Soeharto sendiri.18 16 Saya ambil bagian ini dari Stanley Prasetyo Adi, ”Semangat kemajemukan Versus Ideologi Pembangunan” dalam Sandra Kartika dan M. Mahendra, Dari Keseragaman Menuju Keberagaman: Wacana Multikultural dalam Media, LSPP, Jakarta, 1999, hlm. 171-181. 17 Tak seberapa lama kemudian, Soeharto juga membentuk dinas khusus yang disebut sebagai Operasi Khusus (Opsus) di bawah pimpinan Ali Murtopo. Dinas khusus ini bekerja dengan kewenangan luar biasa termasuk melakukan aksi-aksi intelijen ”hitam”. Banyak orang tak lagi bisa membedakan mana yang merupakan sebuah operasi di bawah komando Kopkamtib dan mana yang berada di bawah Opsus. Terjadi pertentangan di antara dua lembaga yang memiliki kewenangan melaksanakan aksi intelijen ini yang kemudian berpuncak dengan meletusnya Peristiwa Malari pada 15 Januari 1974. 18 Dalam tulisan ini saya sengaja tak mendikotomikan kubu Kopkamtib, Bakin atau pun Opsus. Bagi saya ketiganya adalah sama-sama merupakan institusi intelijen yang di lapangan saling mendukung dan bekerja sama. Yang membedakan adalah sebagian besar staf Bakin adalah orang-orang sipil, sedangkan Kopkamtib hampir serluruhnya adalah militer. Barangkali perlu dilihat fase kepemimpinan dari waktu ke waktu antara Kopkamtib dan Bakin yang tampak saling mendukung. Periode kepemimpinan Kopkamtib hingga 1988 adalah Jendral Soeharto (5 Oktober 1965 - 19 September 1969); Jendral M. Panggabean (19 September 1969 - 27 Maret 1973) dengan wakil Letjen Sumitro; Jendral Sumitro (27 Maret 1973 – 28 Januari 1974) dengan wakil Admiral Sudomo; Jendral Suharto (menjabat kembali karena Peristiwa Malari, 28 Januari 1974 – 17 April 1978) dengan wakil Admiral Sudomo; Admiral Sudomo (17 April 1978 – 29 Maret 1983) dengan wakil tiga 219 Kopkamtib dibentuk segera setelah terjadinya Peristiwa G30S, tepatnya pada 10 Oktober 1965.19 Di dalam Kompkamtib terdapat satgas intel yangterdiri dari dapur para ahli dalam bidang komunisme dan dapur para ahli dalam bidang agama Islam. Dari dapur ini pihak intelijen mengetahui mana kekuatan yang terlalu ekstrem dan apa konsep dari kelompok ekstrem yang ada.20 Bisa dikatakan lembaga ini merupakan jantung kekuasaan Orba yang mengkoordinasi sejumlah badan intelijen, mulai dari Bakin sampai dengan intelijen dalam setiap bagian Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Bahkan, pada kasus-kasus yang dianggap dapat menganggu stabilitas politik dan ekonomi, Kopkamtib bisa menerobos wewenang departemen sipil, bahkan wewenang angkatan bersenjata sekali pun. Dengan memperkerjakan personel militer terpercaya untuk melaksanakan tugas-tugas yang bertujuan politik dalam arti luas dan luar biasa, maka Kopkamtib merupakan inti pemerintah Indonesia pada masa hukum darurat perang yang permanen. orang yaitu Jendral Darjatmo, Jendral Yoga Sugama, dan Jendral Wijoyo Suyono; Jendral Benny Murdani (29 Maret 1983 – Februari 1988). Sedangkan kepemimpinan Bakin hingga 1988 adalah Mayjen Soeharo (1967-1970) dengan wakil Brigjen Sudirgo dan Mayjen Yoga Sugama, Mayjen Sutopo Juwono (1970-1974), Letjen Yoga Sugama (1974-1988). 19 Sumber yang digunakan dalam hal ini adalah tulisan Richard Tanter, namun tak ada dokumen yang bisa menguatkan penjelasan tersebut. Penetapan tanggal 10 Oktober 1965 ini agak aneh mengingat Soeharto ditunjuk untuk memulihkan keamanan dan ketertiban oleh Presiden Soekarno baru pada saat penyerahan Surat Perintah Sebelas Maret pada 11 Maret 1966. Dokumen yang ada mencantumkan adanya sebutan Pangkostrad adalah Pangkopkamtib adalah berupa pesan radiogram dari KAS KOTI untuk Panglima Kostrad bernomor T-0265/G-5/1965 dengan nama pengirimnya adalah Kapten (inf) Soewarjo. Namun, bila merujuk pada Surat Keputusan No: KEP-042/Kopkam/7/1967 Menteri/ Panglima Angkatan darat Selaku Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban yang ditandatangani Soeharto dikutip dalam klausul ”mengingat” bahwa dasar pembentukan Kopkamtib adalah merujuk pada Surat Keputusan Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/Panglima Besar Komando Operasi Tertinggi bernomor 179/KOTI/1965 tertanggal 6 Desember 1965. Lihat: Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, Himpunan Surat-Surat Keputusan/Perintah Jang Berhubungan Dengan Kopkamtib 1965 s/d 1969, dikeluarkan oleh Sekretariat Kopkamtib (tanpa tahun), hlm. 126-127. 20 Lihat Ramadhan K.H, Op cit., hlm. 189. 220 Pada 4 Oktober 1968 Jendral M. Panggabean selaku Wakil Pangkopkamtib mengeluarkan surat perintah bernomor ORIN-08/ Kopkam/10/1968 yang memerintahkan Asisten I Pangad Mayjen TNI Sutopo Juwono yang juga merangkap sebagai pimpinan Panitia Kampanye Penerangan Kopkamtib untuk segera menyiapkan dan melancarkan aksi ”kampanye” dan ”penerangan” dalam rangka ”menciptakan kewaspadaan” dan ”aktivitas nasional” yang ditujukan kepada pemulihan keamanan dan ketertiban umum. Surat ini ditindaklanjuti dengan sebuah surat perintah lain tentang pembentukan Panitia Kampanye Penerangan (Kampen) terdiri dari 52 orang. Sebagian besar anggota panitia adalah pejabat militer dan hanya ada dua orang sipil yaitu Drs. Hidajat Mukmin dan Drs. Alwi Dahlan.21 Tak cukup hanya membentuk Kampen, pada 15 April 1969, Jendral M Panggabean mengeluarkan surat keputusan bernomor KEP-16/Kopkam/4/1969 yang membentuk proyek film Kopkamtib dengan menetapkan Asisten 1 Pangad Mayjen TNI Sutopo Juwono untuk menjadi ketua/pengawas umum proyek film. Untuk ”mengamankan ” jalannya pembangunan, Kopkamtib pada 22 Mei 1969 membentuk Sekretariat Sektor Q yang tugasnya selain mengoordinasi, mengintegrasi, menyelaraskan, juga mengawasi semua departemen, lembaga pemerintahan, lembaga nonpemerintahan serta semua sektor pembangunan. Sektor Q sesungguhnya nerupakan badan staf utama yang berada langsung di bawah Pangkopkamtib. Kegiatan yang menonjol dari Sektor Q selama Repelita I (1969-1973) adalah ”mengamankan” jalannya Pepera di Papua Barat pada 1969, ”mengamankan” Pemilu 1971 21 Alwi Dahlan terakhir sempat menjadi anggota Badan Penasihat Presiden mengenai P-4 (BP7) dan kemudian menjadi Menteri Penerangan menggantikan Harmoko yang terpilih menjadi Ketua Golkar. 221 dan memenangkannya bagi Orde Baru, serta ”mengamankan” Sidang MPR pertama hasil Pemilu 1971. Namun, akibat kritik berbagai kalangan, termasuk sejumlah organisasi internasional mengenai buruknya hak asasi manusia di Indonesia, pada 1988 Presiden Soeharto membubarkan lembaga ini dan menggantikannya dengan Badan Koordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas Nasional (Bakorstranas). Bakorstranas bertujuan untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan stabilitas nasional, juga bertindak sebagai penasihat dan dikepalai oleh Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata yang langsung melapor kepada presiden. Walau demikian, hampir seluruh staf Kopkamtib dan seluruh peran yang dimainkan oleh organisasi terdahulu juga dilakukan oleh lembaga baru ini. Melalui Kompkambtib dan Bakorstanas inilah sesungguhnya pemerintah Orde Baru bukan lagi sekadar menjalankan fungsi kontrol atas kebebasan sipil warganya melalui pemberlakuan kebijakan sensor, tapi juga menciptakan sebuah hegemoni.22 Dalam struktur intelijen, baik Kopkamtib maupun Bakin, terdapat bagian counter intelijen atau penggalangan. Pada bagian inilah intelijen ”menggarap” media massa dan media elektronik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, individu, dan kelompokkelompok dalam masyarakat lainnya. Organisasi Kopkamtib dan Bakin mengalami pasang surut sesuai perkembangan kepentingan penguasa terhadap dua lembaga ini. Kewenangan kedua lembaga yang menjalankan fungsi intelijen ini juga mengikuti pasang surut perkembangan politik. Untuk 22 Sensor adalah sebuah tindak pengawasan melalui pemeriksaan semua surat-surat, pemberitaan media, buku, barang-barang cetakan, kaset rekaman, film dan sebagainya. Dalam praktek penyensoran, negara memiliki kewenangan untuk mencegah penyiaran semua berita, surat atau tulisan yang dianggap membahayakan negara. 222 perbandingan barangkali ada baiknya melihat tabel berikut (lihat Bagan 1 dan Bagan 2).23 Bagan 1. Struktur Organisasi Kopkamtib Presiden 23 Bagan ini diambil dari Richart Tanter, Intelligence Agencies and Third World Militarization: A Case Study of Indonesia: 1966-1989 , tesis doktoral, Department of Politics Faculty of Economic and Politics Monash University, 1991, hlm. 272 dan 309. Struktur organisasi ini menurut tanter adalah struktur organisasi Kopkamtib maupun Bakin pada 1988. 223 Bagan 2. Struktur Organisasi Bakin Presiden Kedudukan Legal Kopkamtib dan Bakorstranas Status hukum Kopkamtip sebenarnya tidak jelas, namun kuat. Pengesahan istimewa pemerintah terhadap Kopkamtib selalu diambil dari Surat Perintah Sebelas Maret yang dikeluarkan Soekarno pada 1966. Surat tersebut memberikan kekuasaan kepada Soeharto untuk mengambil langkah-langkah penting guna jaminan keamanan, ketertiban dan stabilitas pemerintah. Pada Agustus 1967, para panglima regional militer ditunjuk sebagai pelaksana khusus atau daerah (laksus) Kopkamtib. Wewenang untuk ”memulihkan ketertiban dan keamanan” setelah Peristiwa G30S telah berubah dari tahun ke tahun. Berdasarkan Keppres yang mengatur prosedur dan pengorga224 nisasian Kopkamtib, sebuah buku petunjuk SESKOAD pada 1982 menyatakan tujuan Kopkamtib saat itu adalah dengan jelas Kopkamtib membentuk suatu fasilitas pemerintah dengan tujuan melindungi dan meningkatkan ketertiban, keamanan serta stabilitas, dalam konteks mencapai stabilitas nasional sebagai suatu kondisi dasar untuk keberhasilan penuh pelaksanaan Repelita secara khusus dan pembangunan jangka panjang pada umumnya. Secara teoritis, Kopkamtib antara lain bertugas untuk menggalang tindak pencegahan dan represif serta legitimasi yang jelas secara ideologis.24 Namun pada kenyataannya Kopkamtib bukan hanya menjalankan tugas sebagaimana yang telah ditetapkan dengan menggunakan aturan legitimasi utama Orba, tapi juga melakukan berbagai tindak represif secara fisik, yang juga yang secara ideologis ditetapkan, yakni : menghalangi pengaruh moral dan mental penentang negara dan membina masyarakat menuju hubungan yang lebih layak kepada negara.25 Kekuasaan Kopkamtib dalam interogasi, penangkapan dan penahanan tidak tunduk ke- 24 Proses metamorfosis kewenangan Kopkamtib yang kian berkembang ke mana-mana bisa dilihat dari Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, Op cit.. Lihat juga Julie Southwood & Patrick Flanagan, Indonesia: Law, Propaganda and Teror, Zed Press, London, 1982, hlm. 81-96 dan bagian Appendix I. Satu-satunya lembaga yang sempat menyaingi pamor dan keangkeran Komkamtib hanyalah Operasi Khusus (Opsus) di bawah Ali Murtopo yang juga merekrut para ”avonturir” dan bisa melakukan covert operation dengan sumber dana yang relatif tak terbatas. Tentang keterangan avonturir ini bisa dibaca pada Heru Cahyono, Pangkopkamtib Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari 1974, Pustaka Sinar harapan, Jakarta, 1998. 25 Bagian ini diambil dari tulisan Richard Tanter berjudul ”Tentang Kopkamtib” yang dimuat dalam sebuah mailing list di internet. Pembahasan lengkap mengenai Kopkamtib bisa dibaca pada Richard Tanter,Op.cit. 1991. Baca juga Richard Tanter, ”The Totalitarian Ambition: Intelligence Organisations in The Indonesian State” dalam Arief Budiman, State and Civil Society in Indonesia, Monash Papers on Southeast Asia No. 22, Melbourne, 1990, hlm. 213-284 dan Richard Tanter, ”Notes on Intelligence and Security Agencies in Indonesia”, (draft makalah), 1988. 225 pada kekangan saluran hukum yang berlaku di Indonesia secara reguler. Mantan Kapolri, almarhum Hugeng Imam Santoso, yang dipecat oleh Soeharto karena melakukan investigasi besar-besaran terhadap korupsi menekankan aksi teror muncul dari lemahnya batasan hukum. Kopkamtib memiliki kekuasaan untuk memerintahkan apa yang seharusnya bukan tugas mereka. Ini seperti ”kekuatan polisi luar biasa”. Rakyat di Indonesia cenderung merasa dibayangi oleh teror saat mendengar nama Kopkamtib. Opini umum mengatakan Kopkamtib dapat melakukan apa saja yang dia mau. Dan ini artinya mereka bisa menangkap rakyat secara serampangan.26 Dalam praktek, Kopkamtib memang memiliki kekuasaan luar biasa dalam penetapan kriminalitas dan subversi, seperti hal-hal berikut ini : penangkapan tanpa surat peringatan dan penahanan tak terbatas tanpa diadili; menggunakan bentuk interogasi yang penuh penyiksaan dan brutal sebagai cara yang normal; manipulasi prosedur pengadilan dan sidang pengadilan; penahanan dalam penjara yang tidak manusiawi; memantau dan melecehkan/ menganggu mantan tahanan politik (tapol). Pada pertengahan 1988 Asisten Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Askamtibmas Kopkamtib) dijabat oleh Jenderal Jaelani yang sekaligus mengepalai Tim Pemeriksa Pusat dan Tim Oditur Pusat. Tim ini dibentuk apabila diperlukan dan diperbantukan sesuai dengan tugasnya. Satgas Intel merupakan istilah yang dipakai secara luas, yang mengacu pada setiap kelompok intelijen 26 Tentang cerita mantan Kapolri Hugeng yang ”dikerjai” aparat intelijen begitu tak disukai Soeharto bisa dibaca pada Stanley (ed.), Pak Hoegeng: Polisi Profesional dan Bermartabat, Adrianus Noe Center dan Lembaga Penghargaan Hoegeng, Jakarta, 2004, hlm. 75-101. Baca juga Abrar Yusra dan Ramadhan K.H., Hoegeng: Polisi Idaman dan Kenyataan, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1994. 226 yang dibentuk untuk tujuan-tujuan khusus. Dengan cara yang sama, kelompok-kelompok Satgas Intel Kopkamtib dibentuk baik pada tingkat pusat maupun daerah sesuai tugas dan apabila diperlukan. Selain itu, sebagai tambahan pada staf personalia komadan Kopkamtib dan kepala staf, ada sejumlah kecil petugas kesekretariatan (Setkopkamtib) dan keuangan (Paku Kopkamtib). Semua ini merupakan dasar pembentukan bagi jajaran eselon staf pelaksana Kopkamtib. Prinsip jabatan rangkap dalam organisasi diperluas ke seluruh jajaran Kopkamtib, mulai dari pusat, daerah, hingga distrik dan rayon. Wakil utama Kopkamtib adalah Panglima Komando Daerah Militer yang merangkap sebagai Pelaksana Khusus daerah (Laksusda). Fungsi Laksusda adalah melaksanakan kebijakan Panglima Kopkamtib, walaupun ia juga menerima perintah dari Presiden melalui Pangab. Sejauh yang diketahui, seluruh Pangdam juga bertindak sebagai Laksusda. Laksusda dibantu oleh staf Kodam.27 Dengan demikian, Asisten Intelijen (Asintel) Pangdam adalah seorang perwira berpangkat kolonel, juga sebagai Asintel Laksusda. Asintel Lakusda biasanya mengendalikan satuan kerja intelijen untuk hubungan-hubungan Kopkamtib (terstrukur dan beranggotakan seperti yang diperlukan, kadang kala kurang atau lebih permanen dan dibedakan dari kelompok intelijen Kodam lain) dan dikepalai oleh seorang Letnan Kolonel (yang ditunjuk sebagai Komandan Satuan Tugas Intelijen, disingkat KomSatgas Intel). Di sini ada dua masalah penting, pertama kekuasaan ini menetapkan staf Kodam dan Asintel secara khusus, dengan wewenang pelaksana, termasuk hak untuk menangkap. Inilah dasar yang mengarahkan satgas Intel Kodam untuk melakukan semua interogasi, penangkapan dan 27 Lihat: Richard Tanter, ”Tentang Kopkamtib”, Op cit. 227 intervensi politik. Kedua, Asistel Laksusda biasanya bekerja-sama langsung dengan Badan Intelijen Strategis atau Bais (barangkali di luar pelaporan langsung operasi Kopkamtib kepada Komandan regional/Panglima Kopkamtib). Beberapa sumber wawancara mengklaim bahwa ada perbekalan keuangan khusus bagi perwira yang merangkap sebagai pelaksana khusus Kopkamtib daerah. Dana khusus tersebut dibagikan ke seluruh jajaran vertikal Kopkamtib sampai kepada Koramil. Untuk Panglima Kodam jumlah tersebut dihitung sebagai gaji rangkap. Alasan untuk itu adalah, seperti yang diklaim, para perwira Kopkamtib perlu paling tidak banyak bicara, mandiri dalam segi pendapatan, tidak bergantung pada sumber luar. Pengadaan sejumlah anggaran dana ekstra dari sumber-sumber yang secara finansial tak bisa dipertanggungjawabkan yang kemudian diserahkan kepada Panglima Kodam, maka alasan rasional di atas bisa diragukan. Jika anggapan itu benar, berarti ada perbedaan pembayaran resmi penting –(yang bertentangan dengan anggapan adanya sumbangan tidak resmi)— yang dibangun di dalam struktur Angkatan Bersenjata yang setuju dengan arah tugas pengamanan dan intelijen ketimbang arah tugas bertempur dan tugas fungsional lain. Sejak akhir 1970-an, hubungan perburuhan diidentifikasi sebagai ancaman potensial yang terus berkembang terhadap ”pembangunan ekonomi dan stabilitas nasional”, maka kemudian diatur rangkaian koordinasi campuran pengawasan, pencegaham dan penindasan. Kopkamtib terlibat jauh dalam upaya mengendalikan perluasan dan peningkatan asertif buruh industri. Sejalan dengan Departemen Tenaga Kerja, yang dikepalai oleh bekas panglima Kopkamtib, Laksamana Sudomo (1983-1988) bekerja sama dengan serikat buruh yang dikendalikan pemerintah dan kelompok pengusaha klien, maka Kopkamtib memantapkan suatu sistem pengawasan dan kemapuan intervensi menyeluruh (komprehensif), 228 khususnya di daerah industri vital, Jakarta-Bogor-Tangerang- Bekasi.28 Di bawah Sudomo, Departemen Tenaga Kerja dan Kopkamtib terjalin erat lewat pembentukan serangkaian badan-badan pengawasan dan tim dan prosedur intervensi. Usaha pertama koordinasi intelijen dan keamanan Kopkamtib yaitu menyerasikan pendekatan kooperatif tampaknya tidak berhasil dan di pertengahan 1982 Sudomo, saat ia masih menjabat sebagai Panglima Kopkamtib, mengumumkan bahwa seluruh perselisihan perburuhan harus dilaporkan secara langsung ke Kopkamtib. Pada awal 1983, saat telah menjabat Menteri Tenaga Kerja, Sudomo mengeluarkan Surat Keputusan untuk mendirikan Pusat Pengelolaan Krisis Masalah Ketenagakerjaan yang mencegah konflik perburuhan dengan tujuan memantapkan Hubungan Industrial Pancasila. Lembaga ini bertujuan untuk mencegah bangkitnya konflik industrial dan apabila krisis tersebut terjadi, mencegah penyebarannya dan ”memudahkan peredaman dan perundingan antara pihak-pihak yang terlibat dalam perselisihan”. Dalam bekerja, Kopkamtib mengembangkan kerja sama yang erat dengan Bakin dan Kejaksaan Agung. Bahkan karena kesulitan keuangan untuk melaksanakan operasi intelijen Pangkopkamtib, Soemitro pernah memberikan konsesi pemanfaatan hutan di Pulau Buru dan Pulau Seram serta Kalimantan Timur.29 Kontrol Terhadap Kesenian Banyaknya seniman dan kelompok kesenian rakyat yang bergabung pada Lembaga kebudayaan Rakyat (Lekra) pada jaman Soekarno menjadikan Orde Baru juga kemudian mengontrol semua 28 Ibid. 29 Heru Cahyono, Op cit. , hlm. 95 – 98. 229 bentuk kesenian. Yang pertama kali ditaklukan adalah kesenian yang tadinya banyak menyuarakan politik sebagai panglima, sebagaimana slogan kelompok kesenian di masa itu, yaitu sebagian besar kelompok kesenian rakyat seperti ketoprak, ludruk, reog dan lain-lain. Para panglima komando daerah militer (Kodam) langsung menjadi pembina kelompok-kelompok kesenian ini. Demikian pula pertunjukan wayang kulit yang menjadi sarana efektif bagi penyampaian pesan-pesan politik pemerintah dan Repelita.30 Para penyanyi juga diminta untuk melebur dan bergabung dengan Badan Koordinasi Seni Komando Strategi Angkatan darat ( BKS Kostrad). Hampir semua kelompok kesenian ludruk dan juga kelompok Reog Ponorogo di Jawa Timur dimasukkan sebagai bagian organisasi Kodam. Kelompok kesenian rakyat ini diminta oleh 30 Pemerintah menghimpun para dalang melalui organisasi yang diprakarsai Menteri Penerangan Boediardjo dan Menteri P&K Mashuri melalui organisasi Lembaga Pembina Seni Pedalangan Indonesia (Ganasidi) yang didirikan di Semarang pada 1969. Pada saat itu hadir 59 orang dalang. Mereka adalah para dalang yang selamat dari korban pembunuhan massal sepanjang Oktober 1965 hingga Maret 1966 dan juga lolos dari berbagai operasi penangkapan bagi mereka yang berindikasikan sebagai komunis hingga pertemuan berlangsung. Pelindung Ganasidi adalah Penguasa Perang Daerah (PAPDA). Seorang mantan ketua Ganasidi, Subarno, menuturkan bahwa, ”prakarsa untuk mendirikan Ganasidi datang dari Pangdan VII Diponegoro, Mayjen Surono. Prakarsa itu lahir di bawah bayangan nasib dalang-dalang yang telah jatuh menjadi korban Gerakan 30 September. Di samping keinginan untuk melindungi mereka dari kesalahan-kesalahan politik di masa mendatang. ” Sejak itu para dalang yang dulunya menganggap diri mereka adalah guru masyarakat kemudian menyebut diri mereka sebagai seniman. Sebuah pembalikan situasi dan nilai-nilai tradisional. Dalam butir ke 2 dari 6 butir tata tertib Ganasidi tercantum kata-kata antara lain ”Dalang sebagai abdi negara, dalam segala tingkah laku, ucapan, dan sikapnya wajib menjunjung tinggi dan mengamalkan Pancasila dan UUD 45 dengan mengutamakan kepentingan nasional, berkiblat kepada Garis Kebijaksanaan Pemerintah RI”. Tentang dalang di jaman Orde Baru bisa dibaca pada Victoria M. Clara van Groenendael, Dalang di Balik Wayang, Grafiti Pers, Jakarta, 1987, hlm. 221-237. Pada saat Harmoko menjadi Menteri Penerangan para dalang wayang kulit dihimpun dalam sebuah organisasi yang ketua kehormatannya adalah Menpen. Organisasi ini kemudian memobilisasi para dalang untuk menyuarakan pesan sponsor dari pemerintah dalam pertunjukan mereka. Para dalang dan pendukung pertunjukan wayang kulit ikut dimobilisasi dalam politik warna kuning, warna khas Golkar, saat terjadi heboh kasus kuningisasi di Jawa Tengah pada menjelang Pemilu 1997. 230 para pembinanya untuk lebih menyuarakan pesan-pesan pembangunan. Upaya kontrol lainnya juga dilakukan terhadap kesenian teater maupun drama, pertunjukan, film maupun rekaman musik, pembacaan puisi. Sedangkan wayang Potehi yang berbau kebudayaan Cina telah dinyatakan dilarang dimainkan sejak akhir 1969. Hal yang sama juga menimpa wayang Sasak di Lombok. Dalam upaya mengontrol kesenian, aparat intelijen memantau ketat semua naskah kesenian yang akan dipentaskan maupun lagu-lagu yang beredar di masyarakat. Hal ini dilakukan melalui penerapan prosedur ijin pertunjukan atau ijin keramaian dari kepolisian yang wajib dimiliki oleh setiap kelompok kesenian yang ingin menggelar pertunjukan. Dalam prosedur mengurus perijinan harus dicantumkan struktur organisasi penyelenggara, orang yang bertanggungjawab dan juga melampirkan naskah yang akan dipentaskan. Naskah yang disertakan dalam mengurus perijinan ini biasanya dibaca oleh sebuah tim yang bukan hanya terdiri dari petugas kepolisian, tapi juga ada aparat dari Bakin, Kejaksaan Agung dan tentu saja, Kopkamtib. Sejumlah seniman maupun kelompok kesenian berikut pementasannya tercatat pernah dilarang pentas oleh aparat keamanan dengan alasan baik karena polisi tak mengeluarkan ijin ataupun pihak polisi menghentikan pertunjukan yang sedang berlangsung. Tercatat antara lain pementasan drama W.S. Rendra, Teater Koma (paling sering), Teater Dinasti (Emha Ainun Najib dkk), Harry Roesli, pementasan musik Iwan Fals, pementasan musik Doel Sumbang, dan Teater Gandrik. Pembacaan puisi-puisi pembangunan oleh WS Rendra di Taman Ismail Marzuki pada 28 April 1978 bahkan dilempari dengan bom amoniak oleh orang-orang yang diduga adalah aparat intelijen.31 31 Akibat kejadian tersebut bahkan Rendra kemudian ditahan Laksusda Jaya pada 1 Mei 1978 dan baru bebas pada 7 Oktober 1978 setelah diprotes oleh banyak kalagan termasuk dunia internasional. 231 Sedangkan penyanyi yang lagu dan kaset rekamannya dilarang antara lain adalah Onny Suryono, Remy Silado, Doel Sumbang, Kelompok Kampungan, D’lloyd (lagu ”Hidup di Bui”), Onny Suryono, dan Tris Sakeh. Termasuk kaset perdana Mogi Darusman yang berjudul ”Rayap-Rayap” di mana selain kasetnya dinyatakan terlarang untuk diedarkan, dua lagu di dalamnya juga dinyatakan dilarang untuk dinyanyikan antara lain lagu ”Rayap-Rayap”, ”Aje Gile”, dan ”Koruptor”.32 Lagu-lagu kelompok Black Brothers dari Papua juga dinyatakan terlarang setelah kelompok ini menyatakan mendukung gerakan Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan lari untuk kemudian meminta suaka politik pada pemerintah Belanda.33 Nasib yang sama dengan alasan yang berbeda menimpa mantan Kapolri Hogeng Iman Santoso yang acara dan lagu-lagu the Hawaian Seniors-nya dicekal dan tak boleh ditayangkan di TVRI 32 Karier Mogi sebagai penyanyi berakhir sudah. Sejak albumnya dicekal, kakak sulung Marzuki Darusman itu juga tak pernah bisa mendapatkan ijin pementasan. Bukan hanya itu, pada menjelang Pemilu 1982 saat Gombloh dengan kelompok Lemon Treesnya menyanyi, Gombloh mendaulat Mogi untuk maju naik ke panggung. Di panggung Mogi berteriak kepada penonton bahwa dirinya tak suka pada ”presiden yang namanya Su.....Suhar.....”. Menurut Mogi, presiden itu suka menerima suap dan menutup mata terhadap kerakusan istrinya. Mogi kemudian harus membayar mahal kenekadannya itu. Begitu istirahat di belakang panggung, tiga orang aparat intelijen meringkusnya. Mogi kemudian dinaikkan ke sebuah truk dan setelah babak belur dihajar di atas truk yang melaju kencang, ia di lempar ke aspal jalanan. Lihat P. Hasudungan Sirait, ”Kisah Musik Terlarang” dalam Tidak Bebas Berekspresi: Kisah tentang Represi dan Kooptasi Kebebasan Berekspresi, ISAI, Jakarta, 2005. 33 Tapi sejak reformasi lagu-lagu Black Brothers di Jayapura direkam ulang dan diperjualbelikan dengan laris. Kekerasan lain di Papua menimpa Arnold Ap dengan kelompok kesenian Mambesak-nya yang dianggap mengidupkan kembali pan-Melanesia dan berpotensi mendorong kuatnya OPM. Pada 30 November 1982 Arnold Clements Ap dijemput oleh pasukan elit Kopassandha (sekarang Kopassus) yang berpakaian preman dengam menggunakan mobil tanpa plat nomor Setelah mengalami siksaan ia dibebaskan dan kemudian dijebak dan ditembak. Jasad Arnold Ap ditemukan di sebuah kamar mayat di rumah sakit Aryoko, Jayapura pada 26 April 1982 oleh seorang perawat yang kebetulan mengenai wajahnya. Lihat Robin Osborne, Kibaran Sampari: Gerakan Pembebasan OPM, dan Perang Rahasia di Papua Barat, Elsam, Jakarta, 2001, hal 318-331. 232 dengan alasan gara-gara Hoegeng bergabung dengan Kelompok Petisi 50. Acara bincang-bincang Hoegeng di Radio Elshinta juga mengalami nasib serupa. Kontrol Terhadap Film Selain seksi perfilman Kopkamtib, pemerintah Orde Baru meneruskan kebijakan jaman kolonial Belanda dan pemerintahan Soekarno yang membentuk badan sensor.34 Pasca Peristiwa G30S, terjadi pembersihan terhadap semua unsur kiri di tubuh Badan Sensor Film (BSF). Pada awalnya, keanggotaan BSF di jaman Orde Baru terdiri dari 24 orang perwakilan pemerintah dan sembilan dari partai politik. Namun, secara bertahap pemerintah Orde Baru kemudian melepaskan kontrol lembaga atas sensor yang tadinya ada di tangan para wakil masyarakat dan mengalihkannya ke para agen keamanan, terutama kepolisian dan Bakin. Situasi ini kian menguat sepanjang kurun 1972-1982 saat Ali Murtopo menjadi menteri penerangan.35 Pada era Ali Murtopo, Bakin mempunyai dua orang perwakilan dalam keanggotaan BSF. 34 Pada jaman Belanda, pemerintah kolonial membentuk Algemeen Nederlandch-Indisch Film pada 1925. Lembaga ini selain menjalankan sensor juga bertugas untuk memproduksi sejumlah film dokumenter yang tertunya berpihak pada kepentingan Belanda. Pada Era Sukarno dibentuk Perusahaan Film Negara yang memproduksi besar-besaran citra Sukarno dan Badan Sensor Film (BSF) yang bertugas mengawasi film-film produksi Nekolim. Lihat: Krishna Sen dan David T. Hill, Media, Budaya dan Politik di Indonesia, ISAI, Jakarta, 2001, hlm. 160-161. 35 BSF kurun 1971-1972 merupakan kurun paling liberal dan terbuka sejak 1965. Pada masa ini anggota BSF terdiri dari para seniman dan intelektual terkemuka. Semua perdebatan film yang kena sensor muncul di media massa. Salah seorang anggota BSF yang mantan aktivis mahasiswa, Arief Budiman, sangat rajin menulis tentang film-film yang ditonton dan perdebatan di kalangan internal BSF di koran nasional. 233 Setiap film yang diproduksi atau diimpor harus terlebih dulu diserahkan kepada BSF untuk ditonton oleh komite yang terdiri dari tiga anggota. Jika anggota komite tidak bisa mencapai kesepakatan, maka film harus dipresentasikan pada pleno anggota dewan. Jika produser dan importir film ditolak oleh ketiga anggota komite, mereka bisa meminta ditinjau ulang oleh anggota dewan.36 Pada pertengahan 1970-an pemerintah membuat regulasi yang mengatur kemungkinan adanya intervensi pemerintahan lokal dalam mengawasi film. Hal ini disusul dengan dibentuknya Badan Pembinaan Perfilman Daerah (Bapfida) pada 1975. Bapfida ditunjuk oleh gubernur dan dikepalai oleh kepala wilayah departemen, termasuk aparat keamanan. Pada 1977, kewenangan Bapfida ditambah kewenangan untuk menyensor film yang diputar di wilayahnya. Kalau BSF bertugas untuk menggunting adagan film yang memiliki potensi berbahaya, maka Bapfida memiliki kewenangan untuk melarang peredaran sebuah film di tingkat propinsi. Berbagai upaya untuk mengontrol film melalui praktek sensor dilakukan pemerintah Orde Baru. Pada 1977 pemerintah menyusun sebuah pedoman sensor sistematis yang pertama, disusul pada 1981 Dewan Film Nasional (lembaga yang didanai pemerintah) menerbitkan Kode Etik Produksi Film Nasional. Dalam seminar tentang Kode Etik Produksi Film pada 1981, Jenderal Sutopo Juwono yang juga adalah KaBakin menjelaskan 36 Lihat Budi Irawanto, Film, Ideologi, dan Militer: Hegemoni Militer dalam Sinema Indonesia, Penerbit Media Pressindo, Yogyakarta, 1999, hlm. 93. Pada masa Ali Murtopo menjadi menteri penerangan, keanggotaan BSF dimekarkan menjadi 37 orang, termasuk ketua dan ketua pelaksana. Tentang sejarah sinema Indonesia termasuk pembuatan film-film propaganda di jaman Soeharto seperti film ”Pengkhianatan G30S/PKI” dan ”Janur Kuning” bisa dilihat pada Krishna Sen, Indonesia Cinema: Framing the New Order, Sed Book, London, 1994. 234 tentang larangan bagi sebuah film, yaitu tidak boleh ada muatan konflik antar kelompok yang umumnya dimulai dari kesenjangan antara ”kaya dan miskin”. Aspek politik dari pedoman sensor yang akan melarang sebuah film adalah apabila dianggap berbahaya bagi ”politik dalam dan luar negeri” atau ”bertentangan dengan kebijakan pemerintah”. Kode etik juga menyatakan bahwa adalah tanggung jawab sebuah film untuk menghilangkan semua pernyataan yang memerosotkan kepercayaan masyarakat pada lembaga pengadilan. Dan terutama larangan bagi penghinaan pada aparat penegak hukum dan ketertiban, serta larangan memperlihatkan memperlihatkan aparat kepolisian yang dibunuh oleh penjahat. Ini termasuk cerita tentang penculikan, di mana pada akhir film sang anak yang diculik harus kembali dalam keadaan selamat.37 Pemerintah Orde Baru pada 1984 mengeluarkan Peraturan Pemerintah No 7 Tahun 1984. Dalam peraturan tersebut dinyatakan bahwa semua film yang mempromosikan sebuah analisis atau ideologi politik atas tuduhan-tuduhan yang keliru, yang mungkin dipandang mengganggu stabilitas nasional secara otomatis akan dilarang.38 Pemerintah juga membuat berbagai aturan penyensoran yang lebih detil, komprehensif dan bersifat publik. Pada tahun 1992 BSF diganti menjadi Lembaga Sensor Film (LSF). Pada kenyataannya, lembaga baru ini tidak mengalami perubahan yang berarti dan tetap saja harus bertanggungjawab kepada Menteri Penerangan. Cara kerja LSF juga tertutup dan bersifat rahasia. LSF memiliki kewenangan yang lebih besar, bukan sekadar menyensor film tapi juga bertanggungjawab untuk menyensor semua materi audio visual yang diedarkan, ditayangkan, atau disiarkan di Indonesia. 37 Ibid., hlm. 95-96. 38 Krishna Sen dan David T. Hill, Op cit., hlm. 163-165. 235 Terhitung sejak tahun 1970 hingga 2005 tercatat ada 40 film yang bermasalah dengan sensor. Dari jumlah itu ada 8 film ( 20%) yang dianggap kena masalah dengan sensor berkaitan dengan kritik sosial. Bentuk sensor film di Indonesia tidak hanya berupa pemotongan adegan atau dialog film yang dilakukan oleh BSF tapi juga bisa berupa pelarangan bagi produser atau sutradara untuk memproduksi cerita tertentu. Pada saat seorang produser hendak membuat film, ia harus meminta ijin terlebih dahulu kepada Departeman Penerangan. Departemen ini akan menilai apakah sebuah cerita bisa diloloskan atau tidak. Ada beberapa naskah cerita (skenario) yang tidak diloloskan oleh Departemen Penerangan. Yang paling terkenal adalah sebuah cerita mengenai pengadilan antara gelandangan dan pejabat di Jakarta. Film ini rencananya mengambil judul ”Wasdri” (1977). Naskah ini ditolak ijin produksinya oleh Departemen Penerangan dengan alasan cerita film mempertajam kesenjangan sosial.39 Selain melarang sebuah cerita diproduksi menjadi film, Departemen Penerangan juga kerap meminta perubahan judul atau isi cerita yang dipandang tidak sesuai. Permintaan ini umumnya disetujui oleh produser atau sutradara. Karena hanya dengan jalan ini film bisa diproduksi. Dengan tindakan seperti ini, Departemen Penerangan telah masuk jauh mencampuri isi dari suatu film. Salah satu contoh menarik adalah kasus film ”Nyoman dan Merah Putih”. Ketika skenario diserahkan ke Departemen Penerangan, film ini memakai judul Nyoman dan Presiden. Pihak Deppen sejak awal tidak suka dengan pemakaian judul ini. Tapi produser langsung memproduksi film tersebut. Dari segi isi dan jalan cerita tidak ada 39 Eryanto, ”Sensor dan Kebebasan Berekspresi Dalam Dunia Perfilman Indonesia” dalam Irawan Saptono dkk, Tidak Bebas berekspresi: Kisah tentang Represi dan Kooptasi Kebebasan Berekspresi, ISAI, Jakarta, 2004, hlm. 65-95. 236 yang bermasalah dari film ini. Setelah film itu selesai, Departemen Penerangan meminta agar film tidak memakai judul ”Nyoman dan Presiden”. Departemen ini menawarkan 5 alternatif judul film yang bisa diambil, yaitu ”Nyoman dan Bapaknya”, ”Nyoman dan Kita”, ”Nyoman dan Bangsa”, ”Nyoman dan Merah Putih”. Hanya gara-gara persoalan judul ini muncul kontroversi. Departemen Hankam menilai film ini tidak mengandung hal-hal yang negatif baik kepada lembaga kepresidenan, pemerintah RI maupun masyarakat. Sekretaris Militer juga memberikan rekomendasi bahwa judul ”Nyoman dan Presiden” bisa dipakai. Namun Departemen Penerangan tetap keberatan dengan judul itu. Alasan Departemen Penerangan, lembaga kepresidenan adalah lembaga istimewa. Lembaga istimewa dan dihormati tidak sepantasnya dipakai sebagai bagian dari barang yang diperdagangkan. Departemen Penerangan bukan hanya berhak menilai apakah sebuah naskah skenario layak diproduksi menjadi film atau tidak. Lebih jauh ia juga berhak untuk menghentikan peredaran suatu film meskipun dari segi isi film tersebut telah lolos dari BSF. Salah satu contoh terkenal adalah larangan edar terhadap film ”Romusha” (1972) yang disutradarai oleh SA Kariem. Film ini isinya melukiskan kekejaman tentara Jepang semasa pendudukannya sekitar tahun 1943-1944. Film ini juga menggambarkan ratusan romusha dengan keringat darah melakukan kerja paksa, menggempur gunung, membuat lobang perlindungan, gudang bawah tanah dan sebagainya. BSF sendiri meloloskan film ini, namun pihak Departemen Penerangan beralasan film ini bisa memancing permusuhan antara Indonesia dan Jepang. Kopkamtib juga menilai film ”Romusha” melukiskan kekejaman Jepang jauh lebih besar dibandingkan dengan kenyataan yang sebenarnya. Selain pemotongan film oleh lembaga sensor , bentuk sensor lain yang pernah menghantui dunia perfilman Indonesia adalah pelarangan edar. Dari 40 kasus sensor film di Indonesia 1970- 237 2005, sebanyak 14 kasus di antaranya adalah pelarangan edar, baik pelarangan edar nasional maupun lokal. Di tingkat nasional, Departemen Penerangan mempunyai hak untuk melarang edar sebuah film meski film tersebut telah lolos sensor. Lembaga lain yang bisa menghentikan peredaran sebuah film adalah Kejaksaan Agung. Tetapi dari kasus pelarangan edar film, yang banyak terjadi adalah pelarangan edar film di tingkat lokal. Lembaga sensor memang tidak ada di dearah, tetapi di tingkat provinsi terdapat Bapfida yang mempunyai hak untuk mengevaluasi sebuah film dan menentukan apakah film bisa atau tidak bisa beredar di wilayah tertentu. Tak ada standar yang dipakai oleh Bapfida untuk menilai apakah sebuah film layak atau tidak diputar di daerah. Masing-masing Bapfida mempunyai kebijakan dan selera sendiri-sendiri. Dari semua Bapfida, Bapfida Yogyakarta yang paling sering mengeluarkan larangan edar suatu film. Posisi Yogyakarta sebagai kota pelajar, acapkali dipakai oleh Bapfida untuk melarang peredaran sebuah film utamanya yang banyak mengumbar erotisme. Ada banyak alasan yang dipakai oleh Bapfida untuk melarang sebuah film beredar. Selain alasan menjaga kepribadian (terutama film kekerasan atau pornografi), alasan lain yang dipakai adalah menjaga kondisi keamanan wilayah. Film, terutama dengan tema sosial politik, hampir bisa dipastikan susah beredar di wilayah di mana cerita film itu berasal. Sebut misalnya film ”Perawan Desa” yang disutradarai oleh Frank Rorimpandey. Film yang kisahnya berasal dari cerita nyata perkosaan terhadap seorang penjual telur di Yogyakarta ini dilarang beredar di wilayah Yogyakarta —kendati film ini telah lolos dari BSF. Film ”Kabut Ungu di Bibir Pantai” (1981) yang dibuat berdasar kisah skandal yang menghebohkan di tahun 1980-an yang melibatkan perwira polisi Komdak X, Jawa Timur, juga dilarang beredar di wilayah Jawa Timur. Bapfida Jawa Timur menilai film ini bisa menimbulkan gambaran yang keliru terhadap aparat keamanan. 238 Namun yang paling unik dari kasus pelarangan edar film oleh Bapfida adalah film ”Max Havelar” yang versi Indonesianya berjudul ”Saijah dan Adinda”. Film yang diangkat dari kisah Max Havelaar ini sempat tertahan di BSF selama 11 tahun. Diproduksi selama dua tahun (1974-1976), film ini baru diloloskan oleh BSF pada 1986. Setelah film ini lolos, di beberapa wilayah film ini justru dilarang beredar. Dua wilayah yang banyak disebut dalam film itu, Lebak dan Subang mempunyai kebijakan yang berbeda terhadap peredaran film ini di wilayahnya. Di Lebak, Bupati Iman Sachroni melarang peredaran film itu di wilayahnya. Film ini dinilai menyudutkan bupati, menggambarkan watak dan pemerintahan Bupati Kartanatanegara yang kejam sementara penjajah yang diwakili Asisten Residen Max Havelaar dilukiskan sebagai pembela rakyat. Film ini selain dinilai bisa menimbulkan gambaran yang keliru mengenai pemerintah daerah juga dinilai bisa menyinggung perasaan keturunan Bupati Kartanatanegara. Sementara di Subang, justru film ini menjadi tontonan wajib bagi siswa sekolah menengah. Pemerintah Daerah Subang menilai film ini mendidik. Film ini memberi penyadaran bukan hanya penjajah saja yang buruk. Orang Indonesia juga bisa berperilaku buruk dan jahat.40 Kebijakan sensor dalam film ini pada akhirnya mengurangi kebebasan berekspresi dari para pembuat film. Sutradara atau produser jarang yang mau membuat film bertema kritik sosial karena takut film mereka akan dilarang beredar. Atau kalau beredar sudah melalui proses pemotongan atau perubahan adegan yang berbeda dengan adegan awal. Salah satu contoh menarik adalah film Frank Rorimpandey yang berjudul ”Perawan Desa”.. Film ini diangkat dari sebuah kisah nyata perkosaan yang menimpa Sum Kuning, seorang gadis 40 Ibid. 239 penjual telur di Yogyakarta. Kisah yang terjadi pada September 1970 itu itu sendiri sangat menghebohkan karena diduga dilakukan oleh sekumpulan anak seorang pejabat. Pihak kepolisian membuat surat-surat keterangan palsu pada waktu pemeriksaan awal, sehingga pelakunuya tidak pernah diseret ke pengadilan. Namanama para pelakunya pun tidak pernah diumumkan walaupun ciri-ciri mereka dimuat di surat kabar. Film ini dibuka dengan sebuah adegan perkosaan yang dilakukan oleh empat pemuda berandal, pedagang ganja di atas jip. Atas bantuan keluarga langganannya, Sumira (Sum Kuning) berhasil diselamatkan. Anak langganan Sumira ini kebetulan seorang wartawan di sebuah surat kabar Yogyakarta. Karena iba dengan penderitaan Sumira, wartawan ini memutuskan menulis kisah perkosaan Sumira di surat kabar. Ia juga membantu Sumira membawa kasus perkosaan itu ke pengadilan. Film selanjutnya menceritakan proses pengadilan kasus Sumira. Orang tua Sumira yang kebingungan atas musibah anak gadisnya, malu atas semua publikasi mengenai kejadian perkosaan dan cenderung menutupi kejadian ini. Tapi mahasiswa, wartawan dan para ahli hukum yang bersimpati atas nasib Sumira melancarkan aksi-aksi untuk membentuk opini melawan para kriminal. Sementara para pemerkosa menggunakan kenalan mereka di Kepolisian Daerah Yogyakarta untuk mendapatkan perlindungan dan menghindari pengadilan. Kapolda Yogyakarta, Murtono menahan mahasiswa dan wartawan yang menyelidiki kasus Sumira. Namun karena usaha itu tidak bisa membendung simpati masyarakat yang membanjir terhadap Sumira, Murtono akhirnya menahan Sumira sendiri. Terasing dari dukungan teman-temannya dan di bawah tekanan polisi, Sumira ternyata mengubah ceritanya sama sekali. Di dalam sebuah konferensi pers yang diadakan oleh pihak kepolisian, Sumira tidak hanya menarik cerita mengenai pemerkosaan yang menghebohkan 240 itu tetapi juga mengakui bahwa ia sebenarnya telah mengarang cerita pemerkosaan itu karena ingin terkenal. Sumira lalu diadili dengan tuduhan menipu masyarakat. Seorang wanita pengacara yang terkenal, Sudarsini, tetap membela Sumira meskipun ia menerima ancaman dari pihak kepolisian. Di pengadilan polisi membawa saksi-saksi yang sehari-hari bekerja sebagai pedagang kecil di pasar. Para saksi ini mudah disuap dan diancam, dan karena sebenarnya mereka adalah saksi palsu, kesaksian mereka mudah dipatahkan oleh pengacara pada waktu pemeriksaan di pengadilan. Tetapi jaksa dan polisi terus berusaha menekan saksi-saksi untuk memperkuat bahwa perkosaan itu adalah cerita rekaan Sumira saja. Kasus Sumira ditunda dengan alasan tidak cukup bukti. Pada bagian akhir film Perawan Desa ini ditampilkan sebuah shot yang menarik. Sumira meninggalkan ruang pengadilan dengan dituntun oleh orang tuanya dan pembelanya. Shot terakhir memperlihatkan Sumira yang lemas dengan latar belakang wajah-wajah kabur orang-orang kritis yang bersimpati dan yang penasaran dengan kasus Sumira, koran-koran yang memuat ceritanya berserakan di layar. Film ini, untuk konteks Indonesia, sangat istimewa. Inilah sedikit film yang menggambarkan polisi dan pengadilan secara kritis. Film ini mengkritik keadilan yang sulit didapat oleh orang-orang kecil. Tentang hamba-hamba hukum ( polisi, jaksa) yang mudah disuap untuk melindungi kepentingan orang yang berkuasa atau punya uang. Film ini menggambarkan secara detil bagaimana hukum belum menjadi instrumen untuk menegakkan keadilan. Akhirnya, film ini sampai ke Badan Sensor Film (BSF) dan harus berhadapan dengan gunting sensor. Oleh BSF, film ini dinilai bermasalah, karena dipandang bisa menimbulkan ketegangan sosial, menciptakan citra yang buruk atas aparat pemerintah. Agar film itu tetap bisa beredar, BSF meminta kepada produser dan sutradara agar mengubah bagian tertentu dari film itu. 241 Produser Perawan Desa menuruti permintaan BSF dengan memberi tambahan cerita di akhir film. Bagian yang ditambahkan panjangnya lima menit. Setelah pengadilan Sumira, tiga orang pemerkosa yang mendengarkan jalannya pengadilan melalui radio menjadi marah. Pemuda keempat yang baru saja mengedarkan kokain bergegas masuk dan mengatakan polisi melihatnya. Keempat pemuda bergegas masuk ke dalam mobil, berusah melarikan diri dari kejaran polisi. Pengejaran ini berakhir dengan kecelakaan yang menyebabkan keempat pemuda ini luka berat. Ketika ambulans yang membawa keempatnya masuk ke pintu rumah sakit, Sumira muncul dalam pakaian perawat. Ia melihat korban kecelakaan yang berlumuran darah, ketika mereka dibawa masuk, Sumira mengenali pemuda ini. Ketika ditanya apakah ia masih dendam, kepada orang yang telah begitu banyak menyiksa dirinya, ia berkata,”Mereka telah mendapat hukuman yang setimpal.” Akhir film ini telah mengubah secara secara halus kritik sosial yang ingin disampaikan oleh film. Dalam versi awal, Perawan Desa menggambarkan secara meyakinkan keadilan yang tidak berpihak kepada orang-orang kecil seperti Sumira. Pelakunya belum ditangkap dan mungkin masih berkeliaran sementara Sumira sebagai korban justru menghadapi tuduhan yang serius telah menciptakan kabar bohong mengenai pemerkosaan. Dalam versi baru ( dengan tambahan akhir cerita) hendak ditekankan keadilan telah terjadi. Pemerkosa mendapat hukuman yang setimpal, dan korban telah mendapatkan kebahagiaan akibat sikap pasrah dan lapang dadanya. Dengan tambahan akhir cerita yang diminta oleh BSF itu, kritik yang hendak disampaikan oleh film itu menjadi kurang menggigit. Persoalan keadilan lantas seolah menjadi persoalan personal. Bagaimana akhir cerita yang sebenarnya dari kasus perkosaan Sumira ini? Pengadilan memang telah digelar. Sejumlah tersangka telah dijatuhi hukuman, tetapi pelaku utamanya belum diketahui. Sumira sendiri akhirnya berganti nama untuk menghindari publi242 kasi terus menerus mengenai dirinya. Dengan cara itu, Sumira menginginkan agar anaknya dan masyarakat sekitarnya kelak tidak akan pernah mengingat luka lama itu. Sumira memang telah membangun hidup baru. Ia menikah dengan kenalan lamanya, Darmanto yang mau menerimanya apa adanya. Sumira akhirnya memang bekerja sebagai perawat di satu puskesmas di Yogyakarta. Tetapi tentu, ia tidak pernah bertemu dengan keempat pemerkosanya seperti yang diceritakan dalam film itu.41 Kasus seperti yang dialami oleh film Perawan Desa ini banyak terjadi. Agar film tetap bisa beredar, BSF meminta produser atau sutradara agar mengubah bagian tertentu dari film tersebut — bisa judul, adegan atau bahkan menambah adegan baru. Dari 40 kasus sensor film yang bisa diidentifikasi antara tahun 1970-2005, setidaknya ada 11 kasus film yang terpaksa harus diubah bagian tertentu bisa lolos sensor. Kasus lebih lucu terjadi dalam film karya Nya Abbas Akup, ”Gadis” (1980). Film ini mengisahkan mengenai seorang ibu yang keluar dari rumah suaminya, seorang pejabat yang tergilagila pada perempuan lain. Ia menjadi buruh cuci pada keluargakeluarga bangsawan. Kesengsaraan ini bertambah ketika cucian dicuri seseorang, sehingga anaknya, Gadis, harus menjadi budak di rumah Renggo, seorang bangsawan yang pakaiannya dihilangkan oleh ibu tersebut. Di sini Gadis bertemu dengan Jaka, yang baru lulus Mosvia dan ditugaskan di daerah itu. Kisah cinta ini tidak berjalan lancar apalagi dengan latar belakang penggusuran sebuah desa yang dilakukan oleh Renggo demi memenuhi tuntutan sebuah perusahaan perkebunan yang ingin meluaskan tanahnya. Kisah cinta mereka juga diwarnai berbagai intrik. Anak Renggo 41 Ibid. 243 jatuh cinta pada Jaka. Di akhir cerita, Jaka memilih Gadis. Saat itu juga Renggo membalas dengan menyerbu rakyat yang mengobrakabrik rumahnya dan sedang mengelukan Gadis dan Jaka. Semula Badan Sensor Film (BSF) tidak akan meloloskan film ”Gadis”. Film ini dinilai oleh BSF tidak jelas alur ceritanya. Terutama di akhir cerita ketika Jaka dengan gembira membopong Gadis yang dikelilingi oleh rakyat yang ketakutan. Sementara di latar belakang tampak barisan serdadu Belanda dengan bedil terhunus siap menumpas. Akhir film ini, menurut BSF, bisa menimbulkan penafsiran yang beragam di kalangan penonton. Ada yang menyangka bahwa Jaka dan Gadis tewas tertembak Belanda, tetapi ada juga yang menebak justru rakyatlah yang tewas. Karena penonton dianggapnya mungkin akan keliru, BSF menganjurkan agar produsernya (PT Inem Film) menambahi akhir cerita ini dengan teks ”Ternyata penjajah licik dan ingkar janji. Penduduk setempat ditumpas”. Menginginkan film itu lolos sensor, produser menyetujui usul BSF. Jadilah film itu muncul dengan tambahan kata-kata itu. Selain mengubah atau menambah adegan dalam film, cara lain yang banyak dilakukan oleh lembaga sensor adalah memotong bagian tertentu yang dipersoalkan dalam film. Pemotongan ini kerap menimbulkan film kehilangan bentuk dan roh aslinya. Salah satu contoh menarik adalah sensor yang menimpa film ”Matahari- Matahari” (Sutradara Arifin C. Noer, 1985). Film ini berkisah tentang urbanisasi. Arifin berusaha mengkontraskan kehidupan di kota yang kejam dengan desa. Bagian awal film ini menceritakan kehidupan desa yang damai. Sampai muncul Sarkim, warga desa yang merantau ke kota dengan membawa perhiasan. Kedatangan Sarkim ditemani oleh Kokom, seorang penyanyi dangdut. Kedatangan Sarkim dan Kokom ini memancing warga untuk meninggalkan desa dan mengadu nasib di kota. Di Jakarta, Warga bersama isterinya ( Iyom) berada di bawah pengaruh Sarkim yang jadi raja 244 pengemis. Kehidupan rumah tangga Warga terancam. Iyom dituduh main gila dengan laki-laki lain. Warga marah dan meninggalkan anak isterinya. Setelah Warga pergi, pondokan Iyom terbakar. Maka keluarga ini tercerai berai. Sarkim menjerumuskan Warga menjadi pembunuh bayaran , hidup mewah dan tinggal bersama wanita impiannya, Kokom. Ketika sadar bahwa semua ini ulah Sarkim, Warga membunuh Sarkim dan masuk penjara. Akhir film ini, Iyom meninggalkan Jakarta dan kembali ke desa. Ia memulai kehidupan baru bersama anaknya. Film ini sempat tertahan beberapa lama di BSF. Film ini dinilai banyak memuat dialog dan adegan yang bisa mempertajam kesenjangan sosial. Film ini akhirnya bisa beredar setelah beberapa adegan dan dialog dipotong oleh BSF. Pemotongan ini menyebabkan nuansa dari film menjadi hilang. Lewat film ini, Arifin sebenarnya ingin menceritakan sebuah tragedi dan juga rasa pahit. Nuansa ini hilang karena beberapa dialog yang dinilai BSF mempertajam kesenjangan sosial dibuang oleh BSF. Dialog-dialog yang mempertegas kemuraman gubuk pengemis dan kepengapan nasib mereka menjadi hilang. Jadinya film ini bukan cerita tentang sebuah tragedi. Apalagi ada satu adegan yang menggambarkan betapa irigasi di desa berlangsung dengan lancar, dan bagaimana gemerlapnya lalu lintas di kota. Rasa pahit yang mulai tercicip ketika gubuk atau asrama pengemis terbakar, urung jadi napas kisah ini.42 Berikut (Tabel 2) adalah sejumlah film non-seks/kekerasan yang pernah bermasalah dengan BSF, 42 Ibid. 245 Film ini sebenarnya sudah lolos sensor dari BSF, hanya dilarang beredar oleh Departemen Penerangan. BSF memandang film ini tidak masalah. Hanya pihak Departemen Penerangan yang tidak membolehkan film ini beredar. Film ini melukiskan kekejaman tentara Jepang semasa pendudukan di Indonesa 1943-1944, dikhawatirkan dapat membuat marah pihak Jepang. Oleh Departemen Pene¬rangan dipandang dapat menganggu hubungan baik Indonesia-Jepang. Kedutaan Jepang sendiri tidak pernah secara resmi melakukan protes atas isi film ini. Film ini diminta oleh BSF untuk diubah judulnya. Judul film ini berubah berkali-kali. Dari ”Matinya Seorang Pegawai Negeri”, ”Ilalang”, hingga ”Renungkanlah si Mamad”. Film ini berkisah tentang seorang pagawai negeri yang jujur yang terus menerus merasa berdosa telah melakukan korupsii. Meksi korupsi yang dilakukannya kecil. Judul ”Matinya Seorang Pegawai Negeri” dinilai oleh lembaga sensor sensitif dan bisa menimbulkan penafsiran yang keliru tentang pegawai negeri. Film ini sempat tertahan di BSF selama sepuluh tahun. Baru pada tahun 1985, film ini boleh beredar. Film ini berkisah tentang Max Havelaar yang menentang sistem kolonialisme saat itu. Film ini mengundang kontroversi. Diantaranya mempertontonkan bahwa orang Belanda baik dan pejabat pribumi buruk. Oleh BSF, salah satu adegan dalam film ini yang mengkontraskan adegan kotbah di gereja dengan penindasan di Lebak, bisa memancing permusuhan agama. Film ini tertahan beberapa tahun di BSF. Sempat beberapa kali berganti judul. Mula-mula ”Bandot Tua”, kemudian menjadi ”Bandot”. Bisa lolos sensor setelah mengalami pemotongan yang nyaris memotong semua isi film. Film ini berkisah tentang seorang pensiunan jenderal. Dengan bahasa karikatural, film ini banyak mengkritik kehidupan pensiunan jenderal tersebut—misalnya memiliki 1972 1973 1975 1977 Romusha Si Mamad Max Havelaar (Saijah dan Adinda) Cinta Biru 1 2 3 4 No Judul Tahun Produksi Catatan Tabel 2. Film Nonseks yang Pernah Bermasalah dengan Sensor 246 simpanan dan sebagainya. Film ini dipersoalkan karena menggambarkan pensiunan jenderal secara buruk. Meski sudah lolos sensor setelah melalui beberapa pemotongan BSF, film ini oleh Kopkamtib dilarang beredar di wilayah hukum Kodam Jaya. Film ini juga menjadi perhatian Kopkamtib. Pada 1983, film ini baru boleh diputar. Film yang dibintangi oleh Rendra ini bercerita soal pencarian jati diri anak muda. Kodam Jaya menilai film ini mengandung unsur propaganda, agitasi dan menghasut masyarakat, khususnya generasi muda. Bahkan Kopkamtib mensinyalir film ini mempromosikan ajaran komunisme. Film ini belum sempat diproduksi. Karena rencana produksi dalam bentuk skenario tidak disetuji oleh Departemen Penerangan. Departemen Penerangan. Wasdri berkisah soal pemuda dari satu desa di Jawa Tengah yang hidup terlunta dan menggelandang di Jakarta. Cerita Wasdri diangkat dari kisah nyata. Departemen Penerangan menilai cerita Wasdri mempertentangan kesenjangan sosial. Beberapa bagian dari film itu diubah agar bisa lolos sensor. Film ini oleh Bapfida Yogyakartadilarang beredar di Yogyakarta Film ini diangkat dari kisah nyata pemerkosaan Sum Kuning di Yogyakarta. Kasus perkosaan itu sendiri pernah menjadi peristiwa yang sangat menghebohkan. Film ini dilarang beredar dengan alasan bisa membawa pengaruh buruk bagi pelajar yang menontonnya. Film ini selama enam tahun tertahan di BSF. Akhirnya lolos sensor setelah dipotong di banyak adegan dan mengganti judulnya. Judul asli dari film ini adalah ”Koruptor- Koruptor”. Film ini dengan gaya karikatural menceritakan korupsi, kecurangan dalam sebuah perusahaan. Film ini tertahan lama di BSF karena banyak terdapat kritik sosial yang disajikan secara tajam. BSF menilai film ini bisa menimbulkan gambaran yang keliru terhadap pejabat pemerintah. Film ini tertahan hampir lima tahun di BSF. Setelah mengalami pemotongan, baru lulus sensor dan boleh die- 1977 1977 1978 1978 1978 Yang Muda Yang Bercinta Wasdri Perawan Desa Petualang-Petualang Bung Kecil 5 6 7 8 9 247 darkan pada 1983. Film ini berkisah mengenai seorang anak muda yang idealis. Ia menginginkan pembaruan, melawan feodalisme di sekitarnya. Ia aktif berpidato di banyak tempat dan membala kaum buruh. Film ini banyak memuat kritik sosial. Oleh BSF, film ini dipandang mempertentangkan kelas sosial. Film ini sempat tertahan selama empat tahun di BSF. Setelah produsernya melakukan protes dan mengalami pemotongan beberapa adegan, barulah film ini lolos sensor. Cerita film ini berkisar pada aksi seorang polisi untuk menumpas sendikat narkotika. Film ini dipersoalkan karena banyak kritik sosial terutama kepada pejabat. Selain itu BSF menilai film ini diwarnai banyak adegan kekerasan. Film ini diangkat dari Novel terkenal, Arjuna Mencari Cinta. Departemen Penerangan keberatan dengan pemakaian judul ini, dan meminta judul film diganti. Dari segi isi tidak ada persoalan dari BSF. Film ini berkisah tentang kehidupan cerita cinta remaja. Tidak ada yang istimewa dari jalinan cerita dan isi film ini. Yang dipersoalkan hanya pemakaian judul film. Oleh Departemen Penerangan pemakaian kata Arjuna (dalam judul dan nama tokoh utama film) dinilai bisa menghina tokoh pewayangan, Arjuna. Film ini sempat tertahan di BSF selama beberapa tahun. Film ini lolos setelah BSF meminta agar ending film diberi teks. Film ini bercerita mengenai kisah percintaan antara Jaka (Ray Sahetappy) dengan Gadis (Dewi Yull), anak seorang tukang cuci. BSF mempersoalkan akhir cerita itu, dimana Jaka membopong Gadis yang dikelilingi oleh rakyat yang ketakutan. Semenbtara di latar belakang tampak barisan serdadu Belanda dengan bedil terhunus. Ending ini menurut BSF menimbulkan kebingungan, apakah Jaka dan Gadis tewas ditembak Belanda, ataukah rakyat yang tewas. BSF meloloskan film ini dengan syarat di akhir film itu diberi teks tambahan ” Ternyata penjajah licik dan ingkar janji. Penduduk setenpat ditumpas”. Film ini teloh lolos sensor. Bapfida Jawa Timur melarang film ini beredar di wilayahnya. Film ini dilatarbelakangi oleh skandal yang menghebohkan di tahun 1980-an yang 1978 1978 1980 1981 Jurus Maut Mencari Cinta Gadis Kabut Ungu di Bibir Pantai 10 11 12 13 248 melibatkan perwira polisi Komdak X, Jawa Timur. Bapfida Jawa Timur menilai film ini bisa menimbulkan gambaran yang keliru terhadap aparat keamanan. Film ini sempat tertahan di BSF dan berganti judul beberapa kali sebelum lolos sensor.Isi film ini adalah kisah seorang wanita yang terjurus dalam dunia malam/pelacuran. BSF tidak mempersoalkan isi dan dan adegan dalam film ini. Yang dipersoalkan adalah pemakaian judul film yang bisa menimbulkan salah pengertian di kalangan umat Islam. Film ini sempat tertahan di BSF. Setelah melalui beberapa pemotongan, film ini baru bisa beredar. Kisah film ini adalah tentang kehidupan kota dan desa. Film ini dinilai oleh BSF cenderung mempertajam perbedaan sosial. BSF mempersoalkan film ini bukan karenanya isinya. Tetapi judul film. Semua film ini berjudul Duta Besar. Sempat berganti beberapa judul lain (seperti Hapuslah Air Matamu, Kemesraan, Suamiku Duta Besar) akhirnya diloloskan dengan judul Suami. Isi film ini adalah tentang kisah affair seorang duta besar. Ia melakukan affair akibat tidak mendapat perhatian isterinya yang seorang wanita karir. BSF hanya mempersoalkan pemakaian judul film (versi awal) yakni Duta Besar. Judul ini, oleh BSF dinilai bisa mendeskriditkan profesi duta besar. Semua film ini berjudul ”Kiri Kanan OK”. Pihak Departemen Penerangan keberatan dengan pemakain judul ini. Agar lolos sensor, judul film diubah menjadi Kanan Kiri OK. Film Kanan Kiri OK ini adalah film humor yang dibintangi oleh sejumlah pelawak. Tidak jelas alasan yang dipakai Departemen Penerangan melarang pemakaian judul ”Kiri Kanan OK”. Kemungkinan karena kata kiri di masa itu dianggap tabu. Yang dipersoalkan dalam film ini adalah judul. Judul awal film ini adalah Nyoman dan Presiden. Judul ini diminta diubah oleh Departemen Penerangan. Film ini baru bisa diedarkan setelah judulnya diubah menjadi Nyoman dan Merah Putih. Film ini berkisah tentang keinginan seorang anak dari Bali untuk bertemu dengan presiden. Setelah melewati berbagai keheboan akhirnya, 1981 1985 1988 1989 1989 Surga Dunia di Pintu Neraka Matahari-Matahari Suami Kanan Kiri OK Nyoman Cinta Merah Putih 14 15 16 17 18 249 si anak di akhir cerita bisa bertemu dengan presiden. BSF sendiri tidak mempersoalkan isi dan judul film ini. Tetapi pihak Departemen Penerangan keberatan. Alasannya, Presiden adalah institusi yang terhormat yang tidak bisa dipakai sembarangan. Sumber: dioleh kembali dari Eryanto, Ibid. Kontrol Terhadap Media Secara perlahan aktivitas intelijen Kopkamtib kian menancapkan kukunya di mana-mana. Pada 1974 kekuasaan Kopkamtib untuk meninjau lisensi penerbitan pers (Surat Ijin Terbit, atau SIT), yang sebelumnya hanya untuk daerah-daerah tertentu di Indonesia, diperluas ke seluruh wilayah Indonesia. Setiap tahun semua lisensi penerbitan pers harus melalui peninjauan Kopkamtib dan lisensi tersebut dapat setiap saat segera ditangguhkan atas wewenang komadan Kopkamtib daerah setempat. Setiap wartawan wajib melapor setiap saat, sebelum agen Kopkamtib datang dan diinterogasi. Bentuk dasar interogasi biasanya diputuskan oleh petugas Kopkamtib, namun pemukulan selama masa interogasi bukan tidak lazim. Dan intelijen dapat mengancam pemilik media dengan pencabutan linsensi pers atau dengan kerugian fisik. Selain itu, semua penerbitan baru harus atas persetujuan Menteri Penerangan dan sejak 1974 tindakan keras dilaksanakan dengan hanya mengeluarkan satu lisensi baru untuk satu penerbit. Hal ini diikuti dengan kebijakan penarikan kembali seluruh iklan pemerintah dan perusahaan swasta diharuskan menarik semua iklannya dari suatu media massa, apabila petugas Kopkamtib yakin adanya ancaman terhadap keamanan nasional atau merusak nama baik pemerintah. Kopkamtib juga mengeluarkan ketentuan yang mengatur bahwa surat kabar pemerintah yang mencerminkan garis pemerintah sampai titik koma, tidak akan menghadapi hambatan sirkulasi, malah setiap departemen pemerintahan diwajibkan berlangganan surat kabar pemerintah. 250 Dalam hal pemberitaan, petugas Kopkamtib mengeluarkan penjelasan resmi kepada wartawan tentang kasus-kasus nasional terpenting seperti invasi ke Timor Timur, status tahanan politik dan pemilihan umum. Dalam momen-momen seperti ini kehadiran para wartawan dianggap sebagi suatu kewajiban dan ucapan aparat wajib untuk ditulis. Walau semua penjelasan resmi tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum resmi, tetapi di dalam iklim persuasif intimidasi di Indonesia, mereka tentu merasakan pengaruh yang diharapkan sehingga garis Kopkamtib bisa secara jelas disampaikan kepada masyarakat. Aparat intelijen juga menggunakan pers sebagai alat bagi para anggotanya untuk melakukan penyamaran dengan berpura-pura menjadi wartawan. Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) Antara, koran Suara Karya, koran Angkatan Bersenjata, koran Merdeka (sejak era 80-an) dan juga sejumlah media nasional lain dalam media yang menyediakan kartu pers bagi sejumlah aparat intelijen. Pada umumnya anggota intelijen yang menyamar sebagai wartawan ini mempunyai posisi yang istimewa di kantor. Ia biasanya dibenci oleh sesama wartawan di tempat bekerja, namun disayang oleh pemimpin redaksi karena umumnya sering memberikan info-info eksklusif dan menjadi penghubung media dengan pejabat. Sejak pengendalian pers dilakukan ada banyak hal yang berubah, khususnya jika menelusuri perubahan perundangundangan pers dari tahun 1982 sampai 1966. Namun walau sudah ada perubahan dalam perundang-undangan pers, Kopkamtib tetap memakai kekuasaannya untuk melarang penerbitan surat kabar dan majalah, meskipun praktik peringatan dan pecabutan SIUPP (yang menjadi permanen) dikeluarkan oleh Menteri Penerangan di bawah hukum yang memberlakukan adanya persyaratan lisensi sebagai cara khusus untuk mengintimidasi pers sejak 1978.43 43 Tampaknya ada beberapa fungsi pers yang dianggap penting oleh penguasa Orde Baru. Antara lain, pertama, bahwa pers itu meningkatkan imajinasi mereka yang berkuasa 251 Ada banyak peristiwa politik yang melalui operasi penggalangan intelijen dan politik pembinaan media berhasil tidak diredam dan tak muncul di media. Atau kalau muncul, umumnya saat dalam persidangan, berita yang dipublikasikan tak ada hubungnya dengan peristiwa yang sesungguhnya terjadi. Berita yang dimunculkan di media adalah berita yang sudah mendapatkan pengarahan dari penguasa. Barangkali bisa ditelaah kembali beberapa berita yang sangat mencolok, antara lain pemberitaan mengenai penembakan misterius pada sepanjang 1982-1984 yang oleh media dilaporkan berdasarkan keterangan pihak penguasa dan intelijen adalah merupakan ekses dari perang antar geng. Namun Soeharto, dalam bukunya, justru menyatakan bahwa peristiwa tersebut merupakan perintahnya untuk menghabisi preman yang telah meresahkan rakyat.44 Beberapa peristiwa besar lainnya yang pantas disebut adalah Peristiwa G30S, pembunuhan massal, kasus pembantaian di Purwodadi, pembunuhan Jendral KKO Hartono dan pembunuhan sejumlah tokoh politik lainnya, kasus pemerkosaan Sum Kuning di Yogyakarta, peristiwa Malari, integrasi Timor-Timur, peristiwa Tanjung Priok, pembunuhan Dice, peristiwa Lampung, peristiwa pengadilan Sawito,45 peristiwa Haur Koneng, peristiwa Santa Cruz, peristiwa penyerangan Kantor PDI pada 27 Juli 1996, pembunuhan tentang kekuasaannya. Dalam anggapan mereka, bila pers tak dikuasai maka pers akan dipakai oleh orang lain untuk mengancam kekuasaannya. Kedua, pers meningkatkan imajinasi dari orang yang tidak berkuasa bahwa mereka diwakili oleh pers. Ketiga, meningkatkan imajinasi pers itu sendiri bahwa ia adalah wakil rakyat, wakil orang kecil, dan sebagainya. Lihat Daniel Dhakidae, ”Negara dan Kecemburuannya Kepada pers: Suatu Tinjauan Ideologis” dalam Heri Akhmadi (ed.), Ilusi Sebuah Kekuasaan, ISAI dan Pusham Universitas Surabaya, Jakarta, 1977. 44 Lihat G. Dwipayana dan Ramadhan K.H. (ed.), Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya, Citra Lamtoro Gung Persada, Jakarta, 1989. 45 Kasus Sawito (nama lengkapnya: Sawito Kartowibowo) pada 1976 yang disebut-sebut sebagai si Ratu Adil ini dari sisi liputan sangat menarik untuk dikaji. Media memberitakan 252 kyai-kyai NU yang dituduh sebagai dukun santet di Banyuwangi. Jelas, dalam berbagai liputan media mengenai peristiwa tersebut, media tak melaporkan fakta-fakta yang ada di lapangan dan hanya melaporkan keterangan versi intelijen yang dalam hal ini disampaikan oleh pejabat militer. Dalam pemberitaan mengenai Peristiwa G30S, harian Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha yang jelas dikuasai intelijen militer mempunyai sumbangan yang tak kecil dalam membangun kebohongan demi kebohongan. Terutama mengenai aksi di luar batas kemanusiaan yang dilakukan para perempuan ”sundal” yang tergabung dalam Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) di Lubang Buaya saat menyiksa pada jenderal.46 Apalagi kedua media kasus Sawito seolah-olah hanya sebagai ulah dari seorang pengikut kebatinan yang tak rasional. Sawito diberitakan mendapatkan wahyu lantas meminta Presiden Soeharto turun dari jabatan dengan melibatkan dukungan tanda tangan sejumlah tokoh antara lain Mohammad Hatta (mantan wapres), Prof. Dr. Buya Hamka (Ketua MUI), Kardinal Yustinus Darmoyuwono (Ketua MAWI) Raden Said Tjokrodiatmodjo (Ketua Sekretariat Kerja Sama Kepercayaan Indonesia), Dr. T.B. Simatupang (Ketua Dewan Gereja Indonesia) dan sejumlah lainnya. Apa yang terjadi sesungguhnya tak pernah diungkap oleh media. Apalagi kemudian pengadilan Sawito yang digelar pada 1977 hingga perrengahan 1978 penuh rekayasa dengan mengabaikan keharusan dihadirkannya sejumlah saksi kunci. Jaksa melancarkan sejumlah tuduhan aneh dengan sejumlah saksi yang telah direkayasa. Dengan demikian masyarakat tak pernah tahu bahwa di balik kasus Sawito, sebetulnya ada tuntutan dari sejumlah tokoh masyarakat bahwa Presiden Soeharto sebaiknya mundur dari jabatannya akibat berbagai penyelewengan yang dilakukannya serta kemerosotan kondisi moral bangsa. Pada saat itu, Muhammad Hatta telah menyatakan kesediaannya untuk sementara waktu memimpin sebuah pemerintahan presidium. Soeharto dilaporkan sangat marah dengan Sawito yang pernah dekat dengannya dan menuduhnya telah melakukan serangan-serangan yang bersifat personal. Sawito dan sebagian orang yang mendukung pernyataan dalam dokumen ”Menuju ke Keselamatan” ditangkap, dan yang lainnya mendapat intimidasi dan kemudian menarik dukungan mereka pada Sawito. Dalam hal ini Soeharto mengerahkan kekuatan intelijen dan aparat militernya. Tentang kasus sawito bisa dibaca Sumi Narto, Sawito: Ratu Adil, Guru Uji, Tertuduh, CV Aneka SMG, Semarang, 1978. Lihat juga: R.E. Elson, Suharto: Sebuah Biografi Politik, Pustaka Minda Utama, Jakarta, 2005, hlm. 416-423. 46 Bagian ini saya kutip dari Stanley, ”Penggambaran Gerwani Sebagai Kumpulan Pembunuh dan Setan: Fitnah dan Fakta Penghancuran Organisasi Perempuan Terkemuka” dalam 253 tersebut kemudian dikutip berbagai suratkabar, dengan sejumlah tambahan seperti mata dicungkil dan lain-lain, tersebut betul-betul membuat pembaca mual, marah, sekaligus bergidik.47 Tak ada yang bisa membayangkan bahwa ada manusia yang bisa berbuat kejam di luar batas kemanusian seperti itu. Banyak di antara mereka yang membayangkan para perempuan pelaku kekejaman itu bukan manusia. Mereka lebih mirip sebagai setan perempuan yang jahat, kuntilanak (sundel bolong). Apalagi belakangan, ditambah dengan pemberitaan tentang meninggalnya Ade Irma Nasution akibat berondongan peluru para pembunuh yang menyasar pimpinan Angkatan Darat, Jendral AH Nasution. Mayjen Soeharto, menanggapi berita mengenai kekejaman tersebut dengan menyatakan, ”Jelaslah bagi kita yang menyaksikan dengan mata kepala, betapa kejamnya aniaya yang telah dilakukan oleh petualang-petualang biadab dari apa yang dinamakan Gerakan 30 September.”48 Yang jadi pertanyaan, betulkah cerita itu sebuah fakta? Apa bukan sekadar fiksi ”ajaib” dari sebuah imajinasi yang hebat? Yang jelas, dari sisi jurnalistik, berita tersebut bukan hanya meragukan, tapi sulit untuk dipertanggungjawabkan.49 Sejumlah SejarahNo 9/Th 2002, Masyarakat Sejarawan Indonesia. Lihat juga Saskia E. Wieringa, Penghancuran Organisasi Perempuan di Indonesia (ed.), Kalyanamitra dan Garba Budaya, Jakarta, 1999. 47 Kutipan ini ”konon” dimuat oleh berbagai media massa untuk mengutuk Gerakan G30S. Kutipan ini di kemudian hari jadi mahsyur lantaran banyak penulis mengutip ulang, termasuk penggambaran adegan dalam film ”Pengkhianatan G 30 S/PKI” yang disutradarai Arifin C. Noer. Secara detil. kutipan ini bisa dibaca kembali pada Soegiarso Soerojo, Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai, Penerbit Antar Kota, Jakarta, September 1989, hlm. 219 dan 228 (edisi buku saku). 48 Lihat: Berita Yudha, 5 Oktober 1965. Sebagai catatan, perlu saya kemukakan di sini, bahwa hingga kini tak semua orang bisa mengakses dokumen media massa pada kurun 1964- 1966. Untuk mengaksesnya perlu izin khusus dan persetujuan dari aparat intelijen. Saya sendiri tak tahu apa alasan dasar dari kebijakan yang ganjil bagi dunia akademis ini. 49 Secara jurnalistik berita tersebut bertentangan dengan prinsip cover both side, balancing of reporting dan dan prinsip dasar check and recheck. Narasumber berita tersebut hanya 254 kalangan menyatakan cerita tersebut lebih merupakan sebuah fiksi yang sengaja dihadirkan untuk memberi nuansa teror, sekaligus melegalisasi terror yang lebih kejam terhadap mereka yang dituduh bertanggungjawab atas pembunuhan para ”Pahlawan Revolusi”. Dalam hal ini, sejumlah kalangan mensinyalir, agen intelijen Amerika (CIA) terlibat. 50 Kampanye atas kekejaman itu bukan saja dibuat atas dasar kebohongan dan cerita rekaan semata, tapi memang sengaja dirancang untuk menyulut kemarahan umum terhadap kaum komunis dan sekaligus menyiapkan panggung pembunuhan besar-besaran dengan alasan ”dendam rakyat”.51 Gelombang pembunuhan massal yang ’konon” merupakan aksi balas dendam ada dua, yaitu pengakuan Gatut Sukrisno dan seorang perempuan bernama Jamilah. Keduanya berstatus ”tersangka”, yang sebelumnya mengalami proses interograsi hebat. Sama sekali tak ada nuansa jurnalisme investigative yang dilakukan para wartawan untuk melacak kembali kebenaran atas ”fakta” tersebut, kecuali sumber militer berdasar interograsi yang didahului dengan serangkaian penyiksaan. 50 Ada banyak bahan yang mengungkap keterlibatan intelijen AS dalam upaya penggulingan Soekarno. Di antaranya ditulis oleh para sejarawan terkemuka tentang Indonesia seperti George Turman Mc. Kahin dan Audrey Kahin (Subversion as Foreign Policy). Juga pengakuan mantan anggota CIA, B. Hugh Tovar, ”The Indonesian Crisis of 1965-1966: A Retrospective” dalam International Journal of Intelligence and Counter-Intelligence Volume 7 No 3, Fall 1994. Yang paling mutakhir, tentu saja adalah disertasi Greg Poulgrain yang menyimpulkan bahwa pemegang skenario utama penjatuhan Soekarno adalah pihak Inggris. Lihat Greg Poulgrain, The Genesis of Konfrontasi, Crawford House Publishing Pty Ltd, NSW, Australia, 1998. Namun, khusus menyangkut penyebaran fitnah terhadap PKI dan Gerwani bisa dilihat pada Peter Dale Scott, ”The United States and the Overthrow of Sukarno, 1965-1967”, tesis pada University of California, 1984. Perlu juga dibaca Geoffry Robinson, ”Some Arguments Concerning U.S. Influence and Complicity In the Indonesian ’Coup’ of October 1 1965”, (paper). Tentunya sama sekali tak boleh diabaikan adalah pengakuan A. Latief soal keterlibatan Soeharto dalam pledoinya pada 1975. Dalam hal ini perlu juga dibaca sejumlah tulisan Prof. Wim. F. Wertheim, di antaranya adalah ceramahnya di Amsterdam pada 23 September 199o yang kemudian diterbitkan sebagai suplemen Arah No 1 Tahun 1980 dengan judul ”Sejarah Tahun 65 Yang Tersembunyi”. 51 Peter Dale Scott, Op cit. Barangkali perlu juga ditelusuri sebuah studi penting tentang operasi CIA di Indonesia yang pernah dilakukan McCehee. Lihat juga Ralp McGehee, ”The CIA and the White Paper on Salvador” dalam The Nation, 11 April 1981. 255 ”rakyat” terhadap kelompok komunis yang terjadi pada 1965- 1967 sendiri sebetulnya lebih merupakan sebuah hasil manipulasi kebenaran. Sebab, faktanya operasi ini dilakukan oleh pasukan elit Angkatan Darat yang melakukan gelombang ”pergerakan” dari arah Jawa Barat ke Bali. Pasukan yang dipimpin langsung oleh Sarwo Edhi ini dalam melakukan operasinya dengan mengerahkan para pemuda setempat. Ada banyak kesaksian yang menceritakan bagaimana operasi pembersihan ini dilakukan secara brutal, tanpa mengindahkan hukum dan penghormatan hak asasi, dan lebih merupakan aksi balas dendam yang tak jelas juntrungannya.52 Fiksi soal kekejaman yang dijadikan fakta itu bertahan puluhan tahun lamanya dan dikutip berulang-ulang oleh para wartawan dan kalangan sejarawan.53 Fakta dan fiksi jelas dua hal yang berbeda. Fakta asli sebetulnya bisa diungkap melalui publikasi hasil otopsi tim medis terhadap jenasah enam jenderal dan seorang perwira yang dikubur di Lubang Buaya di kawasan Halim. Namun fakta ini sepertinya secara sengaja disembunyikan rapat-rapat. 52 Kesaksian atas peristiwa dahsyat ini bisa dilihat pada Clifford Geertz, After the Fact, Harvard University Press, 1995, atau Geoffry Robinson (1995), M.R. Siregar (1995), Robert Cribb (1990), Julie Southwood & Patrick Flanagan (1983), juga sebuah tulisan Soe Hok Gie yang menggunakan nama samaran Dewa. Lihat Dewa, ”Di Sekitar Peristiwa Pembunuhan Besar-Besaran di Bali”, Mahasiswa Indonesia, Edisi Minggu II dan III, Desember 1967. Lihat juga kesaksian salah satu anggota komisi pencari fakta, Oei Tjoe Tat dalam Pramoedya Ananta Toer & Stanley Adi Prasetyo (ed.), Memoar Oei Tjoe Tat, Pembantu Presiden Soekarno, Penerbit Hasta Mitra, Jakarta, 1995. Buku terakhir ini penting karena ada bagian yang bercerita bahwa tuntutan sebagaimana yang dikemudian hari dikenal sebagai Tritura telah dimulai pada Desember 1965, jauh sebelum 11 Maret 1966 dan lebih merupakan skenario yang didukung oleh Panca Tunggal, yaitu gabungan pemerintahan lokal yang kini lebih lazim disebut sebagai Musyawarah Pimpinan Daerah (Muspida). 53 Hanya harian Sinar Harapan pada 13 Desember 1965 yang menyangkal hal ini dan memuat hasil visum tim dokter secara lengkap, tapi tampaknya terjadi tekanan hingga setelah itu harian ini kembali memberitakan versi yang ”baik dan benar”. Soal tanggal di sini saya tak bisa merechecknya, karena tak memiliki akses terhadap dokumentasi media massa yang masih berstatus ”tertutup”. Andalan saya hanya keterangan dalam desertasi Sakia. Lihat: Saskia (1999). 256 Baru pada 1987, seorang Indolog dari Universitas Cornell, Ben Anderson, mengungkapnya dan menimbulkan kehebohan.54 Dari hasil visum tim dokter yang diketuai Brigjen TNI dr Roebiono Kertapati didapat keterangan bahwa cerita soal penyayatan kelamin oleh anggota Gerwani merupakan isapan jempol belaka. Kelamin semua jenasah utuh. Malah ada sebuah jenasah yang kelaminnya belum disunat. Diduga karena almarhum memang beragama Kristen. Tentang bola mata yang copot, hal itu disebabkan saat jenasah dimasukkan ke sumur posisinya adalah kepala terlebih dulu. Tim dokter yang memeriksa keadaan jenasah merasa ketakutan dengan adanya tekanan lewat pemberitaan tentang penyayatan penis para jendral yang sama sekali tak terbukti. Mereka mengaku menemui kesulitan dengan penyusunan laporan akhir otopsi, sebab berita yang dilansir media massa dan kemudian berkembang di masyarakat sudah terlanjur misleading.55 Dalam Kasus 27 Juli, semua media massa mengutip ucapan pejabat tinggi militer dan intelijen sebagai kebenaran. Tuduhan bahwa PRD adalah kelompok komunis yang militan, gerombolan setan gundul, dan kelompok pengacau keamanan dilansir berbagai media tanpa memberikan kesempatan pada PRD dan keluarga aktivis PRD untuk membela diri. Hebatnya, dalam situasi seperti ini beberapa media mengutip ucapan Kassospol ABRI, Letjen TNI Syarwan Hamid, yang mengatakan, ”Saya bisa tahu bahwa mereka itu komunis hanya dari mendengar cara mereka bernyanyi atau bersiul.”56 Media dan wartawan saat itu seperti bungkam saat 54 Lihat Ben Anderson, ”How Did the General Die” dalam Indonesia No 43, April 1987. Lihat juga fotokopi hasil lengkap hasil otopsi (visum et repertum) pada Lampiran IV buku M.R. Siregar, Tragedi Manusia dan Kemanusiaan, Penerbit Tapol (Edisi II), London, 1995. 55 Tentang detil proses otopsi dan ketakutan yang dialami tim dokter bisa dibaca pada pengakuan mantan anggota tim dokter, Prof. Dr. Arief Budianto (dh. Liem Joe Thay) dalam wawancaranya dengan majalah D&R. Lihat: ”Meluruskan Sejarah Penyiksaan Pahlawan Revolusi” dalam D&R, 3 Oktober 1998. 56 Lihat Terbit dan Republika, 1 Agustus 2000. 257 menerima ”pengarahan” dan kebohongan versi militer, meski di antara wartawan banyak yang jadi saksi bahwa pelaku penyerbuan Kantor DPP PDI adalah pasukan militer yang menyamar. Dari sisi jurnalistik, Indonesia adalah sebuah negeri desas-desus, tempat di mana batas antara kebenaran dan ketidakbenaran begitu tipis. Banyak orang membicarakan tentang praktek korupsi yang merajalela di hampir semua lini pemerintahan, tapi tak ada satu pun koruptor yang bisa ditemukan untuk kemudian dijatuhi hukuman. Tapi toh negeri ini berkali-kali dianugerahi ”kehormatan” sebagai negeri terkorup nomor satu di dunia. Begitu pula para konglomerat yang dituduh menggelapkan uang negara masih bebas berkeliaran, malah ada yang masuk dalam struktur pemerintahan baru. Sejumlah pengamat asing menyatakan bahwa praktek korupsi di kalangan pejabat telah berlangsung lebih dari tiga dasawarsa. Praktek ini telah dimulai pada jaman Orde Lama oleh kalangan pejabat militer dan menghebat di jaman Orde Baru pada awal 1970- an di mana Indonesia mengalami booming minyak. Seluruh proyekproyek pembangunan di-mark-up, bantuan dari negara asing dan lembaga donor asing mengalami kebocoran sampai sekitar 40%. Namun, sesuai dengan perkembangan iklim politik Orde baru yang kian represif, wartawan Indonesia selama puluhan tahun terlanjur tak terbiasa dengan pola penyelidikan (investigation). Wartawan Indonesia juga sama sekali tak mengenal provetic journalism sebagaimana diterapkan para wartawan di negara maju. Dalam meliput konflik elit politik, wartawan lebih banyak mengutip ucapan para tokoh elit politik. Tokoh elit seolah merupakan representasi dari rakyat Indonesia. Asumsi seperti ini membawa dampak terseretnya rakyat ke wilayah pertikaian elit. Sejumlah pengamat media menyatakan para wartawan di Indonesia lebih banyak mempraktekkan talking jurnalism, yaitu jurnalisme omongan yang lebih merupakan kutipan atas pernyataan 258 seorang tokoh atau pejabat dan counter pakar atas pernyataan tersebut, atau sebaliknya. Pola kerja dan liputan wartawan Indonesia yang hanya berdasarkan pada omongan ini membuat news paper diplesetkan sebagai views paper. Artinya, media lebih memberitakan tentang persepsi atau pikiran ketimbang menghadirkan kenyataan sosiologis. Sebuah berita direkonstruksi berdasar ucapan dan pikiran para narasumber. Sejak pengungkapan kasus korupsi Pertamina oleh harian Indonesia Raya pada 1974, praktis tak ada lagi berita semacam itu.57 Semua media tunduk di bawah kontrol pemerintah. Dalam ini Kopkamtib melalui Departemen Penerangan dan Kejaksaan Agung menjadi semacam lembaga pembina utama pers di Indonesia. Bersamaan dengan hal ini pada awal 1980-an muncul wacana tentang perlunya pers di Indonesia menganut sistem pers Pancasila, yakni sistem pers yang tidak menganut model libertarian dan juga bukan otoritarian tapi lebih mendekati model pers yang ”bebas tapi bertanggung jawab”. Namun apabila diteliti lebih lanjut sesungguhnya apa yang dinamakan sebagai pers Pancasila itu tak lain adalah pers yang mentolelir adanya sensor dan kontrol dari pemerintah (lihat Tabel 3 berikut). Di bidang media pertelevisian juga muncul fenomena baru di mana penguasa Orde Baru sepertinya membuka ruang kebebasan baru, namun sesungguhnya sama sekali tidak. Pada November 1988, Presiden Soeharto memberikan kesempatan kepada putraputrinya untuk bekerja sama dengan sejumlah pengusaha yang loyal dan dipercayainya untuk mengelola siaran percobaan TV swasta. Tak seberapa lama stasiun swasta pertama di Indonesia, Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI), muncul. Stasiun TV ini 57 Tentang koran perjuangan Indonesia Raya di bawah pimpinan Mochtar Lubis yang akhirnya dibredel setelah pemberitaan mengenai Peristiwa Malari 1974 bisa dibaca pada Ignatius Haryanto, Pembredelan Pers di Indonesia: Kasus Koran Indonesia Raya, LSPP, Jakarta, 1996. 259 Tanggung- Otoritarian Libertarian jawab Sosial Soviet-Totalitarian Pers Pancasila Berkem-bang Muncul Dari Di Inggris pada Abad XVI dan XVII, dipraktekan secara luas di dunia dan masih dipraktekan di beberapa tempat saat ini Filsafat kekuasaan monarkhi absolut, kekuasaan pemerintahan absolut, atau kedua-duanya Di Inggris, setelah 1688 dan kemudian di AS dan di berbagai tempat lain di dunia, terutama berkembang di Eropa Barat Sejumlah ide tulisan Milton, Locke, Mill dan filsafat umum tentang rasionalisme dan hak asasi manusia Di AS pada Abad XX Tulisan WE Hocking, Komisi Kebebasan Pers, para pelaksana media dan kode etik Di Uni Soviet hingga sebelum keruntuhannya. Di Jerman pada jaman Nazi dan di Italia pada jaman fasisme Mussolini Pemikiran Marxis- L e n i n i s - S t a l i n i s dengan campuran pikiran Hegel dan pandangan yang mendominasi Rusia pada Abad XIX Di Indonesia sejak pasca Malari 1974, di mana. Dipraktekkan secara masif sejak jaman Menpen Ali Murtopo dan diteruskan secara lebih canggih oleh Harmoko Chauvinisme bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang unik, yang tidak ini dan tidak itu serta mempunyai Pancasila sebagai pegangan hidup rakyatnya. Sejak 1978 dite-tapkan kebijakan untuk setia P-4 yang disebut “Eka Prase-tya Pancakarsa”. Dibentuklah BP-4 dan BP-7 dan laboratorium Pancasila di IKIP Malang (bandingkan dengan “Manipol Usdek” dan “Jubir Usman” pada jaman Orla.. Tabel 3. Lima Paradigma Pers di ”Dunia”58 58 Di sini kata ”dunia” sengaja diberi tanda kutip, sebab Pers Pancasila itu adalah sebuah model yang mengada-ada (tepatnya: diadaadakan). Dalam teori pers hanya dikenal 4 model saja. ”Pers Pancasila” yang sebetulnya lebih mirip gabungan antara pers otoritarian dan pers Soviet-totalitarian. Kalau pun ada yang membedakan pers Pancasila dengan keduanya adalah cara pengendaliannya yang unik dan keberhasilannya untuk menjinakkan pers hingga muncul berbagai macam istilah mulai ”pers tiarap”, ”pers kepiting”, 260 Tujuan Utama Yang Berhak Menggunakan Media Pengawasan Media Mendukung dan memajukan kebijakan pemerintah yang berkuasa dan mengabdi pada negara Siapa saja yang punya lisensi dari kerajaan atau ijin lain yang mengancam itu Melalui ijin-ijin pemerintah, serikat kerja, dan Memberi informasi, menghibur dan berjualan. Tetapi terutama untuk membantu menemukan kebenaran dan mengawasi pemerintaH Siapa saja yang punya kemampuan ekonomi untuk menggunakannya Dengan “proses pelurusan sendiri untuk mendapat-kan kebenaran” dalam “pasar ide yang bebas”, serta melalui Memberi informasi, menghibur dan berjualan, tapi terutama untuk mengangkat konflik sampai tingkatan diskusi Siapa saja yang ingin mengatakan sesuatu Melalui pen-dapat masya-rakat, tindakan (gugatan) kon-sumen, etika profesionalisme Memberi sumbangan bagi keberhasilan dan kelanjutan sistem sosialis Soviet dan terutama bagi kediktatoran partai Anggota partai yang loyak dan ortodoks Pengawasan dan tindakan politik atau ekonomi oleh pemerintah Mendukung dan memperkuat politik pemerintah dengan meniadakan oposisi. Ideologi yang ditekankan adalah pembangunan dan stabilisasi. Ruang yang tersisa merupakan ruang hiburan. Lembaga representasi negara atau swasta yang telah dikontrol dan teruji loyalitasnya. Pers diminta menandatangani ikrar kesediaan untuk dibina pemerintah (Deppen) Pengawasan melalui keten-tuan SIT (kemudian SIUPP) dan STT, imbauan/ tegur-an/panggilan terhadap redak-si, teror dan penangkapan wartawan, penutupan perusahaan, pengendalian organisasi wartawan. Dalam paradigma Gramscian, pemerintah mengembangkan apa yang disebut sebagai “kekuasaan hegemonis”. ”pers pembajakan” dan lain-lain. Kita bisa melihat bagaimana UU No 4 Tahun 1967 Tentang Penambahan Undang-Undang No 11 Tahun 1966 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers tak lebih merupakan proses adaptasi dari UU Pokok Pers Orde Lama yang ciri-cirinya irip dengan Pers Otoritarian. UU No 21 Tahun 1982 bahkan hanya mengubah sejumlah istilah penting Orde Lama yang dikemudian hari diadaptasi dan dijadikan jargon dan kata kunci utama Orde Baru yang lebih terkesan halus, permifis, hati-hati serta 261 Hal Yang Dilarang Kepemilikan Perbedaan Utama Dengan Teori Lainnya Kritik terhadap mekanisme politik dan para pejabat yang berkuasa Swasta perorangan atau umum Media massa dianggap sebagai alat untuk melaksanakan kebijakan pemerintah, walaupun tidak harus dimiliki oleh pemerintah Penghinaan, ke-cabulan, keren-dahan moral dan pengkhianatan pada masa perang Swasta perorangan Media massa adalah alat untuk mengawasi pemerintah dan memmenuhi berbagai kebutuhan masyarakat lainnya Invasi serius terhadap hak perorangan yang dilindungi dan terhadap kepentingan vital masyarakat Perorangan, ke-cuali jika peme-rintah harus mengambil-alih demi kelangsungan pelayanan terhadap masyarakat Media harus menerima tanggungjawabnya terhadap masyarakat; dan kalau tidak, harus ada pihak (orang) yang mengusahakan agar media mau menerimanya Kritik-kritik terhadap tujuan partai yang dibedakan dari taktik-taktik pertai Kelompok masyarakat Mediamassa adalah milik negara sepenuhnya dan media yang dikontrol sangat ketat sematamata dianggap sebagai kepanjangan tangan negara Pemberitaan tentang first family (keluarga Cendana), perpecahan elit, praktek KKN, masalah SARA, isu sakitnya kepala negara, skandal pejabat tinggi dsb Perusahaan organ negara dan swasta loyalis negara, atau kelompok swasta yang kehilangan daya kritisnya Korporatisme negara sangat dominan kepada setiap komponen pers. Mulai dari pembentukan wadah tunggal organisasi wartawan, SPS hingga pengelompokan wartawan dalam segmentasi departeman pemerintah. Unsur pemerintah (dalam hal ini diwakili perorangan kroni penguasa) menguasai saham kepemilikan media dan ikut mendikte isi redaksional terlihat seolah-olah lebih berpihak pada kepentingan masyarakat. Lebih detil pembahasan mengenai pers otoritarian, libertarian, tanggung jawab sosial dan Soviet-totalitarian lihat: Fred Ss. Siebert, Theodore Peterson dan Wilbur Schramm, Empat Teori Pers, Penerbit PT Intermasa, Jakarta 1986. 262 dimiliki Bambang Trihatmojo, anak ke-3 Soeharto dari kelompok bisnis Bimantara. Pada 1989 menyusul lahir Surya Citra Televisi (SCTV) yang sahamnya 80% dimiliki pengusaha Henri Pribadi yang dekat dengan Soeharto dan 20% dipegang oleh saudara Soeharto, Sudwikatmono. Berangkat sebagai pay TV di mana pemirsa harus berlangganan dekoder untuk bisa menonton, pada Agustus 1990 RCTI memproklamirkan diri sebagai free TV. Tak seberapa lama kemudian giliran anak tertua Soeharto, Siti Hardiyanti Rukmana (Mbak Tutut), memutuskan untuk memproklamirkan berdirinya Televisi Pendidikan Indonesia (TPI). Cara TPI bersiaran merupakan caracara yang paling kasar di mana seluruh sistem transmisi TPI menggunakan apa yang dimiliki TVRI. Semula TPI hanya melakukan siaran pagi sekitar 4,5 jam di mana pada jam-jam tersebut TVRI tak ada program siaran. Namun kemudian TPI meningkatkan waktu siarannya menjadi 8 jam per hari. Meski mengusung nama sebagai televisi pendidikan pada kenyataannya siaran TPI saat itu hanya bermuatan pendidikan sebanyak 38% saja. Dua stasiun TV swasta lain tak lama kemudian ikut menyusul. Pada 1993 Anteve memulai siaran perdananya dan pada 1995 Indosiar menyusul. Sebagaian besar saham Anteve (Cakrawala Andalas Televisi) dimiliki oleh Bakrie Group yang memiliki kedekatan dengan istana dan sebagian lagi dimiliki oleh Agung Laksono yang merupakan kader Golkar. Siaran Anteve semula dibatasi hanya boleh menjangkau kawasan Sumatra Selatan sebagaimana ijinnya, namun pada kenyataannya Anteve bersiaran dari Jakarta dan bisa ditangkap ke mana-mana. Sedangkan Indosiar, sebagian besar sahamnya dimiliki oleh Salim Grup yang merupakan pengusaha paling dekat dengan Soeharto. Para pengusaha, termasuk anak-anak Soeharto, yang memiliki stasiun TV swasta tersebut menolak semua upaya Deppen untuk membatasi jangkauan siaran. Ketegangan memuncak pada 1996- 263 1997 ketika DPR menyelesaikan RUU Penyiaran yang pertama. Presiden Soeharto menolak menandatangi RUU tersebut dan mengembalikannya ke DPR guna direvisi. Beberapa media yang di mata penguasa dianggap mencoba menimbulkan ”huru-hara” dengan mengungkap hal-hal yang menjadi aib kekuasaan seperti kasus korupsi, skandal politik, aib keluarga Cendana dan kekejaman tentara mendapat tindakan tegas.59 Mulai dari dari pemanggilan dan intimidasi pemimpin redaksi hingga pembredelan media.60 Sejak awal 1990 sudah menjadi kelaziman bahwa setiap instansi militer bisa mengeluarkan imbauan baik melalui faksimili, pesan pager maupun telepon ke kantor redaksi yang berisi permintaan agar media tak memberitakan halhal tertentu yang dianggap akan bisa merugikan instansi militer, negara, mempermalukan keluarga Cendana, atau bermuatan konflik SARA. Secara prinsip pemerintah Orde Baru menjalankan lima model kontrol terhadap pers. Pertama adalah kontrol untuk memasuki sektor industri media bagi para pelaku bisnis. Antara lain melalui 59 Surat izin terbit majalah Tempo pada 12 April 1982 dicabut oleh Sukarno SH lantaran pemberitaan mengenai Peristiwa Lapangan Banteng. Namun berkat hasil pengarahan Dewan Pers yang mengeluarkan semacam kesepakatan dengan pimpinan majalah Tempo berisi kesediaan untuk ikut menjaga stabilitas nasional dan mengutamakan kepentingan negara di atas kepentingan Tempo, SIT kembali dicairkan. Saat Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) majalah Tempo dibatalkan pada 21 Juni 1994 gara-gara skandal mark-up pembelian kapal perang eks Jerman Timur, Menteri Penerangan Harmoko membuka sejumlah daftar dosa majalah Tempo. Antara lain disebutkan bahwa majalah Tempo sejak Agustus 1980 tercatat telah muncul 40 jenis pelanggaran terdiri atas 39 pelanggaran pemberitaan yang berkaitan dengan Polkam dan 1 pemberitaan berkaiatan dengan SARA. Hal ini mencerminkan bahwa Deppen sesungguhnya merupakan lembaga kontrol politik negara terhadap media dan pemberitaan. Lihat Fajar Nursahid, ”Konflik Negara dengan Pers di Indonesia”, Skripsi S-I pada Fisip Universitas Diponegoro, 1998. 60 Salah satu media yang pernah mengalami represi dan ancaman langsung dari Mabes ABRI Cilangkap adalah Majalah Jakarta-jakarta saat menurunkan investigasi mengenai korban kekerasan Peristiwa Santa Cruz yang terjadi pada 12 November 1991. Saat itu pimpinan 264 penciptaan penghalang politik bagi yang ingin turut mengambil bagian. Selain hambatan ekonomi yang alamiah dari pasar dan berbagai ketentuan finansial, penguasa Orde Baru juga menciptakan ketentuan politik bagi mereka yang ingin menjadi pemain pasar dalam industri media antara lain dengan kebijakan pemberlakuan SIUPP secara selektif berdasar kriteria politik tertentu. Kedua adalah kontrol terhadap individu dan kelompok pelaku profesional (wartawan), melalui mekanisme seleksi dan ketentuan (antara lain keharusan menjadi anggota PWI).61 Juga kontrol penunjukkan individu-individu untuk menduduki jabatan tertentu dalam media milik pemerintah. Ketiga adalah kontrol terhadap isi serta isu pemberitaan melalui berbagai mekanisme. Keempat, kontrol terhadap sumber daya antara lain berupa monopoli kertas oleh pihak yang memiliki kedekatan dengan penguasa (antara lain Bob Hasan dengan Aspex Papers-nya). Kelima, kontrol terhadap akses ke pers berupa pencekalan tokoh-tokoh oposan tertentu agar tidak tampil dalam pemberitaan pers.62 Kelompok Kompas-Gramedia, Yakob Oetama bahkan menewarkan pengembalian SIUPP majalah Jakarta-jakarta kepada Menpen Harmoko. Namun Harmoko menolak dan ”hanya” meminta agar tiga redaktur yang dianggap bertanggungjawab atas penurunan berita tersebut dicopot dari pekerjaannya. Secara detil lihat Seno Gumira Ajidarma, ”Jakartajakarta & Insiden Dili” dalam Seno Gumira Ajidarma, Bila Pers Dibungkam Sastra Harus Bicara, Bentang,Yogyakarta, 1998, hlm. 48-94. 61 Ketika pada 1988 terjadi benturan kepentingan antara kelompok Sudharmono dengan Benny Murdani, terjadi viktimisasi yang luas di kalangan pegawai negeri dan politikus lokal yang kemudian merembet ke media massa. Dilaporkan terjadi aksi pembersihan terhadap orang-orang yang berindikasikan tidak bersih lingkungan antara April sampai Agustus 1988. Dalam kurun ini ada 37 staf Deppen dinyatakan memiliki indikasi terlibat G30S/PKI dan 14 lainnya dinyatakan tak bersih lingkungan. Lihat: Kompas 27/9/1988. Bahkan majalah Tempo edisi 12/11/1988 melaporkan adanya perluasan screening yang kemudian memunculkan kepanikan sosial. Lihat Ariel Heryanto, State Terrorism and Political Identity in Indonesia: Fatally Belonging, Roudledge, New York, 2006, hlm. 57. 62 Lihat Dedy N. Hidayat, ”Politik Media, Politik Bahasa Dalam Proses Legitimasi dan Mendeligitimasi Rejim Orde Baru” dalam Sandra Kartika dan M. Mahendra, Op cit., hlm. 44-45. 265 Kontrol Penerbitan dan Peredaran Buku Penerbitan buku dan perkembangan dunia ilmiah adalah hal yang saling berkaitan. Buku adalah masa depan. Pada bukulah seharusnya orang menuliskan pengalaman, angan-angan dan pengetahuannya. Apa pun itu. Pada bukulah generasi masa depan seharusnya menemukan catatan-catatan tentang kehidupan dan tingkah-polah makhluk yang pernah hidup sebelum mereka.63 Pemerintah Orde Baru, barangkali bisa disebut sebagai pemegang rekor dalam soal pelarangan buku. Selama hampir 31 tahun, Orde Baru telah melarang lebih dari 2.000 judul buku.64 Pelarangan pertama dimulai Orde Baru tak lama setelah pecah Peristiwa G30S, yaitu pada 30 November 1965. Saat itu Pembantu Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan Bidang Teknis Pendidikan, Drs. K. Setiadi Kartohadikusumo, melarang 70 judul buku. Pelarangan ini kemudian disusul dengan pelarangan ”membabi buta” terhadap semua karya dari 87 pengarang yang dituduh sebagai bagian kelompok kiri yang harus dilibas habis dari bumi Indonesia yang bersendikan Pancasila. Kebijakan ini tampaknya terus berlangsung hingga kini, yaitu melarang buku bukan karena isinya tapi lebih dikarenakan ”noda politik” si penulis, si editor dan sang penerbit. Suatu hal yang sama sekali tak ada hubungannya dengan isi buku. Yang menarik, pelarangan semua karya 87 pengarang yang ditandatangani tokoh yang sama pada 6 Desember 1965 tersebut 63 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan sejak jaman Fuad Hassan selalu mengritik lambatnya upaya penerbitan buku di Indonesia. Beberapa Mendikbud mengritik, Indonesia kalah jauh dibandingkan dengan India (yang secara GNP berbeda jauh), baik secara kuantitas maupun kualitas menerbitkan buku. Lihat: Stanley, ”Orde Baru 31 Tahun, 2000 Judul Buku Dibredel”, Opini Tempo Interaktif, Edisi 29/01 – 14/Sep/1996. 64 Ibid. Lihat juga Human Rights Watch, Academic Freedom in Indonesia; Dismantling Soeharto- Era Barriers, Human Rights Watch Report, Agustus 1988. 266 bukan merupakan suatu keputusan yang berdiri sendiri, tapi merupakan suatu lampiran dari keputusan yang dikeluarkan sebelumnya, yaitu Keputusan No. 1381/1965. Dalam lampiran itu juga disertakan nama 21 pengarang yang buku-bukunya harus dimusnahkan dari seluruh ruang perpustakaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Tak ada catatan yang pasti, berapa judul yang dimusnahkan pada periode 1 Oktober hingga 6 Desember 1965 setelah meletusnya Peristiwa G30S. Karena semua dokumentasi buku telah musnah. Sebagian besar dibakar habis. Baik oleh penguasa, maupun oleh pemiliknya sendiri yang ketakutan ketahuan memiliki atau menyimpannya. Tapi diperkirakan lebih dari 500 judul buku telah ”dinyatakan” sebagai terlarang. Baik secara langsung, maupun dengan ”hanya” menyebutkan nama sang pengarang saja. Pada 28 Desember 1978, Menteri Perdagangan dan Koperasi Radius Prawiro mengeluarkan Surat keputusan Menteri No. 286/KP/ XII/78 yang berisi tentang larangan mengimpor, memperdagangkan dan mengedarkan segala barang cetakan dengan aksara Cina. Alasannya, untuk kepentingan pembinaan dan pengembangan kebudayaan Indonesia demi kesatuan dan persatuan bangsa serta peningkatan pembinaan kesatuan bahasa nasional. Keputusan itu kemudian diperkuat dengan dikeluarkannya pengaturan teknis melalui Keputusan Dirjen Perdagangan Luar Negeri No. 01/ DAGLU/KP/III/1979. Jumlah buku terlarang kian membengkak setelah tak lama kemudian, pada Maret 1967, pemerintah Orde Baru mengeluarkan sebuah kebijakan yang merupakan tindak lanjut upaya penumpasan semua pengaruh G30S, khususnya di bidang mental ideologis. Saat itu, Tim Pelaksana/Pengawasan Larangan Ajaran Komunisme/ Marxisme-Leninisme dan Marxisme-MaoTseTungisme mengeluarkan sederetan daftar buku dan majalah dalam dan luar negeri. Daftar tersebut melibatkan ratusan buku yang terlarang untuk 267 disimpan, diedarkan dan diperdagangkan di wilayah hukum DKI Jaya. Total yang masuk dalam daftar berjumlah 174 judul. Karya sastra hanya berjumlah 13 judul, termasuk di antaranya beberapa karya Pramoedya Ananta Toer dan Utuy Tatang Sontani. Rekor ini secara perlahan, tapi pasti, terus menanjak. Baru pada dekade 1980- an grafik menunjuk kurva yang agak mendatar, yaitu rata-rata ada 14 buku yang dilarang per tahun. Rekor 1980-an hanya disamai oleh tahun 1986. Pada tahun itu ada 26 buku dinyatakan terlarang. Buku apa yang dilarang? Ada kesan semua buku bisa dilarang. Maklum, dari judul-judul buku yang dilarang, bisa ditarik gambaran bahwa isi, sifat dan topik buku yang dilarang begitu luas. Sedangkan dari sudut alasan dan tuduhan yang digunakan sangat plastis dan lentur sehingga semua hal bisa dikenai tuduhan yang sama. Mulai dari buku pendidikan seks yang diedit seorang tokoh pendidik, karya ilmiah, roman sejarah, novel imajinasi liar maupun buku ”kuning”, semuanya kena. Jadi bukan hanya bukubuku seks, macam majalah semacam Hustler atau Penthouse atau karya kacangan novel Nick Carter atau sastra seks jalanan stensilan terkenal macam karya Valentino, Any Arrow dan Anjar Any yang bisa ditemukan di sudut-sudut jalan dan terminal bus pada akhir 1970-an hingga 1990-an. Tapi juga buku yang sebetulnya masuk dalam kategori ”seni fotografi” macam buku Madame Syuga yang memuat gambar-gambar ”indah” janda almarhun Sukarno, Ratna Sari Dewi. Dan yang cukup mencengangkan, bila dilihat dari ragam ”benda” yang dilarang ternyata bukan hanya buku tapi juga kliping, majalah, koran, buletin, jurnal, almanak, kaset rekaman dan bahkan selebaran gelap serta pamflet. Dalam dekade 80-an, yang paling banyak dilarang adalah buku dan kaset yang berbau ajaran keagamaan.65 65 Barangkali kurun ini bisa dicermati lebih lanjut dengan adanya tekanan terhadap kelompok agama tertentu dan pemaksaan diterimanya asas tunggal oleh pemerintah. 268 Beberapa karya akademis yang bisa disebutkan di sini antara lain adalah buku sejarah. Agaknya sejarah merupakan wilayah yang rawan untuk selalu dibatasi, meski itu berada dalam ruang akademis. Antara lain Di Bawah Lentera Merah yang merupakan skripsi sarjana muda Soe Hok Gie pada Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Indonesia. Juga buku tentang Tan Malaka yang merupakan disertasi doktor ahli sejarah Harry Poeze yang kini menjabat sebagai Direktur KITLV di Belanda, Militer dan Politik di Indonesia karya Harold Crouch, Kapitalisme Semu karya Yoshihara Kunio, Sang Pemula karya Pramoedya Ananta Toer, Teologi Pembebasan, Sejarah, Metode, Praksis dan Isinya yang merupakan skripsi Frater Wahono Nitiprawiro, Amir Sjarifoeddin Pergumulan Imannya dalam Perjuangan Kemerdekaan yang merupakan tesis Frederick Djara Wellem, serta Indonesia the Rise of Capital karya Richard Robison yang masih belum diterbitkan dalam edisi Indonesia. Juga buku yang sebetulnya merupakan dokumentasi karya beberapa sastrawan lama macam Tempo Doeloe ikut terkena getahnya, hanya karena ia dihimpun oleh Pramoedya Ananta Toer dan diterbitkan oleh PT Hasta Mitra. Alasan pelarangan itu nyaris seragam, yakni merupakan tulisan yang menyesatkan, memutarbalikkan sejarah, merendahkan pemerintah Orde Baru dan pimpinan nasional. Tapi suatu proses peradilan yang bersifat akademis tak pernah digelar. Demikian juga para guru besar atau dosen pembimbing dan pejabat kampus tak ada satu pun yang memberikan reaksi. Ketika karya Pulau Buru Pramoedya Ananta Toer Bumi Manusia diedarkan untuk pertama kalinya pada 2 Agustus 1980, Kadit Polkam Kejaksaan Agung langsung mengontak penerbitnya, PT Hasta Mitra dan meminta agar buku tersebut distop peredarannya sambil menunggu clearance dari pihak Kejaksaan Agung. Namun karena tak ada berita lebih lanjut, pada 25 Agustus Hasta Mitra kembali mengedarkannya. Muncul sambuat positif dari kalangan 269 pers dan masyarakat, termasuk harian Angkatan Bersenjata yang memuat sejumlah ulasan tentang novel tersebut. Namun hal itu tak berlangsung lama, karena sejumlah media mendapat imbauan untuk tak mengulas karya Pram tersebut. Dalam rapat panitia kerja tetap (Panjatap) di lingkungan Menko Polkam pada 9 September 1980, Menko Polkam menyampaikan bahwa aparat keamanan menilai isi buku Pram tersebut mengandung ”pertentangan kelas”. Rapat juga mengimbau agar Departemen Pendidikan dan kebudayaan segera melarang peredaran buku tersebut di wilayah kerjanya. Tak lama kemudian, Kejaksaan Agung mencekal buku tersebut pada bulan Mei 1981 melalui SK No. Kep-052/JA/5/1981. Penerbit dan editor buku Bumi Manusia mendapat panggilan dari kejaksaan Agung dan menjalani proses interograsi.66 Departemen Pertahanan dan Keamanan (Dephankam) mengomentari buku Bumi Manusia dengan keras. Pramoedya dinilai masih belum menunjukkan kemauannya untuk melepaskan ideologi komunisnya, bahkan berusaha untuk menonjolkan diri sebagai tokoh melalui karya tulisnya. Selain itu, Dephankam menilai bahwa masih terdapat kelompok penyanjung buku Bumi Manusia secara berlebih-lebihan dengan tujuan komersial agar masyarakat mau membeli buku tersebut dengan harga tinggi tanpa memikirkan ekses gangguan keamanan dan ketertiban yang dapat ditimbulkannya. Karena itu Dephankam menganjurkan agar masyarakat tetap waspada akan ancaman komunis yang tetap merupakan bahaya laten, yang penetrasinya kembali dapat melewati cara-cara dalam berbagai bentuk antara lain lewat kebudayaan dan kesusastraan.67 66 Jaringan Kerja Budaya, Menentang peradaban: Pelarangan Buku di Indonesia, Elsam, Jakarta, 1999, hlm. 112-113. 67 Lihat Tinjauan Teritorial edisi September 1980. Buletin terbatas ini adalah terbitan Dephankam. 270 Nama penerbit buku yang buku-bukunya paling banyak dilarang, berdasar nisbah antara jumlah dan frekuensi buku terbitan, tak ayal lagi dipegang oleh PT Hasta Mitra di Jakarta yang menerbitkan karya-karya Pramoedya. Disusul oleh penerbit UD Mayasari di Solo. Semasa hidupnya, pemilik UD Mayasari, P. Bambang Siswoyo merupakan penulis sekaligus penerbit yang bukunya paling banyak dilarang.68 Rekornya belum terpecahkan hingga kini. Sejak awal 1980, pemerintah tak lagi menggunakan palu godam instansi macam Kementerian P&K atau Kopkamtib, tapi Kejaksaan Agung. Sebab ketentuan hukum memang memberikan kewenangan tunggal pada petugas Kejaksaan Agung untuk mengetik dan mengeluarkan surat pelarangan buku. ”Peradaban hukum” tampaknya bergerak maju, tapi pelarangan buku terus terjadi. Dalam proses ini aparat intelijen ikut berperan. Pada 2 Maret 1989 Kejaksaan Agung RI mengeluarkan sebuah edaran yang mewajibkan setiap penerbit dan percetakan untuk mengirimkan sebuah barang yang diproduksinya. Tapi tampaknya banyak penerbit dan percetakan enggan memenuhi permintaan itu. Maka pada 20 Oktober 1989, Jaksa Agung Sukarton Marmosudjono SH membentuk sebuah clearing house. Tim clearing house beranggotakan sembilan orang. Mereka terdiri dari wakil Kejaksaan Agung dari Bidang Intelijen dan Pengawasan Mediamassa, Bakorstranas, Bakin, Badan Intelijen ABRI, Departemen Penerangan, P&K serta Departemen Agama. Untuk mencegah buku-buku ”rawan” beredar, secara rutin tim itu mengadakan rapat. Kecuali ada hal yang mendesak untuk dirapatkan. Bila tak ada rapat, anggota tim bertugas meneliti dan 68 Penulis buku yang mantan wartawan ini meninggal dunia di Solo pada 1992. Buku-buku yang diterbitkannya sendiri itu sebagian besar adalah analisis berita atau kumpulan kliping koran dari berita-berita yang sebelumnya sudah pernah dipublikasikan oleh media massa. 271 menilai semua barang yang tergolong barang cetakan. Antara lain buku, buletin, brosur, poster, pamflet dan surat-surat yang diumumkan. Hasil penelitian mereka jadi masukan bagi Jaksa Agung untuk melarang bahan-bahan yang berkategori ”bisa mengganggu ketertiban umum”. Menurut ketentuan, Jaksa Agung sebelum melarang harus membaca ulang semua bahan tersebut. Bagaimana etos kerja tim clearing house? Sangat lambat. Contohnya adalah buku ”pelajaran” seks berjudul Pesona Seks Wanita karya Dale Carnegie yang beredar sejak 1970 ternyata baru dilarang Kejaksaan Agung sekitar 20 tahun kemudian. Budaya baca dan memburu buku agaknya tak ada di kalangan anggota tim. Hal ini diakui Kahumas Kejaksaan Agung dalam wawancara dengan sebuah media.69 Batas ketentuan ”mengganggu ketertiban umum” pun nyaris tak berbatas. Yaitu, semua hal yang bertentangan dengan konstitusi, hukum dan norma-norma yang hidup dalam masyarakat, yang dapat mengakibatkan terganggunya kehidupan ideologi, politik, ekonomi, sosial dan budaya hankam. Rincian yang ada hanya menjelaskan, yakni : bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945; yang mengandung dan menyebarkan ajaran atau faham Marxisme/Leninisme-Komunisme yang dilarang oleh Tap MPR No. XXV/MPRS/1966; merusak kesatuan dan persatuan masyarakat, bangsa dan negara RI; merusak kepercayaan masyarakat terhadap kepemimpinan nasional; tulisan atau gambar yang merusak akhlak dan memajukan percabulan/pornografi; memberikan kesan anti- Tuhan, antiagama dan penghinaan terhadap salah satu agama yang diakui di Indonesia; yang merugikan dan merusak pelaksanaan pembangunan yang tengah dilaksanakan dan hasil-hasilnya yang 69 Lihat majalah laporan utama majalah Jakarta-jakarta tentang pelarangan buku. Jakartajakarta, edisi 21-27 September 1991. 272 telah dicapai, menimbulkan pertentangan suku, agama, ras dan antar golongan (SARA); bertentangan dengan GBHN. Namun bukan hanya itu, karena Kejaksaan Agung masih memasukkan poin ”dan lain-lain” dalam rincian ketentuan tersebut. Artinya, Kejaksaan Agung membuat sebuah ketentuan yang memungkinkan dirinya memasuki semua wilayah secara tak terbatas yang bisa dipakai melarang terbitan apa saja. Setiap kali mengeluarkan larangan, pihak Kejaksaan Agung selalu mencantumkan sejumlah ”pasal-pasal karet” dalam poin ”mengingat”. Pasal-pasal itu antara lain tercantum dalam Undang Undang Anti-Subversi yang lebih dikenal sebagai UU Nomor 4 PNPS/1963, suatu undang-undang yang keberadaannya dalam Orde Baru sangat kontroversial. Pasal-pasal yang bisa dipakai melarang buku juga ada di sejumlah undang-undang dan keputusan Presiden, misalnya UU Nomor 5 tahun 1991 atau Keppres Nomor 55 tahun yang sama. Para pengedar buku terlarang pun bisa diancam dengan UU Subversi, seperti yang pernah dialami tiga aktivis kelompok studi di Yogyakarta (1989) yang ditangkap dan disiksa setelah mengedarkan karya Pramoedya Ananta Toer. Artinya, setelah buku yang dilarang dimasukkan dalam domain subversif, orang yang mengedarkannya bisa dianggap sebagai berupaya menggoyah sendi-sendi negara kesatuan RI. Padahal, dalam dalam rapat Polkam, para petinggi negara selalu melaporkan situasi keamanan dan politik dalam ”keadaan aman, tertib, mantap dan terkendali”.70 70 Soal penangkapan, teror dan penyiksaan yang dialami tiga aktivis kelompok studi di Yogyakarta yang dituduh sebagai pengikut komunis ini bisa dibaca pada Ariel Heryanto, Op cit., hlm. 62-105. 273 Kontrol Terhadap Dunia Akademis Pemberlakuan NKK BKK pasca gelombang protes mahasiswa pada 1988, mengakhiri kampus sebagai pusat gerakan mahasiswa. Dewan Mahasiswa dibubarkan dan diganti dengan Badan Koordinasi Kemahasiswaan dengan menjadikan Pembantu Rektor III (urusan kemahasiswaan) menjadi pembina lembaga baru para wakil mahasiswa ini. Mahasiswa dilarang melakukan aksi demonstrasi dan sebagai gantinya dianjurkan untuk melakukan kegiatan-kegiatan penelitian. Meski di sejumlah kampus kotakota besar di Jawa masih muncul perlawanan mahasiswa, namun penguasa Orde baru akhirnya berhasil ”menormalkan” kampus. Konsep NKK BKK ini kemudian diperkuat oleh Nugroho Notosusanto melalui penerapan konsep ”Wawasan Almamater” pada 1980 saat ia dipilih menjadi rektor Universitas Indonesia.71 Dengan demikian kampus menjadi wilayah yang benar-benar steril dan tak boleh dimasuki oleh sejumlah tokoh yang dikenal vokal. Pada tahun 1980-an ada sejumlah orang yang namanya masuk dalam daftar hitam dan dilarang untuk diundang berbicara di kampus. Mereka antara lain adalah Pramoedya Ananta Toer, WS Rendra, Emha Ainun Najib, Abdul Hakim Garuda Nusantara, Adnan Buyung Nasution, Roekmini K. Astoeti, Arief Budiman, Arbi Sanit, dan George Junus Aditjondro.72 71 Penerapan konsep ini mengakibatkan sejumlah tokoh dilarang memasuki kampus. Hal ini guna menghindari provokasi orang luar terhadap mahasiswa. Dalam bahasa Nugroho dikatakan bahwa kampus adalah ”menara api’ yang harus menerangi dan menunjukkan jalan kepada masyarakat sekitarnya seperti halnya sebuah mercu suar. Campur tangan dari pihak luar ke kampus oleh Nugroho diibaratkan menjadikan kampus sebagai sebuah ”menara air” yang krannya bisa dibuka dan ditutup atau dikendalikan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab. 72 Daftar hitam ini dibuat oleh pihak intelijen dan diberikan kepada pimpinan setiap kampus. Lihat Human Rights Watch, Op cit., Bab X. 274 Berbagai terbitan mahasiswa di kampus yang tadinya dikenal garang juga dinyatakan dilarang.73 Sebagai gantinya pihak pimpinan universitas menerbitkan media yang langsung dikontrol oleh rektor. Semua penerbitan harus mengajukan permohonan surat tanda terdaftar (STT) di Departemen Penerangan di tingkat lokal. Semua mahasiswa baru diwajibkan mengikuti penataran Pedoman Penghayatan dan Pelaksanaan Pancasila (P-4) di mana mereka harus mendengarkan ceramah-ceramah yang disampaikan para Manggala,74 yang sebagian adalah anggota militer, secara top-down. Menteri P dan K bersama dengan Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertahanan mengeluarkan surat keputusan bersama tentang pembentukan resimen mahasiswa (menwa) di kampuskampus di Indonesia. Para pimpinan satuan mahasiswa umumnya memiliki hubungan organisasional model matriks dengan rektorat di satu pihak dan pimpinan Komando Daerah Militer (Kodim) di lain pihak. Dengan pola seperti ini banyak anggota Menwa yang berdasar talent scouting saat pendidikan dasar (latsar) kemiliteran direkrut menjadi anggota intelijen. Para anggota intel kampus ini biasanya memberikan laporan secara rutin kepada pihak Kodim mengenai situasi keamanan di kampus dan juga nama-nama para mahasiswa yang dianggap ”bermasalah”.75 73 Tercatat ada sejumlah penerbitan yang tidak tunduk kepada ketentuan yang ada dan akhirnya menghadapi tindakan pembredelan dari pihak rektorat. Antara lain majalah Arena di IAIN Kalijaga Yogyakarta (1987), majalah Imbas di UKSW Salatiga (1987), majalah Balairung di UGM Yogyakarta (1993) ,koran Ganesha di ITB Bandung (1994). 74 Istilah ”manggala” ini agaknya sengaja diciptakan untuk membedakan para pengajar Pancasila dengan guru biasa. Manggala berarti ”pengajar utama” yang juga berarti adalah orang-orang yang memiliki kekuatan penyelamat untuk memberi berkat, membersihkan dan menjamin keberhasilan maupun naskah suci yang memurnikan atau menyucikan mereka yang mendengar atau membacanya. Dalam hal ini yang jadi super menggala tak lain adalah Soeharto sendiri. Lihat Dhaniel Dhakidae, Cendekiawan dan Kekuasaan Dalam Negara Orde Baru, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003. 75 Lihat juga eksplorasi dan hasil penelitian Josep Saunders dalam Human Rights Watch, Op cit., Bab VIII dan Bab IX. 275 Untuk meningkatkan kontrol terhadap kehidupan kampus dan dunia akademis pada awal 1980 pihak keamanan juga mengeluarkan ketentuan tentang diperlukannya ijin dari kepolisian bagi setiap pertunjukan, seminar maupun pertemuan di luar maupun di dalam kampus. Pihak penyelenggara harus mengajukan surat permohonan ijin acara dengan melampirkan daftar panitia secara lengkap dan fotokopi identitas ketuanya kepada pihak Polres. Pihak kepolisian kemudian akan meneruskan surat tersebut ke pihak Kodim, Korem atau Kodam, tergantung dari urgensi dan topik yang akan diangkat. Bila dianggap berbahaya ijin tak akan dikeluarkan hingga saat penyelenggaraan. Bila panitia ngotot untuk mewujudkan acara, polisi pada umumnya akan segera membubarkannya.76 Dalam hal penelitian juga muncul berbagai hambatan. Para mahasiswa dan peneliti tak bebas melakukan untuk melakukan penelitian. Termasuk penelitian tentang buku-buku yang dilarang. Bahkan untuk keperluan referensi akademis sekali pun. Mahasiswa dan peneliti yang bermaksud menggunakan referensi dan membukabuka halaman buku terlarang yang tersimpan di Perpustakaan Nasional harus mendapatkan ijin terlebih dahulu dari badan intelijen Bakin, Kejaksaan Agung dan Kepala Perpustakaan Nasional. Kerap kali diperlukan rekomendasi khusus dari Bakorstanas dan Badan Intelijen ABRI. Itu artinya yang bersangkutan harus menjalani screening test dari sejumlah lembaga yang terkenal angker. Kontrol juga dilakukan terhadap para mahasiswa dan peneliti asing yang akan melakukan penelitian di Indonesia. Para peneliti yang berkewajiban mendapatkan visa itu umumnya melampirkan proposal penelitian mereka saat mengajukan permohonan visa di kedutaan besar Indonesia setempat. Selain itu, mereka juga harus mendapatkan rekomendasi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan 76 Lihat FORUM-ASIA, Indonesia 50 Years After Independence: Stability and Unity on a Culture of Fear, FORUM-ASIA, Bangkok,1995, hlm. 146-150. 276 Indonesia (LIPI) sebagai satu-satunya lembaga yang mengeluarkan surat rekomendasi bagi peneliti asing. Unsur intelijen di kedutaan lazimnya akan membaca dan memeriksa proposal yang diajukan para mahasiswa atau peneliti itu. Bila topiknya dianggap berpotensi bisa menimbulan ”huru-hara”, maka pihak Departemen Luar Negeri akan segera mengeluarkan memo kepada LIPI agar tak mengeluarkan surat rekomendasi yang diperlukan. Dalam sejarah adanya nota memo hampir pasti LIPI tak pernah menolaknya. Hal ini menunjukkan adanya hegemoni dunia dan kerja intelijen terhadap dunia akademis. Bisa dipastikan bahwa sebuah riset tak akan pernah bisa dijalankan tanpa ada surat ijin dari LIPI dan persetujuan dari Bakin.77 LIPI sendiri mempunyai sebuah tim yang bertugas untuk mempelajari, menilai dan mengeluarkan keputusan untuk memberikan atau menolak pemberian rekomendasi penelitian bagi para mahasiswa atau peneliti asing yang akan melakukan penelitian di Indonesia. Bergabung dalam Tim LIPI ini antara lain unsur Departemen Luar Negeri, Bakin, Badan Intelijen ABRI (BIA, sekarang BIS), dan tentu saja Kopkamtib. Ada pun topik-topik yang umumnya ditolak adalah topik yang dianggap bisa menimbulkan resiko politik, misalnya penelitian terhadap kebenaran Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) Papua.78 77 Lihat Vedi R. Hadiz dan Daniel Dhakidae, ”Kata Pengantar” dalam Ilmu Sosial dan Kekuasaan di Indonesia, Equinox Publishing, Jakarta-Singapore, 2006, hlm. 11. Pada 21 Februari 1995 Soehartyo mengundang sejumlah orang LIPI untuk datang ke istana kepresidenan dan secara formal menginstruksikan dilaksanakannya sebuah aturan penelitian berkaitan dengan evaluasi pelaksaan Pemilu dan meminta agar beberapa subyek penelitian tidak dipublikasikan. ”Karena LIPI adalah lembaga pemerintah yang secara langsung bertabnggungjawab kepada saya,” ungkap Soeharto. Lihat Human Rights Watch, Bab X. 78 Contoh ini dan beberapa contoh lain didapat dari hasil wawancara dengan Ketua Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Dr. Ikrar Nusa Bhakti. 277 Seorang mahasiswa doktoral asal Korea, Koh Young Hoon juga pernah mengalami hambatan saat akan mengambil S-3 di Universitas Indonesia, Jakarta. Akibat niatnya untuk mengangkat Pramoedya Ananta Toer sebagai bahan kajian, para calon dosen pembimbingnya merasa ketakutan dan satu per satu mundur hingga ia memutuskan pindah ke Universitas Nasional (Unas) Jakarta. Tapi kejadian kembali berulang dan mengakibatkan disertasi Koh menjadi terkatung-katung. Ia kemudian terpaksa pindah ke University Kebangsaan Malaysia. Baru di tempat terakhir ini ia menyelesaikan disertasinya.79 Ilmu dan pelajaran yang dianggap kekiri-kirian juga terlarang diajarkan di perguruan tinggi, sekali pun untuk alasan ilmiah dan sekadar alat analisis. Pada 1987 di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga, Dr. Arief Budiman mendapat berbagai serangan karena dianggap mengajarkan Marxisme kepada para mahasiswa pascasarjana di universitas tersebut.80 Pemerintah Orde Baru melalui aparat intelijen juga mencoba melakukan penjinakkan terhadap ilmu sosial, ekonomi, dan sejarah.81 Semuanya lebih merupakan sebuah upaya untuk ”menormalkan” kehidupan menurut pandangan Orde Baru tentang manusia dan masyarakat yang disebut sebagai sistem Orde Baru. Menurut Daniel 79 Disertasi Koh Young Hoon ini akhirnya diterbitkan menjadi buku dan beredar luas di Malaysia. Lihat Koh Young Hoon, Pemikiran Pramoedya Ananta Toer dalam Novel-novel Mutakhirnya, Percetakan Dewan Bahasa dan Pustaka, Selangor, 1996. 80 Penyebab masalah ini bermula dari saat Arief Budiman mempermasalahkan beberapa persoalan termasuk skandal moral yang dilakukan salah satu pimpinan kampus UKSW. Rupanya pimpian kampus tidak terima dengan bocornya surat Arief ke mana-mana termasuk kemudian dimuat di majalah Imbas terbitan Fakultas Teknik. Arief kemudian didemo oleh sejumlah mahasiswa yang mengaku pro-rektor. Bukan hanya itu, rupanya ada pihak-pihak di dalam kampus yang kemudian mencari kelemahan Arief Budiman dan melaporkan soal pelajaran ilmu Marxisme tersebut kepada aparat intelijen. Dalam konflik pemilihan rektor UKSW pada 1993, pihak yang pro-rektor mengunakan isu komunis untuk menyerang sejumlah pengajar yang menolak terpilihnya Dr. John Ihalauw menjadi rektor UKSW yang tak sesuai aspirasi civitas academica. 278 Dhakidae (Daniel 2003), normalisasi Orde Baru memberikan dampak besar bukan saja kepada ilmu-ilmu sosial akan tetapi juga kepada upaya mendisiplinkan ilmuwan sosial dan penelitian sosial. Terjadi pertarungan antara cendekiawan dengan kekuasaan negara. Para cendekiawan sebagai pihak yang bertanggungjawab atas ilmu-ilmu sosial berhadapan dengan kekuasaan negara terhadap ilmu sosial dan ilmuwan sosial yang kadang dilihat sebagai ”juru selamat” dan kadang sebagai ”keparat”. Lebih lanjut, Daniel menyatakan bahwa semua hal dikontrol oleh negara. Sejarah dikontrol, ilmu ekonomi dikendalikan, historiografi dibekukan dan hampir-hampir dibunuh. Sebagai akibatnya dalam satu gerak negara bukan saja mengatur ilmu-ilmu sosial akan tetapi menjadi ”ilmuwan sosial” itu sendiri, menjadi ”ahli ilmu ekonomi”, ahli statistik dan lain-lain. Birokrat negara menjadi ahli ilmu-ilmu sosial, ahli ilmu statistik, dan bahkan dia juga menjadi seniman serta sastrawan sendiri.82 Dalam sejumlah kasus, para ilmuwan dan intelektual lebih banyak menunggu Soeharto dawuh. Kasus gerhana matahari total yang hanya berlangsung 1 kali dalam 100 tahun pada 1982 dan mengamuknya hama wereng pada 1993 memperkuat hal ini. Saat itu tak ada satupun ilmuwan yang berinisiatif memberikan penjelasan. Malah dalam kasus gerhana matahari, rakyat ditakuttakuti agar tidak ke luar rumah apalagi melihat matahari karena akan mengalami kebutaan secara langsung. Dalam kasus hama wereng, para guru besar IPB justru manggut-manggut ketika Pak Harto mengadakan temu-wicara dengan Kelompencapir di Bogor. 81 Baca juga mengenai penguasaan intelijen terhadap kalangan intelektual di Indonesia sejak awal 1960-an yang kemudian memunculkan kelompok Mafia Berkeley sebagai mastermind semua kebijakan Orde Baru dalam David Ransom, Mafia Berkeley dan Pembunuhan Massal di Indonesia, Koalisi Anti Utang (KAU), Jakarta, 2005. Sebelum diterbitkan oleh KAU tulisan David Ransom telah beredar dalam bentuk stensilan pada awal 1980-an dan menjadi bahan kajian penting di kalangan aktivis mahasiswa ketika itu. 279 Sepertinya para guru besar IPB takut dituduh mencuri start sebelum Pak Harto memberikan kiat-kiat penanggulangan hama wereng kapada rakyat secara langsung. Dalam kasus gerhana total matahari pada 1982, masyarakat diteror dan ditakut-takuti dengan berbagai keterangan yang seolah-olah ilmiah bahwa menonton gerhana secara langsung akan membuat mata jadi buta. Jadi lebih baik dan lebih aman menonton gerhana melalui siaran langsung TVRI. Imbauan untuk sebaiknya melihat gerhana melalui siaran TVRI ini juga digencarkan oleh sejumlah doktar ahli mata dan pejabat Departemen Kesehatan. Juga ada imbauan agar rumah-rumah penduduk sebaiknya menutup tirai atau gorden dan mengunci pintu rumahnya rapat-rapat. Bahkan ada banyak penduduk yang menutupi kaca jendelanya dengan kayu tripleks. Yang menarik dari peristiwa ini adalah ketika menjelang hari yang ditentukan tiba, aparat militer di Jawa tengah dikerahkan untuk melakukan patroli di jalanan dan menegur setiap orang yang ada di jalanan untuk segera pulang atau masuk ke rumah. Usut punya usut, sejumlah wartawan menyebutkan bahwa ternyata salah satu penasihat spritual Soeharto menyatakan bahwa bila pada saat terjadi gerhana matahari total terjadi kerumunan massa, bukan tak mungkin Presiden Soeharto akan jatuh dari kekuasaan. Untuk itu perlu dilakukan pencegahan. Sebetulnya sejak akhir 1970-an sejumlah ilmuwan dan intelektual telah mencoba melancarkan berbagai gugatan. Mereka umumnya merasa gerah karena ilmu dan intelektual indonesia sepertinya terpisah dengan realitas negeri. Ilmu sepertinya tak 82 Daniel Dhakidae, Cendekiawan dan Kekuasaan Dalam Negara Orde Baru, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, hal xxxiii. Secara panjang lebar kegelisahan Daniel akan kontrol negara yang berujung pada munculnya pelacuran intelektual dan krisis ilmu akibat cengkaraman kuasa Orde Baru bisa dibaca pada hlm. 291 s.d. 360. 280 pernah mampu menjawab persoalan-persoalan empirik yang ada di masyarakat.83 Ilmu sosial di Indonesia terjebak dalam tujuan birokratis negara, selain para ilmuwan memang lebih tertarik menjadi birokrat negara. Hal ini bisa dilihat dari adanya model pelatihan para ilmuwan sosial yang menggunakan cara-cara pengidentifikasian masalah dan mencari solusi dengan cara-cara yang teknokratis. Demikian pula halnya dengan para ilmuwan sosial, baik yang lulusan dalam maupu luar negeri, menyelenggarakan berbagai seminar dan lokakarya serta membicarakan bagaimana agar ilmu sosial bisa relevan bagi pembangunan. Masyarakat Patuh Sebagai Sebuah Kemunduran Saat Soeharto lengser dari tampuk kekuasaan pada 21 Mei 1998 masyarakat baru sadar bahwa keilmuan dan intelektualitas di negeri ini tertinggal jauh dibandingkan dengan negara-negara tetangga se-Asia Tenggara, bahkan bila dibandingkan negara Asia yang kualitas ilmu pengetahuannya tidak sebaik negara tetangga. Ilmu sosial di Indonesia ternyata tak mengalami perkembangan yang menggembirakan. Hal ini bisa dilihat dari sedikitnya para ilmuwan yang terbiasa menulis, tak adanya jurnal ilmiah yang menonjol. Perkembangan buku juga tak jauh bergeser, tak ada 83 Baca masalah yang dikemukakan oleh Dr. M. Amien Rais, Dr. Soedjatmoko, Dr. Arief Budiman, Dr. Toety Herati Noerhadi, Dr. Mulyarto Tjokrowinoto, Dr. Chris Manning, Dr. Hidajat Nataatmadja, Dr. Usman P. Tampubolon, dan Ignas Kleden mengenai kondisi ilmu sosial di Indonesia yang sangat memprihatinkan dan tak mempu menjawab permasalahan yang ada dalam A.E. Priyono dan Asmar Oemar Saleh (ed.), Krisis Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pembangunan di Dunia Ketiga, PLP2M, Yogyakarta, 1984. Baca juga tulisan Benny Subianto, ”Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia: mencari pendekatan dari Masa ke Masa” dalam Prisma, Edisi No 2/1989. Tulisan yang paling bagus dan menguliti habis persoalan krisis ilmu sosial bisa dibaca pada Dhaniel Dhakidae, Op cit., hlm. . 305-320 dan hlm. 333-349. 281 buku-buku fiksi maupun non-fiksi yang sangat menonjol. Kalau bicara sastra orang masih menunjuk pada karya-karya Pramoedya. Dari sisi perkembangan film lebih menyedihkan lagi, karena yang muncul adalah film tentang hantu atau percintaan di kalangan remaja. Situasi menyedihkan ini tak bisa tidak memang adalah akibat peran intelijen yang melebihi kewenangannya. Di masa lalu intelijen bukan hanya mengumpulkan dan menganalisis informasi, tapi juga ”menyentuh” obyek secara langsung. Sentuhan secara represif telah berakibat jauh dengan munculnya semacam pasifisme di kalangan keilmuan di Indonesia. Para ilmuwan sosial lebih suka mengunyahunyah apa yang pernah mereka terima saat belajar ketimbang menemukan temuan baru dan menjadikannya semacam tesis untuk memecahkan persoalan struktural sosial kemasyarakatan. Saat ini bisa dikataan bahwa hampir tak ada alternatif bagi pemecahan terhadap krisis keilmuan dan kebudayaan yang tengah dihadapi rakyat di negeri ini. Perkembangan iklim politik Orde Baru yang represif, telah menjadikan wartawan Indonesia selama puluhan tahun telanjur tak terbiasa dengan pola penyelidikan (investigation). Wartawan Indonesia juga sama sekali tak mengenal provetic journalism sebagaimana diterapkan para wartawan di negara maju. Dalam meliput konflik elit politik, wartawan lebih banyak mengutip ucapan para tokoh elit politik. Tokoh elit seolah merupakan representasi dari rakyat Indonesia. Barangkali ini yang menjadikan Indonesia lebih mirip sebuah negeri desas-desus, tempat di mana batas antara kebenaran dan ketidakbenaran begitu tipis. Banyak orang membicarakan tentang praktek korupsi yang merajalela di hampir semua lini pemerintahan, tapi tak ada satu pun koruptor yang bisa ditemukan untuk kemudian dijatuhi hukuman. Politik pengawasan dan dominasi intelijen dalam hampir semua lini kehidupan berbangsa dan bernegara memang berhasil 282 mengawal kekuasaan Soeharto hingga lebih dari tiga dasa warsa. Namun bila diteliti kembali terdapat sejumlah kerusakan yang bersifat laten. Tabel 4. Dampak Politik Pengawasan dan Dominasi Intelijen Hal Yang Diawasi oleh Intelijen/ Pemerintah Model Represi Akibat Yang Muncul Warga Keturunan Tionghoa Dikeluarkan sejumlah peraturan pembatasan dan sejumlah larangan terhadap semua hal yang berbau Cina, pengawasan birokratis terhadap kependudukan warga keturunan Cina, pembatasan usaha warga keturunan Cina hanya di kota-kota besar, pembatasan warga keturuinan Cina untuk memasuki profesi-profesi tertentu yang pada akhirnya mendorong warga Cina untuk bekerja di perusahaan asing atau berdagang, ? Anak-anak keturunan Tionghoa sulit memasuki sekolah/ perguruan tinggi negeri (anakanak keturunan Cina akhirnya dituduh hidup eksklusif). ? Muncul anggapan bahwa warga keturunan Cina hanya mau menjadi pedagang (economic animal), warga keturunan Cina teralienasi. ? Posisi politik warga keturunan Cina lemah hingga mudah diperas dan jadi target, muncul stereotip bahwa semua orang Cina adalah kaya dan bisa dimintai uang. ? Warga keturunan Cina hanya diperalat dan dijadikan sebagai rekanan bisnis/cukong. ? Setiap kali terjadi kerusuhan jadi sasaran kemarahan tanpa alasan yang jelas. 283 Teater Semua naskah dan adegan pementasan dikontrol melalui sensor, pertunjukan yang dianggap ”membahayakan” akan dilarang atau dihentikan. ? Tak ada kritik sosial ? Pertunjukan menjadi menjemukan dan lebih banyak berbau propaganda ? Matinya kreativitas di dunia teater Film Pembuatan film dikontrol, naskah disensor, film yang dianggap ”bermasalah” dicekal dan dilarang beredar, monopoli peredaran film oleh kroni penguasa, penguasa membuat film-film propaganda ? Tak ada politik kebudayaan dalam hal perfilman. ? Tak muncul film idealis yang bagus di Indonesia. ? Matinya kreativitas dunia film. ? Pudarnya pamor dunia film dibanding dengan sinetron. ? Hengkangnya aktor dan aktris bermutu. ? Produksi film Indonesia hanya mengikuti selera pasar dan penguasa, tidak memberikan sumbangan yang berarti pada dunia film. ? Munculnya film-film cengeng dan picisan (termasuk film tentang hantu). 284 Pers Dikontrol dan disensor pemberitaannya (yang melawan dikenai pembredelan), para wartawan dihimpun dalam wadah tunggal, bahan baku kertas dikuasai oleh kroni penguasa, pimpinan media dijinakkan ? Media tunduk pada penguasa. ? Tak ada media yang kritis dan bisa menampilkan fakta apa adanya. ? Muncul eufemisme dalam bahasa pemberitaan. ? Muncul talking news. ? Muncul jurnalisme sensasi dan infotainment. ? Wartawan idealis tersingkir dari tempatnya bekerja. ? Tak adanya kemampuan investigasi (KKN dan pelanggaran HAM terjadi di mana-mana). ? Media berubah fungsi menjadi corong kekuasaan dan ruang hiburan belaka. Lagu Semua lagu dikontrol dan disensor, penyanyi dilembagakan oleh negara, kritik sosial dilarang, penyanyi yang nekad diinterograsi/ diteror dan karir dihambat, perusahaan rekaman harus mengurus perijinan ? Tak ada lagu-lagu yang kuat secara tema. ? Kreativitas penulis lagu mati. ? Muncul lagu-lagu cengeng tentang cinta dan patah hati ? Lahir lagu-lagu rekayasa bertemakan pesan-pesan pembangunan seperti ”ABRI Masuk Desa”, ”Bapak Pembangunan” dan lain-lain yang lebih merupakan puja-puji bagi penguasa. ? Lagu-lagu Indonesia tersingkir dari masyarakatnya sendiri. 285 Buku Isi buku dikontrol dan disensor, yang bermasalah diminta untuk ditarik dari peredaran, penulis diteror, penerbit diperiksa, pengedar buku ditangkap dan dihukum penjara ? Tak lahir pengarang Indonesia baru yang menonjol selama hampir 3 dekade terakhir. ? Matinya dunia penulisan fiksi di Indonesia. ? Penerbitan buku menjadi lesu. ? Penerbitan didominasi oleh terjemahan komik luar negeri, novel remaja dan percintaan, novel tentang seks. ? Penerbit-penerbit idealis mati dan muncul dominasi penerbit besar yang cenderung memonopoli pasar. Kegiatan Akademis/ Penelitian Penelitian dikontrol dan dikendalikan, diberlakukan prosedur perijinan bagi sebuah penelitian, topik-tpik tertentu membutuhkan clearence dari aparat keamanan/ intelijen ? Tak ada sumbangan berarti dari dunia akademis kepada masyarakat Indonesia (misalnya menyangkut penulisan sejarah yang masih gelap). ? Hilangnya idealisme di kalangan kampus dan digantikan oleh tumbuhnya generasi yang pragmatis. ? Hilangnya peran ilmu-ilmu sosial dan teori kritis untuk membantu memecahkan masalah kebangsaan. ? Hilangnya kehormatan profesi akademik. 286 Ada banyak kalangan yang menyatakan bahwa Indonesia harus bisa menyelesaikan transisi menuju demokrasinya secara damai. Namun bila melihat lemahnya masyarakat sipil, tidak adanya politik kebudayaan yang kuat, dan ketidakberdayaan ilmuilmu sosial dan kaum intelektual di Indonesia, maka isu tentang perlunya reformasi intelijen menjadi sebuah isu penting yang tak boleh ditawar lagi. Kalau negeri ini memang mau bangkit, salah satu yang harus dibenahi adalah sistem dan aparat intelijennya agar tak membuat negeri ini menjadi sebuah republik patuh yang tak berdaya menghadapi ancaman globalisasi. Di satu sisi, Indonesia membutuhkan intelijen yang kuat dan profesional yang bisa mencegah konflik di dalam negeri dan ancaman terorisme, di sisi lain rakyat Indonesia masih memiliki trauma atas campur tangan intelijen yang terlalu jauh di bidang politik, sosial dan kemasyarakatan.*** REFERENSI : Buku: Ajidarma, Seno Gumira. 1998. Bila Pers Dibungkam Sastra Harus Bicara. Bentang. Yogyakarta. Akhmadi, Heri (ed.). 1997. Ilusi Sebuah Kekuasaan. ISAI dan Pusham Universitas Surabaya. Jakarta. Aly, Rum. 2006. Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966. Kata Hasta Pustaka, Jakarta Artikel 19. 1994 Pers di Bawah Kepungan: Sensor di Indonesia. Artikel 19. London 287 Budiman, Arief (eds). 1990. State and Civil Society in Indonesia. Monash University, Melbourne Cahyono, Heru. 1998. Pangkopkamtib Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari 1974. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta Coppel, Charles A. 1994. Tionghoa Indonesia Dalam Krisis. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta Dhakidae, Daniel. 2003. Cendekiawan dan Kekuasaan Dalam Negara Orde Baru. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Dwipayana, G. dan Ramadhan K.H. (ed.).1989. Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya. Citra Lamtoro Gung Persada. Jakarta. Elson, R.E. 2005. Suharto: Sebuah Biografi Politik. Pustaka Minda Utama. Jakarta. Farid, Hilmar et.al. 1996. Menentang Peradaban. Elsam. Jakarta. FORUM-ASIA. 1995. Indonesia 50 Years After Independence: Stability and Unity on a Culture of Fear. FORUM-ASIA. Bangkok. Hadiz, Vedi R dan Daniel Dhakidae (ed.). 2005. Social Science and Power in Indonesia. Equino and ISEAS. Jakarta. Haryanto, Ignatius .1996. Pembredelan Pers di Indonesia: Kasus Koran Indonesia Raya. LSPP. Jakarta. Heryanto, Ariel. 2006. State Terrorism and Political Identity in Indonesia: Fatally Belonging. Routledge. New York. Hill, David T. 1994. The Press in New Order Indonesia. University of Western Australia, Press. Australia. Human Rights Watch. 1998. Academic Freedom in Indonesia; Dismantling Soeharto-Era Barriers. Human Rights Watch Report. 288 Irawanto, Budi. 1999. Film, Ideologi, dan Militer: Hegemoni Militer Dalam Sinema Indonesia. Penerbit media Pressindo. Yogyakarta. Jaringan Kerja Budaya.1996. Menentang Peradaban: Pelarangan Buku di Indonesia, Elsam. Jakarta. K.H, Ramadhan. 2003. Soemitro Dari Pangdam Brawijaya Sampai Pangkopkamtib. Sinar Harapan, Jakarta. Latif, Yudi dan Idi Subandy Ibrahim (ed.). 1996. Bahasa Dan Kekuasaan : Politik Wacana di Panggung Orde Baru. Penerbit Mizan. Bandung. Mackie, J.A.C. 1976. The Chinese in Indonesia. The University Press of Hawaii. Honolulu. Narto, Sumi. 1978. Sawito: Ratu Adil, Guru Uji, Tertuduh. CV Aneka SMG. Semarang. Osborne, Robin. 2001. Kibaran Sampari: Gerakan Pembebasan OPM, dan Perang Rahasia di Papua Barat. Elsam. Jakarta. Priyono, A.E. dan Asmar Oemar Saleh (ed.). 1984. Krisis Ilmu- Ilmu Sosial Dalam Pembangunan di Dunia Ketiga. PLP2M. Yogyakarta. Raillon, Francis. 1998. Politik dan Ideologi Mahasiswa Indonesia, Pembentukan dan Konsolidasi Orde Baru 1966-1974. LP3ES. Jakarta. Saptono, Irawan, P Hasudungan Sirait, Stanley, Eryanto. 2004. Tidak Bebas Berekspresi: Kisah tentang Represi dan Kooptasi Kebebasan Berekspresi. ISAI. Jakarta. Simanjuntak, Togi. 1999. Preman Politik. ISAI. Jakarta. Sen, Krishna. 1996. Indonesia Cinema: Framing the New Order. Zed Book. London. 289 Sen, Krishna dan David T. Hill.2001. Media, Budaya dan Politik di Indonesia. ISAI. Jakarta. Setiono, Benny G. 2002. Tionghoa Dalam Pusaran Politik. Elkasa. Jakarta. Siebert, Fred Ss, Theodore Peterson dan Wilbur Schramm. 1986 . Empat Teori Pers, Penerbit PT Intermasa. Jakarta. Soemardjan, Selo, Prof. Dr. Gerakan 10 Mei 1963 di Sukabumi. PT Eresco. Bandung. Southwood, Julie dan Patrick Flanagan. 1983. Indonesia: Law, Propaganda and Terror. Zed Press. London. Sumadi, Drs. 1993. Peranan Kalimantan Barat Dalam Menghadapi Subversi Komunis Asia Tenggara. Yayasan Tanjungpura. Pontianak. Suryadinata, Leo, Evi Nurvidya Arifin, dan Aris Ananta. 2003. Penduduk Indonesia: Etnis dan Agama dalam Era Perubahan Politik. LP3ES. Jakarta. Susanto SJ, Budi dan A. Made Tony Supriatna. 1995. ABRI Siasat Kebudayaan 1945-1995. Penerbit Kanisius dan Lembaga Studi Realino. Yogyakarta. Stanley (ed.). 1994. Pak Hoegeng: Polisi Profesional dan Bermartabat. Adrianus Noe Center dan Lembaga Penghargaan Hoegeng. Jakarta. Toer, Pramoedya Ananta dan Stanley Adi Prasetyo (ed). 1995. Oei Tjoe Tat: Memoar Mantan Pembantu Presiden Sukarno. Hasta Mitra. Jakarta. Van Groenendael, Victoria M. Clara. 1978. Dalang di Balik Wayang. Grafiti Pers. Jakarta. 290 Wahono, Asri Oktaviany. et.al. 2003. Reformasi Hukum Terhadap Kebijakan Diskriminasi Ras dan Etnis di Indonesia. Solidaritas Nusa Bangsa. Jakarta. Wieringa, Saskia E.. 1999. Penghancuran Organisasi Perempuan di Indonesia (ed.). Kalyanamitra dan Garba Budaya. Jakarta. Yusra, Abrar dan Ramadhan K.H. 1994. Hoegeng: Polisi Idaman dan Kenyataan, Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. Tesis/desertasi: Nursahid, Fajar. 1998. ”Konflik Negara Dengan Pers di Indonesia”. Skripsi S-I pada Fisip Universitas Diponegoro. Semarang. Tante, Richard. 1991. ”Intelligence Agencies and Third World Militarization: A Case Study of Indonesia 1966-1989”. Tesis doktoral Department of Politics Faculty of Economic and Politics Monash University. Melbourne. Artikel Media Massa : ”Gong Majalah Jakarta-Jakarta” Jakarta-Jakarta, edisi 21-27 September 1991. Stanley, ”30 Tahun Orde Baru 10 Ribu Buku Dilarang” dalam Tempo Interaktif Edisi 29/01, 14/Sep/1996. Stanley, ”Penggambaran Gerwani Sebagai Kumpulan Pembunuh dan Setan: Fitnah dan Fakta Penghancuran Organisasi Perempuan Terkemuka” dalam jurnal Sejarah 9/Th. 2002, Masyarakat sejarawan Indonesia. 291 Dokumentasi: Dokumentasi Hasta Mitra mengenai palarangan buku-buku Pramoedya Ananta Toer. Surat-surat pelarangan buku, benda cetakan dan kaset yang dikeluarkan oleh Kejaksaan Agung 1970-1996. Surat-surat pelarangan buku yang dikeluarkan Departemen P&K pada 1966-1969. Dokumentasi Stanley mengenai surat-surat imbauan kepada media massa untuk tidak memberitakan peristiwa tertentu. Dokumentasi Stanley tentang bahan briefing yang diberikan oleh pejabat militer untuk kalangan wartawan 1992-2000. Wawancara: Ahli Peneliti Utama./Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Dr. Ikrar Nusa Bhakti di dalam pesawat GIA dari Yogyakarta menuju Jakarta pada 19 April 2006. 292 Mencegah Korupsi di Balik Keremangan Oleh: J. Danang Widoyoko Januari 2005, polisi berhasil menangkap tangan sindikat pemalsuan uang. Hal ini sungguh mengejutkan, karena yang dikepung adalah kantor Badan Koordinasi Pemberantasan Uang Palsu (Botasupal). Gembong pemalsu uang yang ditangkap adalah Brigjen Polisi (Purn) Zyaeri, yang tak lain menjabat sebagai Kepala Staf Harian Botasupal. Bersama Zyaeri juga ditangkap empat oknum mantan anggota TNI yaitu Haryanto, Jailani, Woro Nakus Saptoro dan M. Iskandar.1 Peristiwa itu menghebohkan karena Botasupal seharusnya adalah lembaga yang bertanggungjawab untuk memerangi tindak pidana pemalsuan uang dan Ketua Badan Intelijen Negara (BIN) sekaligus menjadi Ketua Botasupal. Terkait dengan pemalsuan uang, BIN juga ikut mengurusi percetakan dokumen berpengaman (security print- 1 Trust No.17 Th. III, 24-30 Januari 2005 293 ing). Keterlibatan BIN di luar masalah pertahanan mengemuka dalam kontroversi masalah pengadaan blangko kependudukan di Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia. Menteri Dalam Negeri, M. Ma’ruf, hanya menunjuk empat perusahaan yaitu PT Royal Standard, PT Aria Multi Graphia, PT Sandipala Arthapura dan PT Sumber Cakung untuk mencetak blangko kependudukan. Penunjukan itu mengundang protes. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, pencetakan blangko dilakukan tanpa melalui tender sehingga tidak transparan, terkesan kolutif dan menutup kesempatan bagi perusahaan lain yang bergerak di security printing. Padahal, ada 33 perusahaan percetakan dokumen berpengaman (security printing) di Indonesia, yang semestinya memiliki peluang sama untuk mencetak kertas berpengaman itu. Kedua, harga yang dipatok oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dianggap terlalu mahal. Tanpa konsultasi dengan asosiasi security printing, Mendagri mematok blangko dokumen penduduk dengan harga sebagai berikut : • Kartu Tanda Penduduk (KTP) dari Rp. 950,00 menjadi Rp. 1500,00 • Kartu Keluarga dari Rp. 2.500,00 menjadi Rp. 3.000,00. • Kutipan Akta Catatan Sipil dari Rp. 3.000,00 menjadi Rp. 5.000,00 • Register Akta Catatan Sipil dari Rp. 45.000,00 menjadi Rp. 50.000,00. TM Pardede, yang melaporkan kasus ini ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), menyatakan bahwa karena harga yang ditentukan sepihak oleh Mendagri dan tanpa melalui tender, negara harus membayar 134 miliar lebih mahal untuk pengadaan blangko KTP saja.2 2 Tempo, 2-8 Januari 2006 294 Ketiga, Perusahaan Umum Percetakan Uang Republik Indonesia (Perum Peruri) tidak termasuk dalam perusahaan yang ditunjuk Mendagri untuk mencetak dokumen berpengaman. Padahal Peruri adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang selama ini mencetak uang rupiah dan sejumlah dokumen berpengaman lainnya. Kewenangan Peruri ini diatur dalam SK Ketua BIN selaku Ketua Harian Botasupal No. 046 tahun 2002. Seharusnya, dalam bisnis percetakan kertas berpengaman, Peruri menempati posisi penting. Oleh karena itu, penunjukan perusahaan pencetak blangko kependudukan di atas sangat janggal. Namun, di balik kontroversi dan kejanggalan itu, ada fakta yang mengejutkan. Ternyata, untuk bergerak di bisnis percetakan dokumen berpengaman, perusahaan harus mendapatkan rekomendasi dari BIN. Sebagai salah satu lembaga yang bertanggungjawab dalam pemberantasan uang palsu, BIN harus memberikan rekomendasi kepada perusahaan percetakan sebagai persyaratan mengikuti tender dan menjadi pelaksana proyek pemerintah dalam percetakan dokumen berpengaman. Lalu apa saja yang termasuk dalam dokumen berpengaman? Ternyata daftarnya sangat panjang dan tanpa disadari dokumen tersebut merupakan dokumen yang kerap dipergunakan dan dimiliki oleh masyarakat. Mulai dari blangko kependudukan hingga ijazah, bahkan tiket pesawat dan jalan tol. Daftar dokumen selengkapnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini. 295 Tabel 1. Daftar Dokumen Berpengaman yang Diawasi oleh BIN/ Badan Koordinasi Pemberantasan Uang Palsu I. Jenis Dokumen Berpengaman Instansi Pemerintah dan BUMN/BUMD yang Harus Dicetak Perum Peruri 1. Pita Cukai 2. Perangko 3. Materai Tempel 4. Kertas Bermaterai 5. Sertifikat Tanah 6. Paspor RI 7. Paspor Dinas 8. Paspor Diplomatik 9. STTB (SD, SLTP, SLTA/Kejuruan) dan Danem 10. Ijasah Perguruan Tinggi 11. SKSHH 12. Stiker Lunas PPN Kaset, LD, VCD, dan sejenisnya 13. SBI (Sertifikat Bank Indonesia) 14. Fiskal 15. Naskah Ujian Negara 16. Buku Uji Kendaraan Bermotor 17. Surat/Buku Ijin Menangkap Ikan 18. Stiker Visa 19. Encoding Kartu Telepon (termasuk pencetakan PIN) 20. Kartu peserta Jamsostek (KPJ) 21. Airline Ticket OPTAT 22. Sertifikat Eksport 23. Paper Seal Barang Ekspor II. Jenis Dokumen Berpengaman Instansi Pemerintah dan BUMN/BUMD yang Pencetakannya Diprioritaskan kepada Perum Peruri. 1. Buku Pelaut 2. Cetakan Tanda Lunas Bea Materai (TLBM) pada cek dan giro 3. Surat Perintah Membayar Kembali Pajak (SPMKP) 4. Surat Perintah Membayar Bea (SPMKB) 5. Dokumen Kependudukan (KTP,Akta Capil, Buku Register) 6. STNK 7. BPKB 8. SIM 9. Paspor Haji 10. Kartu Kredit 11. Leges 12. Akte Notaris 13. Karcis Parkir 14. Security seal yang dikeluarkan instansi pemerintah dan BUMN/BUMD 15. Kupon-kupon yang dikeluarkan instansi pemerintah BUMN/BUMD 16. Karcis Angkutan Udara, Laut dan Darat 17. Karcis Pendapatan Daerah, Parkir, Restribusi 18. Karcis Angkutan Sungai 19. Air Waybill 20. Security ID Card 21. Karcis Tol 22. Kartu Tol 23. PKB 24. TDR 25. Rekening Listrik 296 Sumber: Surat Keputusan Ketua BIN selaku Ketua Badan Koordinasi Pemberantasan Uang Palsu No. 046 tahun 2002 Persoalan lain yang muncul pada pengadaan blangko kependudukan di atas, pada salah satu perusahaan yang ditunjuk Mendagri, yakni PT Aria Multi Graphia, tercantum nama Syamsir Siregar sebagai Komisaris Utama3. Syamsir Siregar kini menjabat sebagai Ketua BIN. Kedudukan Syamsir sebagai Komisaris Utama tak pelak menimbulkan konflik kepentingan. Terutama dalam fungsinya sebagai regulator security printing, keterlibatan Syamsir bisa mempengaruhi keputusan BIN guna memberikan rekomendasi. Apalagi dalam akte perusahaan, meskipun menjabat sebagai Komisaris Utama, Syamsir Siregar ternyata tidak turut sebagai penyetor modal perusahaan. Bisa diduga, dipasangnya Syamsir Siregar sebagai Komisaris Utama adalah bagian dari strategi bisnis untuk memuluskan semua urusan dengan pemerintah. Tak heran bila kehadiran Syamsir di perusahaan itu menjadi rumor di kalangan industri percetakan. Tindakan BIN lain yang mengundang kontroversi barubaru ini adalah permintaan BIN kepada seluruh vendor printer 26. Rekening Telepon 27. Rekening PAM 28. PBB 29. Cek 30. Bilyet Giro 31. Nota Debet 32. Nota Kredit 33. Buku Tabungan 34. Sertifikat Deposito 35. Sertifikat Saham 36. Obligasi 37. Polis Asuransi 3 Tambahan Berita Negara RI tanggal 19 April 2002 No.32 297 berwarna dan mesin fotokopi berwarna untuk meregistrasi seluruh pembelinya, termasuk untuk barang yang sudah dibeli. Seiring dengan perkembangan teknologi, printer berwarna yang saat ini beredar mampu mencetak dokumen dengan kualitas yang tidak jauh berbeda dengan cetakan uang atau dokumen berpengaman lainnya. Dikhawatirkan, perkembangan teknologi printer yang pesat dapat memicu tindak kejahatan pemalsuan. Akan tetapi permintaan BIN untuk mendata seluruh pemilik printer berwarna dikeluhkan oleh kalangan pengusaha. Wakil Ketua Komite Tetap Telematika Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Hidayat Tjokrodjojo meminta agar registrasi dilakukan secara proporsional. Hidayat mengatakan, ”Bila tidak diterapkan secara proporsional, maka bukannya pelaku kejahatan yang tertangkap, tapi justru akan ada tindakan penertiban dari oknum aparat yang tidak bertanggungjawab.”4 Meskipun Kadin tidak menyatakan secara eksplisit, bisa dibaca kekhawatiran dunia usaha terutama vendor printer terhadap penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh aparat intelijen. Bisa diduga, bila aturan tersebut mulai diterapkan maka aparat intelijen akan kerap mengunjungi toko-toko printer dan bila tidak diawasi akan memunculkan adanya pungutan baru dan mengakibatkan munculnya ekonomi biaya tinggi (high cost economy). Sesungguhnya bukan perkara gampang mudah untuk melakukan registrasi data seluruh pembeli dan pemilik printer berwarna. Terutama bila BIN sendiri tidak memiliki perangkat yang memadai untuk menyimpan dan mengolah data. Bandingkan dengan pengalaman Pusat Pencatatan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) yang bertugas mengawasi tindak pidana pencucian uang5. Karena 4 Bisnis Indonesia, 30 Juni 2006 5 PPATK bertugas mengawasi seluruh transaksi yang mencurigakan. Pada bank, transaksi di atas Rp. 100 juta harus dilaporkan dari mana asal uangnya. Tetapi kenyataannya, 298 belum memiliki perangkat yang memadai, tugas PPATK tidak terlalu efektif. Bila BIN hendak turut mengawasi penjualan dan registrasi printer berwarna, perlu dipertanyakan apakah sudah menyiapkan infrastrukturnya. Keresahan dan keprihatian pengusaha sangat beralasan karena dengan persiapan yang tidak memadai dan lemahnya pengawasan, penambahan otoritas BIN itu bisa berujung pada penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi. Intel Swasta Keterlibatan BIN di luar sektor pertahanan tradisional, terutama di sektor ekonomi, menarik untuk dicermati. Pertahanan negara secara tradisional hanya melihat ancaman berupa serangan dan pendadakan dari negara lain menggunakan kekuatan militer. Tetapi seiring dengan perkembangan teknologi dan globalisasi, sektor pertahanan dan ancaman bagi sebuah negara juga berubah. Perubahan ini berimplikasi pada perubahan mandat dan peran intelijen dalam pertahanan negara. Pada dasarnya peran intelijen meliputi pengumpulan data, analisis, tindakan tertutup (covert action) dan kontra intelijen (counter- intelligence). Peran pengumpulan data dilakukan oleh intelijen dengan mengumpulkan informasi dari berbagai sumber dan menggunakan beberapa metode. Baik mengumpulkan informasi dari sumber-sumber terbuka seperti media massa, laporan penelitian dan dokumen lainnya maupun sumber tertutup. Informasi yang transaksi di atas Rp. 100 juta tidak hanya melalui bank. Tidak jarang praktek money laundering dilakukan dalam bentuk pembelian barang mewah dan aset berharga. Karena itu, seharusnya PPATK juga harus memonitor dan meregistrasi setiap transaksi di atas Rp. 100 juta pada dealer mobil, Badan Pertanahan Nasional, Dinas Pajak, Bursa Efek dan sebagainya. Tetapi kenyataannya, wilayah pantauan PPATK sampai saat ini terbatas hanya pada perbankan saja. 299 berasal dari sumber tertutup dikumpulkan dengan mengakses dokumen yang merupakan rahasia, melakukan penyadapan komunikasi, hingga merekrut agen dari kalangan dalam pihak musuh. Peran analisis dilakukan oleh intelijen untuk memberikan interpretasi dan usulan kepada pembuat kebijakan berdasarkan informasi yang telah diperoleh. Dengan demikian, melalui intelijen, pengambil kebijakan memiliki informasi yang lengkap dari berbagai sumber sehingga kebijakan yang diambil benar-benar tepat sasaran dan mampu menyelesaikan persoalan. Sedangkan peran tindakan tertutup dilakukan oleh intelijen untuk mencegah pihak musuh melakukan tindakan yang mengancam pertahanan negara. Tindakan dapat dilakukan dalam bentuk propaganda atau aksi militer. Film ”James Bond” yang terkenal itu dan berbagai film tentang agen rahasia merupakan gambaran dari tindakan tindakan tertutup yang lazim dilakukan oleh intelijen. Kontra intelijen dilakukan oleh intelijen untuk mencegah musuh memperoleh informasi yang dapat mengancam pertahanan negara. Selain dengan membongkar identitas agen, tindakan kontra intelijen juga dilakukan dengan memberikan informasi yang keliru kepada intelijen musuh. Tujuan akhirnya adalah mencegah musuh mendapatkan informasi yang diperlukannya. Akan tetapi di tengah perkembangan teknologi yang pesat dan globalisasi, peran tradisional intelijen di atas mengalami banyak pergeseran dan perlu didefinisikan ulang. Dalam konteks Indonesia, ada sejumlah perkembangan yang perlu dipertimbangkan. Pertama, intelijen kini berada di masa yang luber informasi. Peran pengumpulan informasi, khususnya dari sumber terbuka, akan ketinggalan mengikuti perkembangan teknologi. Internet dan stasiun televisi global seperti CNN dan BBC, memberikan informasi secara seketika (real time) dan lengkap. Akibatnya, banyak informasi dari intelijen yang tertinggal dibandingkan dengan laporan stasiun televisi global atau laporan di internet. 300 Kedua, dalam perkembangannya sektor swasta yang memiliki keterampilan dan jaringan yang jauh melebihi kemampuan intelijen negara. Seumpama pemerintah Indonesia hendak melacak harta Soeharto yang diduga disembunyikan di bank-bank luar negeri, pemerintah tentu harus menggunakan jasa perusahaan detektif internasional bukan BIN. Bila pemerintah hendak memperoleh informasi tentang keamanan di suatu negara, banyak ahli dan peneliti dari kalangan swasta yang bisa memberikan informasi dan analisis yang jauh lebih baik dibandingkan dengan intelijen6. Ketiga, sistem politik di Indonesia pasca jatuhnya pemerintahan Orde Baru telah berubah secara radikal dan memaksa intelijen untuk mengubah orientasi dan paradigma. Pada masa Orde Baru, Richard Tanter mengungkapkan fungsi intelijen Indonesia yang eksesif, yaitu surveillance, intervensi politik, managemen ideologi dan teror.7 Pada masa Orde Baru, salah satu tugas utama intelijen adalah mengawasi potensi ancaman dari dalam negeri, yakni pihak oposisi dan kelompok-kelompok masyarakat yang dipandang dapat mengancam kepentingan pemerintah Orde Baru. Karena itu, operasi intelijen yang dilakukan kerap berupa infiltrasi ke partai politik, intervensi ke serikat buruh dan terlibat dalam sengketa perburuhan hingga merekrut aktivis mahasiswa sebagai agen untuk mengawasi gerakan mahasiswa. Pada akhirnya, tujuan dari operasi intelijen adalah memastikan bahwa kelompok-kelompok oposisi dan pendukung demokrasi tidak mengancam kekuasaan pemerintah atau ”tidak mengancam stabilitas politik”, istilah yang populer pada saat itu. 6 Perlu diperhitungkan juga, bisa jadi banyak lembaga penelitian atau konsultan swasta yang mendapatkan informasi dari sumber-sumber intelijen. Atau, bisa jadi peneliti atau analis justru bekerja juga sebagai agen intelijen. 7 Ikrar Nusa Bhakti, ”Intelijen dan Keamanan Negara” dalam Andi Widjajanto et. Al, Reformasi Intelijen Negara. Jakarta : Pacivis UI, 2005, hlm.17 301 Keempat, seiring dengan perubahan lanskap politik muncul desakan yang kuat untuk menegakkan Hak Asasi Manusia (HAM) dan reformasi sektor keamanan. Salah satu implikasinya adalah desakan untuk membatasi kewenangan intelijen dalam melakukan penangkapan. Situasi ini tentu berbeda sekali dengan pengalaman pada masa lalu di bawah pemerintahan otoriter Orde Baru yang memberikan kewenangan menggali informasi melalui penangkapan, bahkan interogasi menggunakan teknik-teknik penyiksaan. Pencarian informasi dengan melakukan penangkapan praktis sulit dilakukan oleh intelijen pada masa sekarang ini. Bisa jadi perubahan situasi dan kondisi ini mengakibatkan intelijen, dalam kasus terorisme, seperti tidak tidak berdaya dan tertinggal dibandingkan dengan kepolisian. Karena belum ada perubahan paradigma tugas intelijen, tidak heran bila muncul RUU Intelijen yang hendak mengembalikan kewenangan melakukan penangkapan seperti pada masa lalu. Seakan-akan, intelijen hanya bisa berfungsi dengan baik bila memiliki kewenangan untuk melakukan penangkapan. Pembunuhan aktivis HAM Munir beberapa waktu yang lalu, yang mengarah kepada keterlibatan sejumlah personel dan pimpinan BIN, memberi petunjuk betapa intelijen Indonesia belum beranjak jauh dari kebiasaan dan peran yang mereka lakukan di masa lalu. Oleh karena itu, perubahan paradigma dan peran intelijen sesungguhnya merupakan keniscayaan dan respon terhadap perkembangan jaman. Dan perubahan bisa dimulai dengan melakukan spesialisasi dan kemauan untuk meninggalkan peran dan tugas dimana kehadiran intelijen tidak terlalu diperlukan lagi. Pelajaran dari Amerika Serikat Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997 lalu memberikan pelajaran berharga. Sebuah negara seperti Indonesia bisa ”ditenggelamkan” ke dalam krisis dengan menjatuhkan nilai mata uang302 nya. Karena krisis dan melemahnya nilai rupiah secara drastis, mengakibatkan hutang luar negeri meningkat secara drastis pula. Selain itu, untuk melakukan rekapitalisasi perbankan, pemerintah juga harus menerbitkan surat hutang yang memunculkan hutang dalam negeri dalam jumlah yang tidak kecil. Akibatnya, Indonesia harus meminta bantuan dari lembaga keuangan internasional seperti International Monetary Fund (IMF) dan World Bank. Implikasinya, kebijakan moneter Indonesia didikte oleh lembaga keuangan internasional dan praktis otoritas moneter Indonesia sesungguhnya telah ”berpindah” ke Washington. Dalam konteks pertahanan negara, sektor ekonomi sangat penting. Tetapi pertanyaannya, apakah intelijen juga harus masuk ke sektor ekonomi?8 Bagaimana koordinasi dengan Bank Indonesia sebagai otoritas sentral moneter? Lalu apakah BIN misalnya harus merekrut analis-analis ekonomi dan pasar modal karena ketahanan perekonomian negara ditentukan di pasar modal? Sebelum mendiskusikan peran BIN dalam intelijen ekonomi, perlu diperjelas istilah intelijen ekonomi. Tentang keterlibatan intelijen di bidang ekonomi, ada beberapa terminologi yang harus dipisahkan, terutama antara negara dan swasta serta mikro dan makroekonomi. Intelijen bisnis merupakan istilah yang merujuk pada aktivitas sebuah perusahaan yang mengumpulkan informasi tentang perusahaan lain yang dianggap sebagai pesaing. Dalam prakteknya, sektor bisnis intelijen bisnis juga melakukan seperti 8 Salah satu persoalan mendasar, pemerintah belum pernah mendefinisikan secara jelas ancaman terhadap pertahanan negara. Padahal dengan definisi yang jelas dan terukur, pembagian peran dan mekanisme koordinasi antara institusi-institusi di bidang pertahanan dan keamanan bisa diperjelas. Misalnya dalam hal pemberantasan terorisme. Selain polisi, TNI dan BIN juga mempunyai mandat dan tugas yang sama sehingga tumpang tindih, tidak terkoordinasi dan memboroskan sumberdaya. Selengkapnya baca ICG, Indonesia: Rethinking Internal Security Strategy, Jakarta/Brussel : International Crisis Group, 2004 hlm.9. 303 halnya intelijen negara, tidak hanya pengumpulan data dan analisis tetapi juga tindakan tertutup dan kontra intelijen. Jika pengumpulan informasi dilakukan secara tertutup (covert-action), maka disebut dengan spionase industri. Sedangkan intelijen ekonomi umumnya melibatkan pemerintah dan memiliki dua dimensi yakni mikroekonomi dan makroekonomi. Mikroekonomi intelijen merujuk pada tindakan intelijen oleh pemerintah untuk kepentingan kelompok bisnis di negaranya atau memata-matai perusahaan negara lain yang menjadi pesaing. Sedangkan makroekonomi intelijen merupakan kegiatan intelijen di bidang ekonomi untuk kepentingan negara sepenuhnya.9 Tabel di bawah ini bisa memberikan penjelasan singkat bagaimana pembagian peran antara intelijen yang dilakukan oleh pemerintah dan sektor bisnis. Tabel 2. Pembedaan Wilayah Kerja dan Sifat antara Intelijen Ekonomi yang Dilakukan Pemerintah dan Sektor Swasta Sektor Swasta Swasta – Pemerintah Pemerintah Intelijen bisnis Intelijen ekonomi (overt action) Spionase industri Intelijen mikroekonomi Intejelen makroekonomi (covert action) (covert action) (overt/covert action) Sumber: Loch K Johnson, Secret Agencies. US Intelligence in a Hostile World, New Haven dan London : Yale University Press, 1996, hlm.150 Dalam prakteknya, bagaimana intelijen bekerja di bidang ekonomi untuk kepentingan negara, dapat merujuk pada peran 9 Loch K Johnson, Secret Agencies. US Intelligence in a Hostile World, New Haven dan London : Yale University Press, 1996,hlm. 147-148 304 intelijen Amerika Serikat di sektor ekonomi. Mandat yang diberikan kepada komunitas intelijen untuk terlibat di sektor ekonomi dapat dilihat pada enam topik utama.10 Pertama, keterlibatan intelijen di sektor ekonomi untuk memastikan bahwa aturan-aturan perdagangan di dunia internasional dan investasi dilakukan secara adil. Informasi intelijen juga diperlukan untuk mengetahui apakah kompetitor bisnis dari negara lain tidak melakukan penyuapan dan praktek korupsi untuk mendapatkan kontrak. Tujuan utama dari pencarian informasi oleh intelijen adalah untuk meningkatkan daya saing Amerika Serikat di dunia internasional. Salah satu contoh menarik adalah lobi perusahaan minyak Amerika Serikat untuk mendapatkan kontrak di ladangladang minyak di negara lain guna mengamankan pasokan energi. Meskipun perusahaan-perusahaan tersebut adalah entitas swasta, tidak diragukan lagi adanya keterlibatan dan intervensi pemerintah, bahkan mungkin juga intelijen. Kedua, intelijen turut menyiapkan data dan informasi bagi delegasi yang akan mengikuti pertemuan bisnis internasional seperti World Trade Organization (WTO) Data yang diberikan intelijen akan memberikan informasi apa yang menjadi tuntutan negara-negara lain dan bagaimana sikap peserta pertemuan apabila keputusan dijatuhkan melalui pemungutan suara. Seperti diungkapkan oleh Joseph S. Nye, Jr., dalam perundingan-perundingan NAFTA, informasi tentang apa yang akan diminta oleh Meksiko tidak akan didapat dari sumber-sumber resmi seperti staf yang melakukan negosiasi atau dutabesar. Sebagian informasi tersebut justru berasal dari intelijen.11 Ketiga, kegiatan intelijen di sektor ekonomi menjadi penting, khususnya bagi Amerika Serikat, untuk memonitor penerapan 10 Ibid., hlm. 156 11 Ibid., hlm. 157 305 sanksi ekonomi yang dikenakan pada sejumlah negara. Para pengambil kebijakan akan membutuhkan informasi yang akurat apakah sanksi yang telah dijatuhkan benar-benar berjalan dan menimbulkan dampak dan tekanan seperti yang diharapkan. Salah satu contoh adalah sanksi dan embargo yang dijatuhkan pada Irak di bawah pemerintahan Saddam Husein beberapa tahun silam. Untuk memastikan apakah embargo dijalankan dengan baik, yang dimonitor bukanlah perbatasan Irak tetapi justru pasar minyak dunia, pasar gandum dan berbagai indikator perdagangan dan makroekonomi lainnya. Keempat, intelijen di Amerika Serikat merupakan bagian dari Komite Investasi Asing di Amerika Serikat (Committee on Foreign Investment in the United State). Komite ini beranggotakan perwakilan beberapa lembaga, terutama Departemen Perdagangan. Tugas intelijen adalah memasok data dan informasi tentang perdagangan di Amerika Serikat. Kelima, intelijen juga bertanggungjawab untuk memperbarui database pengusaha ”hitam” yang terlibat kegiatan pencucian uang, perdagangan senjata ilegal atau penyandang dana kelompok- kelompok teroris. Dalam aktivitas ini, intelijen bekerjasama dengan Departemen Keuangan, Bank Sentral dan Departemen Perdagangan. Keenam, ekonom yang bekerja untuk intelijen menjadi sangat diperlukan dalam perang melawan gembong narkotika. Seperti dikatakan oleh seorang ekonom di CIA, ”Money provide a mirror image of the real world” atau uang merupakan cermin dari realitas faktual.12 Dengan mengetahui perpindahan uang dan seluruh transaksi, intelijen bisa memonitor aktivitas kelompok-kelompok yang menjadi sasaran. 12 Ibid., hlm. 159 306 Bulan Juni 2006 lalu, CIA diberitakan oleh New York Times dan media massa lain mendapat akses dari Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication (SWIFT) yang berbasis di Brussel, Belgia. SWIFT merupakan perkumpulan antar bank dan lembaga keuangan di seluruh dunia untuk memudahkan proses transaksi antar bank antar negara. Di dalam SWIFT terhubung 7800 lembaga keuangan dari 205 negara di dunia. CIA memerlukan akses itu untuk melacak pendanaan teroris di seluruh dunia. Kabarnya keberhasilan penangkapan Hambali alias Riduan Isamuddin di Thailand karena akses dari SWIFT. Tetapi karena akses yang diberikan kepada CIA dianggap melanggar hukum setempat, maka pemerintah Belgia memutuskan untuk melakukan penyelidikan tentang persoalan tersebut13. Sama seperti aktivitas intelijen lainnya, di sektor ekonomi intelijen juga memainkan peran untuk mengumpulkan informasi, analisis, tindakan tertutup dan kontra-intelijen. Jika apa yang diungkapkan oleh John Perkins dalam bukunya, ”Confessions of an Economic Hit Man” adalah benar adanya, itu adalah contoh nyata bagaimana intelijen ekonomi dilakukan. Sebagai konsultan di perusahaan energi, John Perkins memberikan perkiraan yang menyesatkan sehingga negara-negara miskin seperti Indonesia, Panama dan negara Amerika Latin lainnya terjerat dalam hutang yang tidak mungkin terbayar dan akan patuh pada kepentingan Amerika Serikat. Dalam bentuk yang berbeda tetapi dengan tujuan sama, John Perkins juga mengaku turut merekayasa infrastruktur di negara kaya minyak seperti Saudi Arabia. John Perkins mengatur sedemikian rupa sehingga perekonomian Saudia Arabia terhubung erat dan 13 Lihat ”Terorist Finance Tracking Program” di http://en.wikipedia.org/wiki/SWIFT dan ”Belgia Selidiki Praktek Spionase CIA” di Radio Netherland Siaran Indonesia http:// www.ranesi.nl/arsipaktua/eropa/cia_belgia060627. 307 tergantung pada perekonomian Amerika Serikat. Ketergantungan itu menjadikan Saudi Arabia dan negara-negara sekutur Amerika di Timur Tengah tidak bisa lagi menjatuhkan embargo minyak. Karena kontraksi di perekonomian Amerika Serikat akan berakibat pada ekonomi di Timur Tengah. Bila perbankan dan pasar modal di Amerika kolaps, maka uang dari Timur Tengah yang diinvestasikan akan turut amblas juga. Intel dan Ekonomi di Indonesia Lalu bagaimana dengan peran intelijen di luar bidang pertahanan di Indonesia? Keterlibatan BIN dalam pemberantasan uang palsu atau sebagai pemberi rekomendasi untuk percetakan kertas berpengaman adalah salah satu keterlibatan intelijen Indonesia di bidang ekonomi. Uang palsu yang beredar dalam jumlah besar bisa mengakibatkan inflasi dan menyeret perekonomian negara ke dalam krisis. Oleh karena itu, soal peredaran uang palsu dianggap sebagai salah satu aspek dari pertahanan negara, khususnya pertahanan di bidang ekonomi. Argumen ini yang mendasari mengapa Soeharto memberikan wewenang koordinasi pada BIN dalam pemberantasan uang palsu melalui Inpres No.1 Tahun 1971. Pada bagian ”menimbang” dalam Inpres disebutkan, ”bahwa adanya peredaran uang rupiah palsu dapat merupakan ancaman terhadap stabilisasi ekonomi dewasa ini”. Keterlibatan intelijen, saat itu Bakin, dalam uang palsu dipicu oleh informasi dari CIA tentang kedatangan pengusaha dari Amerika, Bernard Tractman. Bisnis Tractman tidak sepenuhnya legal karena menurut informasi yang diperoleh CIA, Tractman adalah pemimpin dari sindikat pemalsuan uang internasional.14 14 Ken Conboy, Intel. Inside Indonesia’s Intelligence Service, Jakarta: Equinox Publishing, 2005, hlm. 81 308 Tetapi dalam perkembangannya, keterlibatan BIN dan komunitas intelijen Indonesia di bidang ekonomi perlu ditimbang kembali. Ada beberapa kasus menarik yang bisa menjadi titik pijak untuk meredefinisi peran intelijen di bidang ekonomi. Pertama, globalisasi pasar modal. Globalisasi ekonomi, khususnya pasar uang, berimplikasi pada perputaran uang dengan cepat. Modal bisa berpindah dalam hitungan detik. Karena itu, ketahanan negara terutama di bidang ekonomi, bisa dilihat pada pasar uang. Salah satu ancaman yang mengemuka adalah spekulan uang yang bisa menjatuhkan nilai mata uang dalam waktu singkat. George Soros, sebagai contoh, dituding sebagai pemicu krisis mata uang di kawasan Asia Tenggara yang menyeret pada krisis ekonomi. Tidak hanya negara-negara di Asia Tenggara, bahkan Bank of England sebagai otoritas moneter Inggris pun pernah kelabakan menghadapi sepak terjang George Soros dan spekulan mata uang lainnya. Memang soal uang palsu sangat penting dan bisa mengganggu perekonomian, tetapi arena utama ketahanan negara kini berada di pasar uang. Apakah intelijen dalam rangka menjaga ketahanan negara turut masuk ke pasar uang dan melakukan kegiatan intelijen bisnis? Apakah intelijen memiliki kompetensi untuk menjaga stabilitas rupiah dan mampu menghadapi spekulan macam George Soros? Kedua, intelijen perlu masuk ke sektor ekonomi untuk mengamankan informasi tentang potensi ekonomi dan sumber daya alam di Indonesia.15 Terutama agar informasi tentang sumber daya alam di Indonesia tidak jatuh dan dimanfaatkan oleh kepentingan musuh. Akan tetapi di dunia yang semakin mengglobal, informasi tentang sumber daya alam di Indonesia tidak terlalu perlu didapatkan melalui pengiriman atau perekrutan agen. Bukankah melalui globalisasi ekonomi kini lebih efektif membeli perusahaan di Indo- 15 Ikrar Nusa Bhakti, Op.Cit., hlm. 16 309 nesia? Dengan memiliki perusahaan lokal, secara aman dan jauh dari resiko skandal diplomatik, pihak asing memiliki informasi tentang sumberdaya alam di Indonesia. Belum lagi soal penguasaan teknologi. Bisa jadi dengan teknologi yang lebih maju, pihak asing mampu terlebih dahulu mendeteksi sumberdaya alam di Indonesia. Ketiga, soal ketahanan negara di bidang komunikasi. Kasus yang menarik untuk didiskusikan adalah privatisasi Indosat. Bersama Telkom, Indosat menguasai infrastruktur komunikasi yang vital di Indonesia. Posisi Indosat sangat strategis karena Indosat adalah perusahaan yang mengoperasikan sejumlah satelit komunikasi. Tahun 2003, Indosat dijual kepada Temasek, BUMN milik pemerintah Singapura. Sejumlah pihak memprotes penjualan tersebut. Salah satu argumentasi adalah Indosat menguasai infrastruktur telekomunikasi di Indonesia dan dengan menjual ke Singapura, komunikasi satelit di Indonesia akan dikuasai oleh Singapura sepenuhnya. Apalagi Singapura melalui Temasek juga telah membeli Telkomsel, anak perusahaan Telkom yang menyediakan jasa layanan telepon bergerak. Dikhawatirkan, bila suatu waktu terjadi sengketa antara Indonesia dengan Singapura, hampir sebagian besar sarana komunikasi akan dapat dimacetkan oleh Singapura. Karena itu dalam soal komunikasi, Indonesia tidak berdaulat lagi. Di tengah gemuruh protes atas nama nasionalisme itu, kita tidak melihat bagaimana sikap dari intelijen dan otoritas pertahanan Indonesia lainnya. Mungkin penjualan Indosat dianggap tidak terkait dengan pertahanan di Indonesia atau bisa jadi otoritas pertahanan tidak pernah diajak bicara oleh BPPN atau Menteri BUMN. Atau mungkin saja soal penguasaan telekomunikasi atau sumber daya alam saat ini dipandang tidak ada kaitan secara nyata dengan ketahanan sebuah negara. Terutama karena proses globalisasi telah menjadikan sejumlah perusahaan multinasional bahkan lebih berkuasa dibandingkan negara, baik dalam soal finansial maupun secara politik. 310 Aspek lain yang justru agak dilalaikan oleh intelijen di Indonesia adalah kejahatan terorganisir seperti illegal logging. Intelijen praktis tidak memiliki data yang memadai dan mampu membuat analisis seperti yang dilakukan oleh lembaga penelitian swasta atau organisasi non pemerintah. Padahal dari sektor itu, Indonesia dirugikan dalam jumlah besar. Apalagi illegal logging adalah kejahatan terorganisir. Tidak hanya melibatkan para pejabat korup di departemen kehutanan atau di pemerintah daerah, cukong illegal logging adalah bagian dari sindikat internasional yang beroperasi hingga ke Amerika Selatan. Kalau pun intelijen di Indonesia masih perlu masuk ke sektor ekonomi bisnis, cakupannya harus dirumuskan secara jelas. Tidak ada perlunya lagi BIN mengurusi uang palsu, apalagi ikut mengatur bisnis percetakan dan perdagangan printer berwarna. Justru sebaiknya BIN konsentrasi pada pengumpulan informasi pada kejahatan terorganisir dan bersifat transnasional. Misalnya BIN bisa melakukan pengumpulan informasi atau intelijen mikroekonomi tentang kejahatan illegal logging, illegal fishing, narkotika dan berbagai penyelundupan lainnya. Menggunakan jaringannya, BIN bisa mengumpulkan informasi jauh lebih baik dibandingkan lembaga penelitian atau kepolisian tentang sektor bisnis di beberapa negara yang diduga menjadi bagian dari praktek kejahatan tersebut. Pengawasan Intelijen Persoalan lain terkait keterlibatan intelijen di luar sektor pertahanan tradisional adalah pengawasan terhadap intelijen. Kewenangan yang ada pada BIN untuk memberikan rekomendasi kepada perusahaan percetakan dokumen berpengaman memiliki peluang untuk disalahgunakan. Kondisi ini terkait juga dengan tugas intelijen karena sebagai pemberi rekomendasi, BIN tidak lagi berfungsi mengumpulkan informasi, analisis atau fungsi-fungsi lain. 311 Juga keterlibatan sejumlah personel BIN dalam pembuatan uang palsu bukan sekedar penyimpangan oleh segelintir anggota. Tindakan itu berakar pada kewenangan untuk melakukan tindakan secara diam-diam. Dalam dunia intelijen yang ”remang-remang” itu praktis pengawasan tidak bisa berjalan dengan baik layaknya departemen lainnya. Karena itu perlu dibuat aturan yang tegas. Beberapa hal yang diatur terkait dengan pengawasan intelijen adalah sebagai berikut. Pertama, larangan keterlibatan personel BIN dalam bisnis. Memang bisnis menjadi salah satu cover sempurna bagi intelijen. Seringkali agen dikirim ke luar negeri sebagai perwakilan perusahaan atau mengikuti misi dagang. Tetapi, hal tersebut harus benarbenar diatur bahwa keterlibatan personel intelijen adalah dalam rangka tindakan tertutup, bukan untuk mencari keuntungan. Terutama karena sebagai personel intelijen berpotensi untuk menyalahgunakan wewenang sangat besar. Salah satu aturan yang perlu dibuat adalah kode etik yang mengikat intelijen serta mekanisme penegakan hukum bagi mereka yang terlibat dalam berbagai penyimpangan. Tetapi kode etik juga bisa tidak berjalan jika pucuk pimpinan instansi intelijen justru terlibat dalam penyelewengan itu. Karena itu harus disiapkan mekanisme untuk mengawasi dan mengontrol pimpinan badan intelijen agar tidak terlibat dalam bisnis dan melakukan penyimpangan. Untuk itu, peran parlemen sangat diperlukan. Kedua, parlemen harus mendapat kewenangan untuk mengawasi intelijen. Memang di dalam intelijen ada beberapa hal yang harus dirahasiakan dan berlawanan dengan prinsip-prinsip demokrasi seperti transparansi dan akuntabilitas publik. Tetapi kewenangan yang luar biasa pada intelijen itu harus dikontrol secara ketat. Seperti pengalaman negara-negara lain, pengawasan oleh parlemen tidak dilakukan oleh parlemen secara luas. Pengawasan dilakukan dengan membentuk komisi khusus yang disumpah 312 untuk menjaga kerahasiaan. Melalui komisi khusus ini parlemen bisa mengawasi intelijen, termasuk soal pendanaan dan operasioperasi intelijen. Anggaran adalah aspek penting dari kontrol, terutama mencegah intelijen mendapatkan sumber keuangan di luar negara. Karena jika intelijen memiliki sumber dana di luar negara, intelijen akan memiliki otonomi dan bisa melakukan tindakan di luar kebijakan politik yang telah digariskan. Ketiga, intelijen juga harus mengikuti prinsip-prinsip keuangan negara. Karena itu, intelijen harus diaudit secara rutin oleh Badan Pemeriksa Keuangan. Tetapi bagaimana melakukan audit untuk operasi intelijen? Juga bagaimana pengadaan barang dan jasa di lingkungan intelijen? Tentu diperlukan mekanisme yang berbeda dengan departemen lainnya16. Untuk laporan keuangan, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) harus mendapat akses penuh untuk melakukan audit, termasuk dana-dana operasi intelijen. Hanya saja, publikasi laporan audit dipisahkan. Audit lengkap bisa diberikan kepada Komisi Khusus Intelijen sedangkan laporan audit secara umum bisa diberikan kepada parlemen dan publik. Pengawasan keuangan terhadap intelijen sangat penting karena kontrol terhadap keuangan menjamin kontrol pemerintah demokratis terhadap intelijen. Jangan sampai intelijen memiliki sumber dana sendiri karena bisa mendorong intelijen memiliki agenda sendiri yang bisa jadi berlawanan dengan kebijakan pemerintah. Pengawasan atas anggaran juga diperlukan untuk mencegah inteli- 16 Dalam pengadaan barang dan jasa di pemerintah, soal kerahasiaan kerap menjadi alasan untuk tidak melakukan proses tender sebagaimana diatur dalam Keppres No. 80 tahun 2003 tentang Pengadaan Barang dan Jasa. Dalam kasus pengadaan blangko kependudukan di Departemen Dalam Negeri misalnya, karena ada keterlibatan BIN sebagai pemberi rekomendasi perusahaan percetakan kertas berpengaman, pengadaan dianggap rahasia dan ujung-ujungnya muncul dugaan korupsi. 313 jen terlibat dalam tindak kejahatan, seperti pemalsuan uang, untuk mendanai aktivitasnya. Demikian juga halnya dengan pengadaan barang dana jasa di lingkungan intejelen. Karena sifat intelijen yang tertutup, tentu prosedurnya berbeda dengan pengadaan barang dan jasa di departemen lainnya. Salah satu mekanisme untuk mencegah agar pengadaan barang dan jasa di lingkungan intejen tidak berujung pada korupsi, diperlukan komisi pengawas khusus yang mendapat akses untuk meneliti seluruh proses dan dokumen pengadaan barang dan jasa di lingkungan intelijen. REFERENSI Buku dan Artikel dalam Buku Bhakti, Ikrar Nusa. 2005. ”Intelijen dan Keamanan Negara”. dalam Andi Widjajanto. et. al. Reformasi Intelijen Negara. Pacivis UI. Jakarta. Born, Hans dan Ian Leigh. 2005. Making Intelligence Accountable: Legal Standards and Best Practice. Publishing House of The Parliament of Norway. Oslo. Conboy, Ken. 2004. Intel. Inside Indonesia’s Intelligence Service. Equinox Publishing. Jakarta. Imparsial. 2005. Evaluasi Kinerja BIN di Masa Transisi dan Catatan untuk Reformasi BIN. Jakarta. ICG. 2004. Indonesia: Rethinking Internal Security Strategy. International Crisis Group. Jakarta/Brussel. Johnson, Loch K. 1996. Secret Agencies. US Intelligence in a Hostile World. Yale University Press. New Haven dan London. 314 Lowenthal, Mark M. 2003. Intelligence. From Secrets to Policy. CQ Press. Washington DC. Perkins, John. 2004. Confessions of an Economic Hit Man. Berrett- Koehler Publishers, Inc. San Fransisco. Scott, LV and Jackson, Peter. (ed). 2004. Understanding Intelligence in The Twenty-First Century. Journeys in Shadows. Routledge. London. Widjajanto, Andi, et. al. 2006. Intelijen: Velox et Exactus. Pacivis UI. Jakarta Widjajanto, Andi. et. al. 2005. Reformasi Intelijen Negara. Pacivis UI. Jakarta. Artikel Media Massa Bisnis Indonesia, 30 Juni 2006 Tempo, 2-8 Januari 2006 Trust No.17 Th. III, 24-30 Januari 2005 Situs Internet ”Terorist Finance Tracking Program, dalam http://en.wikipedia. org/wiki/SWIFT ”Belgia Selidiki Praktek Spionase CIA” dalam http://www.ranesi. n1/arsipaktua/eropa/cia_belgia060627 315 Wewenang Penangkapan Intelijen Tidak Diperlukan! Oleh : A. Patra M. Zen1 Pengantar Tulisan singkat ini akan mendeskripsikan sekaligus menganalisis peran badan intelijen dalam sistem negara demokrasi, khususnya berkaitan dengan adanya keinginan memasukan kewenangan penangkapan dalam UU tentang Intelijen Negara. Analisis terhadap tema ini menggunakan disiplin hukum pidana dan hukum hak asasi manusia. 1 Saat ini Wakil Ketua Bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia pada Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI); Koordinator Sekretariat Nasional Koalisi Kebijakan Partisipatif (Seknas KKP), dan; Ketua Perkumpulan Masyarakat Jakarta Peduli Papua (Pokja Papua). Penulis, editor dan co-editor buku, antara lain: Buku Panduan Bantuan Hukum di Indonesia (2006); Inkonsistensi dan Separatisme Jakarta: Mengapa Tanah Papua Terus Bergolak? (2005); Tak Ada Hak Asasi yang Diberi (2005); Sengketa Konstitusional Lembaga-lembaga Negara (2005); Membangun Koalisi yang Otoritatif Dalam Menilai Proses Pembentukkan Perundang-undangan yang Partisipatif (2005); Refleksi dan Penyusunan Strategi Mewujudkan Partisipasi Masyarakat dalam Penyusunan Peraturan Perundang-undangan (2005); Buku Pintar. 316 Tulisan yang akan disusun, dengan merujuk pada RUU Intelijen Negara versi 10 Maret 2006, yang akan disusun menjadi 3 bagian utama: Pertama, mendeskripsikan masalah ”penangkapan” dalam hukum yang berlaku saat ini, sehingga didapat gambaran mengenai kewenangan dan prosedur yang berlaku tentang urusan menangkap seseorang. Kedua, selanjutnya, tulisan ini mendeskripsikan praktik dan permasalahan berkaitan dengan wewenang lembaga intelijen, jika memainkan peran sebagai aparat polisionil dan yudisial, sebagaimana dimuat dalam 12 RUU Intelijen Negara. Tulisan ini juga menganalisis pro dan kontra tentang kewenangan ini, termasuk wewenang lembaga intelijen untuk melakukan penangkapan. Ketiga, tulisan ini memuat rekomendasi terhadap rumusan dalam Rancangan Undang-undang Intelijen. Berdasarkan hasil seminar dan lokakarya (Semiloka) yang diselenggarakan Yayasan LBH Indonesia di tiga kota membahas rancangan undang-undang intelijen2, dihasilkan sejumlah poin yang mengkritik RUU ini.3 Dalam isu kerangka paradigmatik, yang mencakup asas, filosofis, kelembagaan, fungsi dan wewenang, serta dampak dan implikasi UU – yang nantinya ditetapkan terhadap peraturan perundang-undangan lain, hasil Semiloka mencatat sejumlah hal yang masih perlu diklarifikasi, antara lain apakah undang-undang ini nantinya dijadikan sebagai undang-undang 60 Menit Memahami (Mengawasi) Penyusunan Peraturan Perundang-undangan (2005); Naskah Akademik Rancangan Undang-undang tentang Pengadaan Barang dan Jasa Publik (2004); Considering General Election in Aceh under the Martial Law (2004); Koalisi Partisipasi (2003), dan Hukum Perdata di Indonesia (2001). Kritik dan saran dapat melalui patra.m.zen@gmail. com 2 Draft RUU yang digunakan pada saat penyelenggaraan Semiloka, versi 25 Januari 2005 dan versi 5 September 2003. 3 Lihat YLBHI, ”Menggagas Peran TNI dan Badan Intelijen dalam Sistem Negara Demokrasi”, Laporan Proyek Kerjasama antara Kemitraan (PGRI) dan YLBHI. Teks dapat dilihat di http://ylbhi.or.id/index.php?cx=3&cy=1&op=13 317 yang akan mengatur seluruh badan intelijen yang ada saat ini. Selanjutnya, hal-hal yang perlu dibenahi antara lain: 1. Perlunya UU memuat jaminan dan perlindungan hak asasi manusia dan prinsip-prinsip demokrasi, terutama dalam klausul Menimbang dan Mengingat. 2. Perumusan dan sinkronisasi lembaga intelijen yang sudah ada saat ini. 3. Posisi ”badan intelijen negara” dalam ketatanegaraan. 4. Penghapusan wewenang intelijen dalam melakukan penangkapan dan kewenangan-kewenangan lain yang bersifat pro-justisia. 5. Fungsi pengawasan terhadap badan intelijen. Dari luasnya spektrum isu yang dimuat dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Intelijen, maka tulisan ini akan dibatasi hanya terhadap isu tentang pembatasan atau penghapusan kewenangan badan intelijen dalam melakukan tindakan penangkapan dan penahanan seseorang. Walaupun sempat dinyatakan As’ad Said, selaku Wakil Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), bahwa draf RUU Intelijen versi BIN tidak akan memuat kewenangan untuk melakukan penangkapan dan penahanan4, dalam perkembangannya, RUU tentang Intelijen Negara, Draf 10 Maret 2006, memuat kewenangan ”illegal” ini. Pasal 12 ayat (1), RUU Intelijen Negara, menyatakan: ”…berdasarkan Undang-Undang ini BIN dalam melakukan aktivitas intelijen memiliki kewenangan khusus untuk melaku- 4 As’ad sempat menyatakan draf RUU Intelijen tidak satu pun yang memuat ketentuan penahanan dan penangkapan seseorang. Bahkan ia menyatakan adanya draft liar atau palsu yang beredar dimasyarakat. Ditegaskannya, kewenangan penahanan dan penangkapan hanya dimiliki oleh kepolisian. Lihat ”RUU Intelijen bisa Menghalalkan segala Cara....Ibarat Kopkamtib Gaya Baru di Era Demokrasi”, Bali Post, 7 Maret 2003 318 kan penangkapan terhadap seseorang dalam rangka interogasi, menyadap, memeriksa rekening dan membuka surat setiap orang berdasarkan laporan intelijen membahayakan kepentingan dan keamanan nasional serta keselamatan Warga Negara Indonesia.” RUU tersebut semestinya tidak memasukkan pasal yang memberi ”kewenangan khusus” tersebut. Tulisan ini akan menguraikan argumen mengapa kewenangan khusus ini harus dihapus. Secara singkat dapat dikatakan, wewenang khusus yang hendak diberikan kepada intelijen negara bukan menyelesaikan persoalan melainkan menambah persoalan dinegeri ini. Jika merujuk pada teori hukum, peraturan perundang-undangan seharusnya menjadi subjek sebuah prosedur yang memenuhi prinsip-prinsip pokok, antara lain aturannya mesti dapat dijalankan dikemudian hari serta konsisten dengan aturan hukum yang lain.5 A. Tindakan Penangkapan dalam Hukum Positif di Indonesia Terdapat prinsip yang diikuti, sejak zaman Belanda, yakni kasus-kasus yang dapat diproses dalam sistem peradilan pidana, hanya melalui aparat kepolisian.6 Sementara, berdasarkan standar hukum internasional, penangkapan dan penahanan tersangka hanya dapat dilakukan oleh otoritas yang berwenang dan penggunaan kekuasaan ini mesti diawasi petugas peradilan atau badan yang berwenang menurut hukum untuk memastikan jaminan terhadap 5 Lihat antara lain Lon Fuller, The Morality of Law, CT: Yale University Press, 1964, hlm. 38 – 39. 6 Lihat antara lain M.L.Hc. Hulsman, Soedjono Dirdjosisworo (penyadur), Sistem Peradilan Pidana Dalam Perspektif Perbandingan Hukum, Jakarta: Rajawali, 1984, hlm. 27. 319 kompetensi kemandirian (independensi) dan ketidakberpihakan (imparsialitas).7 Sebagai contoh, prinsip tersebut juga berlaku dalam UU No. 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK). Dalam pasal 38 ayat (1), kewenangan KPK yang berkaitan dengan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, termasuk kewenangannya untuk melakukan penangkapan.8 Namun, untuk melaksanakan kewenangan penangkapan ini, KPK tetap meminta bantuan kepolisian, untuk melakukan penangkapan dalam perkara pidana korupsi yang sedang ditangani.9 Sebelum masuk dalam pembahasan tentang ”penangkapan”, perlu diuraikan terlebih dulu beberapa definisi. Pertama, penyelidikan, yakni ”serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan…”.10 Kedua, penyidikan, yakni: ”serangkaian tindakan penyidik…untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.”11 Selanjutnya, ketiga, penyelidik, yakni ”pejabat polisi negara RI”.12 Keempat, penyidik, yakni ”pejabat polisi negara RI atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan”.13 7 Kumpulan Prinsip-prinsip PBB untuk Perlindungan Semua Orang dalam Penahanan dan Pemenjaraan, Prinsip ke-4. GA Resolution 43/173, 9 December 1988. Body of Principle for the Protection under Any Form of Detention or Imprisonment. 8 Lihat UU No. 30/2002, Penjelasan Pasal 38 ayat (1). 9 UU No. 30/2002, Pasal 12 huruf h. 10 UU No. 8/1981 tentang KUHAP, Pasal 1 angka 5. 11 Ibid, Pasal 1 angka 2. 12 Ibid., Pasal 1 angka 4. 13 Ibid, Pasal 1 angka 1. Penyidik, sekurang-kurangnya berpangkat Pembantu Letnan Dua. Lihat M. Karjadi dan R. Soesilo. 1997. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dengan Penjelasan Resmi dan Komentar. Cetak Ulang. Bogor: Politeia, hlm. 16. 320 Kelima, penyidik pembantu, yakni ”pejabat kepolisian negara RI yang karena diberikan wewenang tertentu dapat melakukan tugas penyidikan”.14 Dalam hukum acara pidana, dikenal juga ”penyidik” yang bukan berasal dari aparat kepolisian, seperti pejabat bea dan cukai, pejabat imigrasi dan pejabat kehutanan, yang menjalankan tugas penyidikan sesuai dengan wewenang khusus berdasarkan undangundang yang mengatur khusus dan menjadi dasar hukumnya masing-masing.15 Sebagai catatan, dalam konteks ini, dalam praktik, pegawai negeri sipil tertentu melakukan tindakan penangkapan dalam kasus pelaku kejahatan ”tertangkap tangan”. Di luar kasus ”tertangkap tangan”, dalam melaksanakan penangkapan dan penahanan, pejabat pegawai negeri sipil tertentu, melakukan kewenangannya, dalam koordinasi dan pengawasan penyidik kepolisian, sesuai dengan KUHAP.16 Sebagai tambahan, dalam kasus kejahatan berat hak asasi manusia, Jaksa Agung sebagai penyidik juga dapat melakukan penangkapan untuk kepentingan penyidikan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan kejahatan hak asasi manusia yang berat berdasarkan bukti permulaan yang cukup.17 Prosedur penangkapan juga serupa dengan prosedur yang berlaku dalam KUHAP. Dalam hukum positif yang berlaku, dasar untuk melakukan penangkapan yakni: KUHAP, Undang-Undang (UU) No. 2/2002 tentang Kepolisian Negara RI dan Laporan Polisi. Semestinya RUU Intelijen Negara tidak menabrak aturan-aturan ini. Memasukan 14 UU No. 8/1981, Pasal 1 angka 3. Penyidik Pembantu, berpangkat Sersan Dua sampai dengan Sersan Mayor dan anggota kepolisian yang diangkat oleh Kapolri. Lihat M. Karjadi dan R. Soesilo. Ibid. 15 Lihat juga M. Karjadi dan R. Soesilo. Ibid. , hlm. 18. 16 Lihat antara lain, UU No. 41/1999 tentang Kehutanan , Pasal 77 ayat (2) huruf f. 17 UU No. 26/2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Pasal 11. 321 ide atau konsep ”wewenang khusus” bagi intelijen negara dapat mengakibatkan kegagalan dan kesalahan dalam sistem hukum.18 Tabel 1 Aturan tentang Penangkapan dalam KUHAP 18 Lon Fuller sempat menyatakan bahwa terpenuhinya prosedur penyusunan peraturan hukum harus dilakukan agar mampu mewujudkan sebuah sistem hukum. Sebuah sistem hukum yang tidak dapat berjalan dengan maksimal, sebenarnya tidak dapat disebut sebuah sistem hukum sama sekali. Lihat Leon Fuller. Op.cit., hlm. 39. Undang-Undang Pasal Ketentuan UU No. 8/1981 tentang Kitab Undang- Undang Hukum 5 ayat (1)b angka 1 7 ayat (1)d 11 16 17 18 Penyelidik atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan Penyidik karena kewajibannya mempunyai wewenang melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan Penyidik pembantu mempunyai wewenang dalam pasal 7 ayat (1), kecuali mengenai penahanan yang wajib diberikan dengan pelimpahan wewenang dari penyidik (1) Untuk kepentingan penyelidikan, penyelidik atas perintah penyidik berwenang melakukan penangkapan (2) Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dan penyidik pembantu berwenang untuk melakukan penangkapan Perintah penangkapan dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. (1) Pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh petugas kepolisian negara Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta mencantumkan identitas tersangka dan 322 menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa. (2) Dalam hal tertangkap tangan penangkapan dilakukan tanpa surat perintah, dengan ketentuan bahwa penangkap harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada penyidik atau penyidik pembantu yang terdekat. (3) Tembusan surat perintah penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan. (1) Penangkapan sebagaimana dimaksud dalam pasal 17, dapat dilakukan untuk paling lama 1 hari. (2) Terhadap tersangka pelaku pelanggaran tidak diadakan penangkapan kecuali dalam hal ia telah dipanggil secara sah dua kali berturut-turut tidak memenuhi panggilan itu tanpa alasan yang sah. 19 Dalam tindakan pro-justisia berupa penangkapan untuk kepentingan penyelidikan atau penyidikan, paling tidak ada dua alasan yang biasanya dijadikan dasar pertimbangan untuk Surat Perintah Penangkapan, yakni: (1) untuk kepentingan penyelidikan dan atau penyidikan tindak pidana, dan atau bagi pelaku pelanggaran yang telah dipanggil 2 (dua) kali berturut-turut tidak datang tanpa alasan yang sah”. Pertimbangan lain, (2) untuk kepentingan penyidikan tindak pidana, perlu untuk melakukan tindakan penangkapan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Surat perintah ini dibuat secara khusus, dan dikeluarkan sebelum penangkapan dilakukan.19 19 Lihat M. Karjadi dan R. Soesilo. Op.cit., hlm. 25. 323 Pengecualian hanya berlaku pada kasus seseorang tertangkap tangan melakukan tindak pidana, yang dapat ditangkap tanpa adanya Surat Perintah Penangkapan, sebagaimana ketentuan Pasal 18 ayat (2) KUHAP.20 Bukti permulaan yang cukup, mempunyai arti, bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana yang dilakukan tersangka.21 Selanjutnya, definisi tersangka, yakni seseorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan diduga sebagai pelaku tindak pidana.22 M. Karjadi dan R. Soesilo menyatakan: ”Menurut bunyi pasal 17 ini orang tidak boleh dengan gegabah melakukan penangkapan terhadap seseorang. Untuk itu perlu adanya ”dugaan keras” bahwa orang itu melakukan tindak pidana berdasarkan ”bukti permulaan yang cukup”. Atas dugaan saja tanpa bukti misalnya orang tidak boleh ditangkap…Walaupun sudah ada petunjuk untuk mendakwa seseorang, akan tetapi orang itu dibiarkan saja bebas, sementara penyidikan terus dilakukan. Jikalau bukti-buktinya telah cukup terkumpul, barulah terhadapnya dilakukan penangkapan”23 Penangkapan yang dilakukan untuk kepentingan penyelidikan dan penyidikan, dilakukan berdasarkan surat perintah penangkapan yang dikeluarkan instansi kepolisian, dalam hal ini ditandatangani oleh penyidik. Sehingga, tidak semua aparat kepolisian, dapat melakukan penangkapan. Hanya aparat kepolisian selaku penyelidik atau penyidik, yang nama-namanya diberikan wewenang 20 Periksa juga UU No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah, Pasal 36 ayat (4) huruf a; UU No. 22/2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD, Pasal 106 ayat (4). 21 UU No. 8/1981, Pasal 17. 22 Ibid., Pasal 1 angka 14. 23 M. Karjadi dan R. Soesilo. Op.cit., hlm. 26. 324 berdasarkan surat perintah, yang dapat melakukan penangkapan terhadap seseorang yang namanya juga dicantumkan dalam surat perintah penangkapan. Surat Perintah Penangkapan, wajib diserahkan kepada tersangka atau 1 (satu) lembar tembusannya kepada keluarga tersangka. Surat penangkapan, berlaku pada tanggal surat perintah dikeluarkan. Selanjutnya, setelah penangkapan dilakukan, mesti dibuat Berita Acara Penangkapan. Dengan menggunakan proses hukum semacam itu, maka diharapkan tidak terjadi penangkapan dan penahanan sewenangwewenang. Dalam konteks tersebut, maka peran intelijen adalah membantu pihak kepolisian, selaku penyelidik, untuk mengumpulkan informasi atau bukti permulaan (yang cukup) sehingga penyidik dapat melakukan tindakan penangkapan. B. Kewenangan Penangkapan oleh Intelijen Mesti Ditiadakan Dapat dikatakan, argumen pro terhadap kewenangan badan intelijen negara untuk melakukan penangkapan, didukung oleh pejabat Badan Intelijen Negara (BIN). Sebagai contoh, argumen yang dikemukakan Abdullah Mahmud Hendropriyono saat menjabat Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), yang menyatakan bahwa penangkapan seseorang oleh aparat intelijen bukan untuk dihukum melainkan orang tersebut akan digunakan untuk menyusup.24 Sementara, Syamsir Siregar malah meminta kewenangan melakukan penangkapan untuk 3 x 24 jam, melebihi aturan dalam KUHAP yang hanya diperbolehkan 1 x 24 jam.25 Selebihnya, tentu pandangan dan pendapat yang berisi kekhawatiran serta argumen menolak adanya kewenangan ini. 24 ”Intelijen Minta Kewenangan Menangkap” dalam http://www.tempointeraktif.com/ hg/nasional/2004/09/23/brk,2004923-01,id.html 25 Lihat ”BIN Desak UU Intelijen” Kompas. 25 November 2005 , ”BIN Minta Kewenangan Menangkap Orang” dalam http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2005/11/24/ brk,20051124-69674,id.html 325 Salah satu argumen yang juga seringkali dikemukakan, mengapa ”intelijen negara” perlu diberi wewenang penangkapan yakni dalam rangka ”mencegah” atau ”menanggulangi” kejahatan terorisme.26 Argumen ini sangat mudah ditolak karena beberapa hal. Solusinya adalah meningkatkan kualitas aparat kepolisian. Struktur komando dan infrastruktur kepolisian (Polri) sudah terbentuk, dari tingkat pusat (Markas Besar) Kepolisian RI; ditingkat I (Mapolda); ditingkat II (Mapoltabes; Polresta dan Mapolres), selanjutnya di tingkat yang lebih rendah lagi (Mapolsekta dan Polsek). Selain itu, kepolisian RI paling tidak telah memiliki 2 badan yang berkaitan dengan pencegahan dan penanggulangan ”terorisme”, yakni Direktorat VI/Anti Teror, yang dipimpin seorang Brigadir Jenderal (Pol) dan Detasemen Khusus 88 Anti Teror, yang juga dikepalai Brigadir Jenderal (Pol). Selanjutnya, setidaknya ada 3 permasalahan pokok yang dikandung dalam kewenangan penangkapan oleh ”intelijen negara”, hal tersebut dapat dideskripsikan sebagai berikut: Wewenang penangkapan merupakan bagian dari proses penegakan hukum, di luar itu penangkapan yang dilakukan dapat disebut sebagai penangkapan dan penahanan sewenang-wenang (arbitrary arrest and detention).27 Permasalahannya, pokok pertama, karena aparat badan intelijen bukanlah aparat penegak hukum, maka kewenangan ini bertentangan prinsip due process of law.28 26 Lihat antara lain komentator pro-kewenangan penangkapan, seperti pernyataan Syamsir Siregar, Kepala BIN, pengamat intelijen Wawan H. Purwanto. Lihat ”BIN Minta Kewenangan Menangkap Orang”, Loc.cit , ”BIN Desak UU Intelijen” Kompas, 25 November 2005 , ”BIN Minta Diberi Kewenangan Memeriksa”, Republika Online, 25 November 2005 , ”BIN Jangan Diberikan Wewenang Menangkap”, Kompas, 8 Oktober 2004. 27 Lihat UU No. 12/2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional mengenai Hak-hak Sipil dan Politik, Pasal 9. Lihat juga UN doc. GA Resolution 40/144 of 13 December 1985. Declaration on the Human Rights of Individuals Who are not Nationals of the Country in which They Live, art. 5(1)a. 326 Karenanya, tidak mengherankan praktik badan intelijen yang menangkap orang secara sewenang-wenang dan tanpa adanya pertanggungjawaban selalu terjadi, sejak zaman Orde Baru – sebagaimana juga dinyatakan Sutiyoso, Gubernur DKI Jakarta29 dan advokat senior Adnan Buyung Nasution30, hingga kasus penangkapan Umar Al-Faruq dan Muhammad Saad Iqbal Madni, warga Mesir yang ditangkap pejabat BIN, yang kemudian langsung diserahkan kepada pihak asing, tanpa pertanggung jawaban.31 Kedua, masalah dualisme kewenangan antara kepolisian dengan badan intelijen. Masalah ini, pernah disampaikan oleh Wakil Presiden Hamzah Haz pada masa pemerintahan Megawati. Hamzah ketika itu sempat menyatakan kewenangan melakukan penangkapan, jika diberikan kepada badan intelijen, akan melahirkan kontroversi yang dapat meresahkan masyarakat serta menimbulkan ketidakpastian hukum.32 Pendapat yang sama juga pernah dikemukakan Yusril 28 Prinsip ”due process of law”, secara singkat didefinisikan prosedur hukum yang semestinya. Prinsip ini mempunyai lingkup pengertian hak semua orang untuk mendapat jaminan dan perlindungan oleh hukum dan proses hukum yang diberlakukan terhadapnya. Jaminan hukum ini antara lain hak setiap orang untuk dilindungi dari tindakan sewenang-wenang yang dilakukan aparat Negara. Prinsip ini juga seringkali dikaitkan dengan, hak untuk hidup dan kebebasan individual. Lihat antara lain John V. Orth, Due Process of Law. A Brief History, Kansas: University Press of Kansas, 2003, hlm. i-ix. 29 Menurut Sutiyoso, banyak pihak mempersoalkan kehadiran intelijen, antara lain karena trauma intelijen kerap menangkapi orang. Di era Orde Baru, pelaksanaan intelijen oleh Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) dan Bakorstanas sangat kuat dengan kekuasaan menangkap, memeriksa dan menahan orang. Lihat ”Gubernur DKI: Intelijen Efektif Cegah Teroris”, Kompas. 20 Juni 2005 , Komisi Hukum Nasional, ”RUU Intelijen Negara, Rahasia Negara, KMIP dan Prinsip Negara Demokrasi” dalam http://www.komisihukum.go.id/article_opinion.php?mode=detil&id=125 30 ”Buyung Tolak BIN Diberi Kewenangan Menangkap dalam http://www.tempointeraktif. com/hg/nasional/2004/10/07/brk,20041007-44,id.html 31 Lihat ”BIN Minta Kewenangan Menangkap Orang” dalam http://www.tempointeraktif. com/hg/nasional/2005/11/24/brk,20051124-6974,id.html 32 Lihat antara lain ”Jangan Ada Dualisme Kewenangan Polri dan BIN”, Sinar Harapan. 5 Maret 2003 327 Ihza Mahendra saat menjabat sebagai Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia; ketika itu, Yusril menyatakan kewenangan menangkap dan menahan seseorang hanya dimiliki kepolisian.33 Masalah pokok ketiga, masalah akuntabilitas. Badan intelijen, bukanlah aparat yang berstatus penegak hukum. Di Indonesia, berdasarkan UU, penegak hukum adalah status yang diberikan kepada perangkat dalam proses peradilan dan/atau fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman: hakim, jaksa, polisi dan advokat.34 C. Bukan Perkara Menangkap ”Ayam” Di Jalanan Dalam KUHAP, walaupun penyelidik adalah semua aparat kepolisian, namun hanya penyidik dan aparat kepolisian yang diberi perintah penyidik dapat melakukan penangkapan.35 Urusan penangkapan dalam tubuh kepolisian, dilakukan oleh aparat yang memang memiliki pengetahuan dan pengalaman yang berhubungan dengan penyidikan serta mempunyai kecakapan dan kemampuan untuk melakukan tugas penyidikan, dalam hal ini aparat kepolisian yang dididik sebagai ”reserse”.36 Hal ini diatur agar tidak terjadi penangkapan sewenang-wenang, kecuali penangkapan saat pelaku kejahatan tertangkap tangan.37 Tindakan penangkapan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, merupakan tindakan yang hanya diperbolehkan untuk tujuan penegakan hukum itu sendiri. Tindakan penangkapan 33 LIN Online, ”Menkeh dan HAM Tak Setuju Intelijen Punya Wewenang Menangkap” dalam http://www.lin.go.id/news.asp?kode=06303HUKT0002 34 Periksa UU No. 4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Penjelasan Pasal 1; UU No. 16/2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Konsideran Menimbang, huruf b; UU No. 2/2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Penjelasan Pasal 34 ayat (1); UU No. 18/2003 tentang Advokat, Penjelasan Pasal 5 ayat (1). 328 yang sewenang-wenang merupakan kejahatan hak asasi manusia, khususnya berkaitan dengan hak semua orang atas keamanan dan kebebasan pribadi (the right to liberty and security of person).38 Secara singkat, hukum internasional hak asasi manusia, memberikan jaminan hak asasi manusia: ”tidak seorang pun dapat ditangkap dan ditahan secara sewenang-wenang”. Karenanya, disiplin hukum hak asasi manusia baik hukum internasional dan regional, banyak menetapkan instrumen hak asasi manusia berkaitan dengan penangkapan seseorang (lihat antara lain tabel 2). Hanya petugas penegak hukum yang berkompeten dan yang diberikan otoritas – memiliki code of conduct – yang dapat melakukan 35 Lihat M. Karjadi dan R. Soesilo, Op.cit., hlm. 13. Reserse polisi yang tergabung dalam Badan Reserse dan Kriminal, mempunyai tugas pokok mencari dan menemukan pelaku kejahatan untuk diproses sesuai dengan hukum yang berlaku, termasuk melakukan penangkapan. Lihat juga Situs Polri, ”Bareskrim”, dalam http://www.polri.go.id.serse/ serse1.php. Mengenai sejarah Bareskrim di Indonesia, lihat http://www.polri.go.id. serse/serse.php. Reserse merupakan salah satu unsur kepolisian yang menjalankan fungsi teknis operasional, selain intelijen dan pengamanan, samapta, lalu lintas dan bimbingan masyarakat, dan fungsi teknis yang bersifat administratif. Tugas pokok utama reserse yakni melakukan penyidikan. Namun, memang banyak kritik dan perlunya reformasi dan pembenahan didalam tubuh Bareskrim ini. Lihat antara lain ”Mencari Harapan Tersisa untuk Polisi” Kompas, 6 Maret 2006 , ”Sebuah Momentum untuk Mereformasi Reserse?” Kompas, 8 Januari 2006. 36 Lihat Ibid. 37 Lihat Hukumonline, ”RUU Intelijen Dinilai Bertentangan dengan Prinsip Due Process of Law” dalam http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=11387&cl=Berita 38 Lihat UN doc. GA Resolution 217A(III), 10 December 1948. Universal Declaration of Human Rights, art. 3 , Lihat juga UN doc. General Assembly resolution 2200A (XXI), 16 December 1966. International Covenant on Civil and Political Rights, entry into force 23 March 1976, in accordance with Article 49, art. 9. Kovenan ini sudah diratifikasi Indonesia melalui UU No. 12/2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik; UN doc. General Assembly Resolution 45/158, 18 December 1990, International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families, art. 16; UN doc. CCPR. Sixteenth session (1982). General Comment No. 8: Article 9 (Right to liberty and security of persons), paras 1, 2; UN doc. General Assembly resolution 48/104, 20 December 1993. Declaration on the Elimination of Violence against Women, art. 3(c); Periksa OHCHR. Fact Sheet No. 26. The Working Group on The Arbitrary Detention. 329 penangkapan, serta kewenangan yang diberikan mesti dapat dipertanggungjawabkan melalui prosedur hukum.39 Di Indonesia, pengadilan negeri, adalah institusi yang diberikan kewenangan untuk memeriksa dan memutus sah atau tidaknya penangkapan yang dilakukan penyelidik dan penyelidik serta memutus ganti kerugian terhadap korban penangkapan yang sewenang-wenang yang telah dilakukan aparat penegak hukum.40 Tabel 2 Standar Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa Berkaitan dengan Tindakan Penangkapan oleh Aparat Penegak Hukum 39 UN doc. UN doc. GA Resolution 34/169, 17 December 1979.Code of Conduct for Law Enforcement Officials, Commentary, art. 1; UN doc. GA Resolution 43/173 of 9 December 1988. Body of Principles for the Protection of All Persons under Any Form of Detention or Imprisonment, Principles 2; 9. 40 UU No. 8/1981 tentang KUHAP, Pasal 77. Ketentuan Sumber UN doc. General Assembly resolution 34/169, 17 December 1979. Code of Conduct for Law Enforcement Officials The term “law enforcement officials”, includes all officers of the law, whether appointed or elected, who exercise police powers, especially the powers of arrest or detention. This provision emphasizes that the use of force by law enforcement officials should be exceptional; while it implies that law enforcement officials may be authorized to use force as is reasonably necessary under the circumstances for the prevention of crime or in effecting or assisting in the lawful arrest of offenders or suspected offenders, no force going beyond that may be used. Art. 1 (Commentary) Art. 3 (Commentary) UN doc. General Assembly resolution 43/173, 9 December 1988. Body of Principles for the Protection of All Persons under Any Form of Detention or Imprisonment “Arrest” means the act of apprehending a person for the alleged commission of an offence or by the action of an authority Use of terms (a) 330 Arrest, detention or imprisonment shall only be carried out strictly in accordance with the provisions of the law and by competent officials or persons authorized for that purpose. The authorities which arrest a person, keep him under detention or investigate the case shall exercise only the powers granted to them under the law and the exercise of these powers shall be subject to recourse to a judicial or other authority Anyone who is arrested shall be informed at the time of his arrest of the reason for his arrest and shall be promptly informed of any charges against him There shall be duly recorded: ( a ) The reasons for the arrest; ( b ) The time of the arrest and the taking of the arrested person to a place of custody as well as that of his first appearance before a judicial or other authority; ( c ) The identity of the law enforcement officials concerned; ( d ) Precise information concerning the place of custody. Such records shall be communicated to the detained person, or his counsel, if any, in the form prescribed by law Any person shall, at the moment of arrest and at the commencement of detention or imprisonment, or promptly thereafter, be provided by the authority responsible for his arrest, detention or imprisonment, respectively with information on and an explanation of his rights and how to avail himself of such rights A person who does not adequately understand or speak the language used by the authorities responsible for his arrest, detention or imprisonment is entitled to receive promptly in a language which he understands the information referred to in principle 10, principle 11, paragraph 2, principle 12, paragraph 1, and principle 13 and to have the assistance, free of charge, if necessary, of an interpreter in connection with legal proceedings subsequent to his arrest Promptly after arrest and after each transfer from one place of detention or imprisonment to another, a detained or imprisoned person shall be entitled to notify or to require the competent authority to notify members of his family or other appropriate persons of his choice of his arrest, detention or imprisonment or of the transfer and of the place where he is kept in custody If a detained or imprisoned person is a foreigner, he shall also be promptly informed of his right to communicate by appropriate Principle 2 Principle 9 Principle 10 Principle 12 (1) Principle 12(2) Principle 13 Principle 14 331 Principle 16 (1) Principle 16 (2) Principle 16 (3) Principle 16 (4) Principle 17(1) Principle 17(2) means with a consular post or the diplomatic mission of the State of which he is a national or which is otherwise entitled to receive such communication in accordance with international law or with the representative of the competent international organization, if he is a refugee or is otherwise under the protection of an intergovernmental organization If a detained or imprisoned person is a juvenile or is incapable of understanding his entitlement, the competent authority shall on its own initiative undertake the notification referred to in the present principle. Special attention shall be given to notifying parents or guardians Any notification referred to in the present principle shall be made or permitted to be made without delay. The competent authority may however delay a notification for a reasonable period where exceptional needs of the investigation so require. A detained person shall be entitled to have the assistance of a legal counsel. He shall be informed of his right by the competent authority promptly after arrest and shall be provided with reasonable facilities for exercising it If a detained person does not have a legal counsel of his own choice, he shall be entitled to have a legal counsel assigned to him by a judicial or other authority in all cases where the interests of justice so require and without payment by him if he does not have sufficient means to pay The arrest or detention of such a person pending investigation and trial shall be carried out only for the purposes of the administration of justice on grounds and under conditions and procedures specified by law. The imposition of restrictions upon such a person which are not strictly required for the purpose of the detention or to prevent hindrance to the process of investigation or the administration of justice, or for the maintenance of security and good order in the place of detention shall be forbidden A person detained on a criminal charge shall be brought before a judicial or other authority provided by law promptly after his arrest. Such authority shall decide without delay upon the lawfulness and necessity of detention. No person may be kept under detention pending investigation or trial except upon the written order of such an authority. A detained person shall, when brought before such an authority, have the right to make a statement on the treatment received by him while in custody 332 Sebagai tambahan, instrumen regional hak asasi manusia, seperti Konvensi Eropa untuk Perlindungan Hak Asasi dan Kebebasan Fundamental (1950) juga memuat aturan yang bertujuan untuk mencegah penangkapan sewenang-wenang yang merupakan kejahatan terhadap kebebasan dan keamanan pribadi.41 D. Rekomendasi Rekomendasi singkat, untuk menutup artikel ini: kewenangan khusus untuk melakukan penangkapan seseorang mesti dihapus! Tugas pokok intelijen yakni memberikan informasi, bukan untuk melakukan penangkapan.42 Apapun argumen pro untuk menyetujui adanya kewenangan intelijen negara dapat melakukan penangkapan sangat tidak relevan. Lantas apa solusinya? Lebih rasional, dalam konteks klaim pemberantasan terorisme, solusi saat ini adalah meningkatkan kemampuan dan profesionalisme aparat kepolisian, secara umum, dalam menegakkan hukum. Peningkatan kapabilitas, khususnya ditujukan kepada Badan Reserse dan Kriminal Kepolisian Republik Indonesia: Direktorat VI/Anti Teror dan Detasemen Khusus 88 Anti Teror. Tentu saja, peningkatan kemampuan dan profesionalisme, mencakup juga peningkatan implementasi tugas dengan memberikan penghormatan dan pemenuhan hak asasi manusia. 41 CE doc. ETS No. 005. Rome 4.XI.1950. Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms as amended by Protocol No. 11, art. 5. 42 Lihat antara lain wawancara Andi Widjajanto, Kelompok Kerja Indonesia untuk Reformasi Intelijen Negara dalam ”Tugas Intel adalah Memberi Informasi”, Bali Post Online, 23 April 2006. 333 REFERENSI Buku Fuller, Lon. 1964. The Morality of Law. New Haven, CT: Yale University Press. Hulsman, M.L. Hc, Soedjono Dirdjosisworo (penyadur). 1984. Sistem Peradilan Pidana Dalam Perspektif Perbandingan Hukum. Jakarta: Rajawali. Karjadi, M. dan R. Soesilo. 1997. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dengan Penjelasan Resmi dan Komentar, Cetak Ulang. Bogor: Politeia Orth, John V. 2003. Due Process of Law. A Brief History. Kansas: University Press of Kansas Undang-undang UU No. 12/2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional mengenai Hak-hak Sipil dan Politik. UU No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah. UU No. 16/2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. UU No. 4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. UU No. 22/2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. UU No. 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. UU No. 26/2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. 334 UU No. 2/2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. UU No. 41/1999 tentang Kehutanan. UU No. 8/1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Rancangan Undang-Undang RUU tentang Intelijen Negara versi 10 Maret 2006 RUU tentang Badan Intelijen Negara versi 25 Januari 2005 RUU tentang Badan Intelijen Negara versi 5 September 2003 Dokumentasi PBB CCPR. Sixteenth session (1982). General Comment No. 8: Article 9 (Right to liberty and security of persons). General Assembly Resolution 48/104, 20 December 1993. Declaration on the Elimination of Violence against Women. ----------- 45/158, 18 December 1990, International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families. ----------- 43/173, 9 December 1988. Body of Principle for the Protection under Any Form of Detention or Imprisonment. ----------- 40/144 of 13 December 1985. Declaration on the Human Rights of Individuals Who are not Nationals of the Country in which They Live. ----------- 34/169, 17 December 1979.Code of Conduct for Law Enforcement Officials. ----------- 2200A (XXI), 16 December 1966. International Covenant on Civil and Political Rights, entry into force 23 March 1976, in accordance with Article 49. 335 ----------- 217A(III), 10 December 1948. Universal Declaration of Human Rights OHCHR. Fact Sheet No. 26. The Working Group on The Arbitrary Detention. Dokumentasi Council of Europe ETS No. 005. Rome 4.XI.1950. Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms as amended by Protocol No. 11, art. 5. Artikel Media Massa Bali Post, 23 April 2006 Bali Post 7 Maret 2003 Kompas, 8 Januari 2006. Kompas, 25 November 2005 Kompas, 6 Maret 2006. Kompas, 20 Juni 2005. Kompas, 8 Oktober 2004. Republika Online, 25 November 2005. Sinar Harapan, 5 Maret 2003. Internet LIN Online, ”Menkeh dan HAM Tak Setuju Intelijen Punya Wewenang Menangkap”, dalam http://www.lin.go.id/news. asp?kode=060303HUKT0002 336 Hukumonline, ”RUU Intelijen Dinilai Bertentangan dengan Prinisp Due Process of Law”, dalam http://www.hukumonline. com/detail.asp?id=11387&cl=Berita Komisi Hukum Nasional, ”RUU Intelijen Negara, Rahasia Negara, KMIP dan Prinsip Negara Demokrasi”, dalam http://www.komisihukum.go.id/article_opinion.php?mode= detil&id=125 Polri, ”Bareskrim”, dalam http://www.polri.go.id/serse/serse1. php YLBHI, ”Menggagas Peran TNI dan Badan Intelijen dalam Sistem Negara Demokrasi”, Laporan Proyek Kerjasama antara Kemitraan (PGRI) dan YLBHI, dalam http://ylbhi.or.id/ index.php?cx=3&cy=1&op=13 Tempo Interaktif, ”Intelijen Minta Kewenangan Menangkap”, dalam http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/ 2004/ 09/23/brk.20040923-01.id.html Tempo Interaktif, ”BIN Minta Kewenangan Menangkap Orang”, dalam http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/ 2005/11/24/brk.20051124-69674.id.html Tempo Interaktif, ”Buyung Tolak BIN Diberi Kewenangan Menangkap”, dalam http://www.tempointeraktif.com/ hg/nasional/2004/10/07/brk.20041007-44.id.html 337 Penutup: Agenda Reformasi Intelijen Andi Widjajanto Kontradiksi kerja intelijen dengan prinsip-prinsip demokrasi, HAM, dan kebebasan sipil merupakan tema utama yang disoroti secara telanjang dalam buku ini. Para penulis yang sebagian besar merupakan aktivis-aktivis gerakan masyarakat sipil menyuarakan kegelisahan yang mendasar tentang sepak terjang dinas-dinas intelijen Indonesia. Intelijen Indonesia gagal untuk keluar dari paradigma operasi militer dan cenderung memandang negara-bangsa dalam kondisi perang tiada akhir. Intelijen Indonesia gagal untuk mengembangkan kapasitas internal organisasi karena terlalu dalam masuk dalam gerak operasional tiada henti. Intelijen Indonesia terkooptasi secara sistematik sehingga keluar dari jalur kerja keamanan nasional dan masuk ke dalam pertarungan elit-elit politik. Intelijen Indonesia juga dipandang gagal untuk membentuk legitimasi politik yang kuat di mata publik, bahkan pada saat masyarakat menempatkan harapan besar 338 bagi dinas-dinas intelijen untuk berperan besar dalam strategi kontra- terorisme. Intelijen Indonesia cenderung gagal untuk mengembangkan koordinasi antar dinas-dinas intelijen, bahkan cenderung diwarnai oleh pertarungan antar dinas-dinas intelijen yang mencerminkan pertarungan elit politik nasional. Intelijen politik merupakan salah satu karakter dinas intelijen di negara-negara dunia ketiga seperti Suriah, Irak, Pakistan, Afrika Selatan, dan Myanmar. Intelijen politik bekerja secara represif untuk menjalankan suatu virtual state yang dibentuk untuk bekerja dalam suatu bayang-bayang negara yang menjalankan operasi kontra intelijen domestik secara sistematis dan didukung oleh keberadaan suatu hidden economy dalam suatu jejaring bayangan (shadow network) yang kuat. Jejaring bayangan tersebut dibentuk oleh lima pilar sistem pertahanan dan keamanan negara yang meliputi intelijen nasional (yang terdiri dari berbagai evolusi organisasi dan operasi intelijen seperti operasi khusus, Kopkamtib, Bakaorstanas, dan BAKIN), intelijen militer (yang didalamnya ada BAIS TNI, unit-unit komando teritorial yang melakukan fungsi pembinaan teritorial, dan satuan-satuan tugas intelijen militer), intelijen kepolisian, Dirjen Sospol Depdagri (yang saat ini mengalami metamorfosis menjadi Dirjen Kesatuan Bangsa), serta organisasi-organisasi massa yang dikendalikan oleh pemerintah. Jejaring bayangan ini telah lama menebar aroma ketakutan dalam masyarakat Indonesia. Memori kolektif publik akan dengan sangat mudah mengasosiasikan intelijen dengan Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib). Memori kolektif juga dengan mudah mengkaitkan intelijen dengan kasus penembakan misterius di dekade 1980-an. Asosiasi intelijen dengan metodemetode rejim politik yang represif semakin mengakar di memori kolektif publik karena icon-icon budaya seperti teater, film, buku, dan bahkan ilmu pengetahuan juga tersentuh operasi intelijen. 339 Kegelisahan-kegelisahan masyarakat sipil yang diekspresikan secara lantang dalam sembilan bab buku ini dipublikasikan bukan untuk melemahkan dinas-dinas intelijen Indonesia. Sebaliknya, kegelisahan tersebut ditujukan untuk menuntut penguatan dinasdinas intelijen di dalam suatu kerangka kerja yang demokratis. Penciptaan kerangka kerja demokratis untuk intelijen Indonesia merupakan tuntutan utama para aktivis gerakan masyarakat sipil yang tergabung Simpul Aliansi Nasional untuk Demokratisasi Intelijen (SANDI). SANDI difasilitasi oleh PACIVIS-UI. SANDI dibentuk untuk menginisasi serta menuntaskan reformasi intelijen nasional. Inisiasi reformasi intelijen nasional diawali dengan perumusan naskah alternatif RUU Intelijen Negara yang telah diedarkan secara luas sejak Agustus 2005. Penuntasan reformasi intelijen negara diharapkan dapat segera dicapai dengan mengerjakan beberapa agenda reformasi intelijen nasional. Agenda reformasi intelijen nasional berkaitan dengan usaha untuk memperkenalkan pengelolaan sistem intelijen nasional yang efektif untuk mendukung terciptanya dinas-dinas intelijen yang profesional, tangguh, dalam tatanan sistem politik yang demokratis. Agenda reformasi intelijen nasional di Indonesia terdiri dari lima pekerjaan rumah. Pertama, perumusan regulasi-regulasi politik untuk mengatur dinas-dinas intelijen yang diharapkan memiliki karakter dan budaya strategi baru. Kedua, restrukturisasi organisasi intelijen nasional terutama yang berkaitan dengan pembentukan mekanisme koordinasi antar dinas-dinas intelijen. Ketiga, pengaturan tataran kewenangan antar dinas-dinas intelijen. Keempat, alokasi sumbersumber daya nasional untuk untuk mengembangkan sistem peringatan dini dan sistem analisis informasi strategis. Dan kelima, rekonstruksi budaya strategik yang mencerminkan adanya adaptasi nilai-nilai demokrasi serta prinsip-prinsip humanitarian oleh dinas-dinas intelijen. 340 Pada dasarnya, tuntutan gerakan masyarakat sipil untuk menuntaskan reformasi intelijen negara merupakan bagian dari governance- based approach yang sangat menekankan penerapan model Grotian dan Kantian tentang pemulihan norma-norma humanis untuk memulihkan civil society. Model Grotian dan Kantian ini menempatkan pembentukan institusi demokrasi dan pelaksanaan Hak Asasi Manusia sebagai prioritas utama. Kaum Grotian melandaskan diri pada konsep societas quasi politica et moralis yang diperkenalkan oleh Fransisco Suarez (1548- 1617). Konsep ini mengganggap negara sebagai suatu entitas politik semu dan semi-barbarian yang harus membuat suatu kontrak sosial (tipe Lockian) berupa standar-standar normal yang akan mengatur hubungan antar negara. Ide Grotius tentang societas humana yang menempatkan negara sebagai membra unisus corporis membutuhkan adanya standar-standar moral yang berlaku universal Konsep tersebut kemudian diaplikasikan dengan usaha untuk menciptakan norma atau hukum untuk melindungi HAM. Kaum Kantian meneruskan ide Christian Wolf (1679-1754) tentang civitas maxima. Ide civitas maxima merupakan suatu pemikiran untuk membentuk komunitas peradaban yang memerlukan landasan normatif yang bersifat universal. Aplikasi praktis dari ide Wolf tersebut adalah ide Kant tentang perpetual peace yang hanya bisa berlaku jika ditopang oleh suatu sistem politik yang demokratis yang secara teoritis akan mengurangi gelombang kekerasan yang terjadi di suatu negara. Gelombang kekerasan di suatu negara biasanya diikuti dengan munculnya aksi-aksi brutal aktor militer saat mereka harus berperan sebagai leviathan. Kekerasan militer ini seolah dibiarkan dan bahkan diijinkan terjadi karena adanya dominasi pemikiran kaum realis tentang perlunya pembentukan suatu negara yang kuat yang harus memonopoli sarana kekerasan bersenjata yang terorganisir dan harus selalu siap untuk menghadapi semua kemungkinan bentuk ancaman (war readiness). 341 Monopoli tersebut dilakukan oleh rejim Orde Baru dengan meletakkan aktor militer sebagai satu-satunya aktor keamanan yang harus dapat menerapkan beragam strategi untuk menangkal semua bentuk ancaman. Namun, karena militer memang pakar dalam melakukan aksi kekerasan bersenjata maka entitas ini cenderung untuk menggunakan strategi-strategi represif. Monopoli tersebut harus dihilangkan dengan cara menugaskan aktor keamanan utama (negara) untuk mengembangkan berbagai derivasi aktor keamanan untuk mengatasi karakter multidimensional konsep keamanan. Perluasan konsep dan aktor keamanan ini sebenarnya merupakan gagasan dari kaum constructivist. Kaum constructivist ini mengembangkan critical security studies yang memandang konsep keamanan sebagai suatu konsep fleksibel yang tergantung dari proses securitization yang dilakukan aktor keamanan terhadap objek keamanan. Simon Dalby, misalnya, melihat adanya proses politisasi wacana keamanan yang menyebabkan timbulnya kecenderungan dominasi aktor politik dan militer dalam kerangka kerja keamanan negara.1 Keith Krause juga berusaha mengembangkan tinjauan kritis dengan melakukan proses humanisasi konsep keamanan. Proses ini dilakukan dengan menempatkan pertimbangan individu, warga negara dan kemanusiaan sebagai acuan utama bagi perkembangan strategi keamanan negara.2 Kontribusi penting kaum constructivist diberikan oleh Barry Buzan, Ole Waever dan Jaap de Wilde.3 Ketiga pakar strategi ini 1 Simon Dalby,”Contesting an Essential Concept: Reading the Dilemma in Contemporary Security Discourse” dalam Krause, Keith dan Williams, M.C.. (eds.), Critical Security Studies: Concept and Cases (London: UCL Press, 1997). 2 Keith Krause dan Michael C. Williams, ”From Strategy to Security: Foundations of Critical Security Studies” dalam Ibid. 3 Barry Buzan (et.al.), Security: A New Framework for Analysis, London: Lynne Rienner, 1998. 342 memperingatkan para pembuat kebijakan untuk tidak terburuburu mengeskalasi suatu isu menjadi isu keamanan. Suatu isu hanya dapat dikategorikan sebagai isu keamanan jika isu tersebut menghadirkan ancaman nyata (existential threats) terhadap kedaulatan dan keutuhan teritorial negara. Isu keamanan juga hanya akan ditangani oleh aktor militer jika ancaman yang muncul disertai dengan aksi kekerasan bersenjata dan telah ada kepastian bahwa negara telah mengeksplorasi semua kemungkinan penerapan strategi non-kekerasan. Kepastian tersebut dapat diperoleh jika negara meningkatkan kemampuan dinas-dinas intelijen untuk mengoperasionalkan indikator sistem peringatan dini (early warning system). Sistem peringatan dini ini diharapkan dapat menyediakan ruang manuver yang cukup luas bagi beragam aktor resolusi konflik dan memperkecil kemungkinan penggunaan kekerasan bersenjata untuk mengelola konflik. Sistem peringatan dini tersebut harus disertai dengan kesadaran untuk mengubah semboyan kaum realis “si vis pacem, para bellum” menjadi “Quo Desiderat Pacem, Praeparet Pacem”. Semboyan ini mengharuskan aktor-aktor yang relevan untuk terus menerus melakukan intervensi perdamaian terhadap struktur sosial dengan dua tujuan utama yaitu (1) mencegah terulangnya lagi konflik yang melibatkan kekerasan bersenjata, serta (2) mengkonstruksikan proses perdamaian langgeng yang dapat dijalankan sendiri oleh pihak- pihak yang bertikai. Adopsi prinsip ““Quo Desiderat Pacem, Praeparet Pacem” membutuhkan reformasi intelijen negara agar dinas-dinas intelijen dapat berfungsi secara profesional dan proporsional dalam konteks keamanan nasional dan konsolidasi demokrasi. Dalam konteks keamanan nasional, kompleksitas ancaman memerlukan suatu penyesuaian strategik terhadap kegiatan dan kedinasan intelijen, yang sesungguhnya dirancang sebagai sistem peringatan dini da343 lam menanggulangi ancaman-ancaman terhadap keamanan nasional. Dalam konteks konsolidasi demokrasi, dibutuhkan adopsi prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam keseluruhan sistem intelijen negara. Sistem intelijen negara harus diubah, dari watak dinas intelijen negara yang tertutup, represif dan melayani kepentingan rezim, ke watak yang lebih terbuka dan akuntabel, responsif terhadap kompleksitas keamanan nasional, serta melayani kepentingan seluruh warga masyarakat (bangsa) Indonesia. Hakekat reformasi intelijen negara adalah menjamin terciptanya keseimbangan antara keamanan nasional dan demokrasi serta hak-hak sipil, yaitu: dinas intelijen negara tetap diperlukan untuk mengantisipasi munculnya ancaman bagi keamanan nasional, sementara kerangka kerja demokratik harus tetap menjadi dasar bagi pengaturan tugas, fungsi, organisasi, serta kegiatan dinasdinas intelijen. Reformasi intelijen negara diharapkan dapat mentransformasi karakter dinas-dinas intelijen sebagai organisasi yang tidak lagi menebar ketakutan di masyarakatnya sendiri, tapi justru menyediakan kepastian strategis dalam bidang keamanan nasional. 344